Skip to main content

Perkenalkan, #SalamTurots



Bocah cilik berbaju sederhana itu duduk di pojok belakang, di belakang santri-santri senior yang khusuk mengaji. 

Ketika santri-santri senior sibuk mencatat petuah Guru, bocah cilik itu malah asyik bermain. 

Telunjuk dan jempol tangan kanan menari di atas telapak tangan kiri, seolah-olah sedang menulis meskipun tanpa pena, tanpa tinta. 

Sementara itu, sang Guru sedang mendedahkan kitab Muwatha, salah satu magnum opus-nya kepada seluruh santri. 

Diam-diam, Sang Guru memperhatikan bocah cilik itu. Batinnya, anak itu sedang bermain di sini.  

Hari keesokannya, Imam Malik, sang Guru kembali mendapati bocah cilik yang sama, duduk di tempat yang sama, kembali bermain jari. 

Penasaran, sang Guru memanggil si bocah cilik tadi. 

"Siapa namamu, Nak?", tanya sang Guru.

"Muhammad bin Idris bin Syafi', Syaikh."

"Kamu sedang bermain apa?" 

'Saya mencatat pelajaran di telapak tangan kiri saya."

"Mana penanya?"

"Ini", bocah itu menunjukkan jempol dan telunjuk tangan kanan yang menjimpit. 

"Mana tintanya?"

"Saya pakai ludah." Ia menjimpit lidah dengan jempol dan telunjuk tangan kanan. 

"Mana hasil catatanmu?"

"Ya... sudah masuk ke sini semua, Syeikh..", telapak tangan kirinya menepuk ke dahinya.

"Coba dibaca catatanmu."

Bocah cilik itu kemudian melafalkan kitab al-Muwatha dari halaman depan sampai khatam, tanpa membaca teks, tanpa ada kesalahan. 

Sang guru terkagum. Seluruh santri senior di situ melongo.

Sang Guru kemudian mengijazahkan seluruh kitabnya kepada bocah tadi. 

Kelak, kita mengenal bocah ciilik itu dengan sebutan Imam Syafii RA. 

***

Nah, mengambil i'tibar dari peristiwa ini dan tafaul kepada Imam Syafi'i, Komunitas Turots mulai Jumat Legi 11 November 2022 di Griya Taman Santri, mendeklarasikan dan memperkenalkan #SalamTurots untuk seluruh anggota.

#SalamTurots adalah simbol menulis, mencatat, memberi makna dengan kejernihan hati dan pikiran.

#SalamTurots menjaga semangat belajar, mengaji, dan berkembang.


Comments

Anonymous said…
Sangat menginspirasi

Popular posts from this blog

Mars dan Hymne IAIN Metro

Mars IAIN Metro Jayalah IAIN Metro Tegap menuju masa depan Tak gentar bersaing tunjukkan kearifan Di bumi persada Kembangkan ajaran Islam Tekuni ilmu dan teknologi Peduli harmoni menjadi jati diri Cita-cita mandiri Marilah seluruh civitas akademika Membaca dan berkarya Menjadi generasi intelektual bangsa Berakhlak mulia Majulah IAIN Metro Majulah civitas akademika Membangun generasi bertakwa pada Ilahi Berkhidmat untuk negeri 2x Jayalah jayalah IAIN Metro ***** HYMNE IAIN Metro Di gerbang Sumatera Lampung tercinta IAIN Metro berada Tempat kami berjuang Tempat kami mengabdi Berbakti pada Ilahi Melangkah dengan Iman dan Taqwa Mengabdi pada bangsa dan negara Di bumi pertiwi kami berpijak Bernaung atas RidhoNYA Syukur dan harapan slalu kami panjatkan Untuk kejayaan Islam rahmat alam semesta Ilmu dan iman menjadi landasan Membangun generasi Indonesia Jaya

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel

Mengapa Pipis Bayi Perempuan Harus Disiram dan Laki Cukup Diperciki?

Fikih Islam mengenal tiga klasifikasi najis berdasar tingkatan berat-ringannya. Yang paling berat adalah najis mughaladzah. Najis ini adalah seluruh bagian tubuh anjing dan babi beserta segala turunannya. Saking beratnya, cara mensucikan najis ini adalah dengan membasuhnya sampai hilang wujud, baru ditambah tujuh basuhan yang salah satunya dicampur dengan debu. Level yang paling ringan adalah najis mukhafafah . Najis ini hanya ada satu, yakni air seni bayi laki-laki yang belum berusia dua tahun dan hanya mengonsumsi ASI, tak pernah mengonsumsi makanan lain sebagai asupan gizi. Najis ini cukup diperciki dan seketika langsung menjadi suci. Di level tengah ada najis mutawasithah . Ini mencakup semua najis yang tidak masuk dalam klasifikasi ringan atau berat. Cara mensucikannya adalah dengan membasuh najis dengan air mengalir sampai bersih. Bagaimana dengan hukum air seni bayi perempuan? Dari penjelasan ringan di atas, hukum pipis bayi perempuan masuk ke dalam klasifikasi

Doa Memulai Pengajian Al-Quran, Ilahana Yassir Lana

Berikut ini adalah doa yang biasa dibaca sebelum memulai mengaji al-Quran.  Ilaahana yassir lanaa umuuronaaa 2 x Min diininaaa wa dun-yaanaaa 2 x Yaa fattaahu yaa aliim 2 x Iftah quluubanaa 'alaa tilaawatil qur'aan 2 x Waftah quluubanaa alaa ta'allumil 'uluum 2x

Dengan Buku, Haji Melawan

SEMASA KOLONIAL, pesantren, utamanya bila pengasuhnya seorang Haji, menjadi sasaran tembak penguasa. Ini tak lepas dari ideologi pan-Islamisme dan nasionalisme relijius yang dibawa dan dikembangkan seorang Haji. Sudah menjadi kelaziman, saat berhaji, seorang jama’ah singgah beberapa tahun di Haramayn (Makkah dan Medinah). Mereka tidak hanya belajar agama. Mereka membangun jejaring pengetahuan, ideologi, bahkan afiliasi politik. Pada musim haji, ratusan ribu jamaah dari seluruh dunia berkumpul. Pertukaran ilmu, pengetahuan, pengalaman, serta informasi menjadi niscaya. Di sinilah, nasionalisme dan persaudaraan sesama muslim yang terjajah, kian terpupuk. (A. Azra, 2004:46). Tatkala kembali ke negeri asal, bekal ideologi itu dikembangkan. Gerakan Haji ini amat berpengaruh. Bisa dilihat, bagaimana kebijakan kolonial membendung gerakan Haji, dari Ordonansi guru agama (1905), pelarangan haji (1908), pengawasan pendidikan Islam, hingga pengawasan atas penghulu.(Aqib S,1985:19).