Lek Syapingi beserta anak, menantu, dan cucunya. Pulang dari makam Pekutan hari sudah lumayan gelap. Jalanan di kebun tambah gelap karena rindangnya pohon kelapa menutup sisa sinar matahari yang tersisa. Sampai di rumah Lek Syapingi saya langsung diajak salat Maghrib. Di halaman rumah banyak anak usia SD yang bermain. Ada beberapa yang sedang mengambil air wudhu di keran yang ada di samping rumah. Saya kira mereka adalah anak-anak dan keponakan Lek Syapingi. Tapi kok ada banyak? Ketika saya masuk ke ruang tamu, seorang anak mengumandangkan azan dan pujian. Lima menit kemudian ia mengumandangkan iqamat. Lek Syapingi meminta saya jadi imam, tapi saya menolak. "Sohibul bait lebih utama, Lek. Hehe..." * * * Seusai salat dan wiridan, beberapa anak mendaras al-Quran dan Juz Amma. Mereka sorogan kepada Lek Syapingi yang telaten menyimak dan mengoreksi bacaan. Rupanya di rumah ini ada anak-anak yang turut mengaji dan diajari oleh Lek Syapingi. Lek Syapingi bercerita, dulu
Makam Sayang Dirsan Kakung Setelah bertemu Lek Syapingi Mbah Muhyidin segera mengutarakan maksud. Bahwa saya ingin diantarkan untuk berziarah ke makam Mbah Buyut Madirsan. Saya tanya, " Lek Sapingi benjang saget ?" "Wah, besok saya dodos pari. Tadi belum selesai." "Kalau sekarang pripun?" " Yo ra popo." Saya terus pamit mengantarkan Mbah Muhyidin pulang dan segera kembali ke rumah Lek Sapingi. Bersama Lek Sapingi saya kembali ke pemakaman desa Mangunranan yang tadi. Rupanya Mbah Buyut Madirsan dimakamkan hanya berselang 15 meter, timur pusara Mbah Buyut Sardini. Nisannya sudah sepuh. Makam Mbah Kakung nisannya utuh. Sedangkan nisan Mbah Putri tampak seperti dipangkas agar ada tanda cekungan untuk menandai bahwa yang sumare adalah seorang perempuan. Makam Sayang Dirsan Putri. * * * "Iki sekare Sayang Dirsan Kakung. Iki Sayang Dirsan Putri", kata Lek Syapingi menunjukkan nisan sepuh. Saya agak kaget kok dipanggil "Sayang Di