Skip to main content

Posts

Showing posts with the label filsafat

Hak Menghadirkan Kematian (4-habis)

Kembalikan Mandat Asghar Ali Engineer menekankan pentingnya pembacaan menyeluruh atas teks-teks ( nushus ) yang berbicara mengenai qishash . Baginya, ayat ini terbebani berbagai problem. Utamanya berkait situasi kondisi Jahiliyah Arab yang amat rumit, lekat dengan tribalisme dan balas dendam. [1] Pada masa itu—dan hingga kini—, demi harga diri, puluhan nyawa dipertaruhkan. Harga diri hanyalah satu di antara banyak alasan yang mendasari pembunuhan, di samping berbagai problem lain: ketidakstabilan emosi, kurangnya kontrol diri, dendam pribadi, dst yang kerap menjadi motif pembunuhan. Kausa di atas sedemikian ragam. Sehingga, asumsi menurunnya pembunuhan tatkala hukuman mati diterapkan tidak menemukan pembenaran di sini. Adalah benar, semua pembunuh takut hukuman mati. Tapi, tampaknya hukuman mati ini justru menjadikan mereka lebih kreatif dalam menjalankan pembunuhan serapi mungkin hingga tak bisa terlacak dan bebas dari jeratan hukum.

Hak Menghadirkan Kematian (2)

Roh dalam Teks Dalam tradisi Arab, terma mati berasal dari kata kerja dasar  Ù…ات , [m]a[a][t]a. Kata ini diasosiasikan dengan konsep "tenang", "reda", "usang", dan "tak berpenghuni". [1] Asosiasi ini kemudian dipertegas dengan konsep lepasnya ruh dari wadag tubuh sebagaimana dipahami publik. Maka, konsep kematian, juga kehidupan tidak terlepas dari ruh. Kehidupan adalah kehadiran ruh, kematian adalah kepergian. Sementara itu, kata ruh dalam bahasa Arab dianggap berasal dari kata [r]a[w]a[ h ]a . Kata ini diasosiasikan dengan konsep “datang”, “berangkat”, atau “pergi”. Sementara, kata [r]a[w][ h ] diasosiasikan dengan angin sepoi-sepoi. Ini perlambang ruh: bisa disadari kehadirannya, tapi tidak bisa ditangkap wujudnya oleh indera. Kata ruh sendiri, dalam bahasa Arab, biasa ditranslit ke dalam bahasa Indonesia menjadi “ruh”, “jiwa’, “sukma”, “intisari”, “hakekat”, “pertolongan”, “hukum Allah dan perintahnya”, dan ‘malaikat”. [2] Dala

Hak Menghadirkan Kematian (1)

Hak Menghadirkan Kematian [1] Kritik Pidana Mati dalam Filsafat Hukum Islam Dalam semalam, Kejaksaan mengeksekusi tiga terpidana mati: Sumiasih, Sugeng (Surabaya), dan Tubagus Yusuf Maulana alias Usep (Banten) pada 20 Juli 2008 lalu. Nyawa mereka melayang di ujung senapan para algojo dari Brimob. Selanjutnya, Amrozi cs, para pelaku bom Bali  menyusul. Kematian sejatinya tidak akan pernah terlepas dari fenomena kehidupan. Keduanya jalin-menjalin dalam sebuah harmoni yang teramat indah. Tapi, jemalin harmoni ini akan menjelma problem manakala tidak dipahami dan “diselesaikan” dengan baik, terutama berkait persoalan kehadiran kematian. Senyatanya, kehadiran kematian sama misterinya dengan kehadiran kehidupan. Keduanya sama-sama menimbulkan implikasi unik. Kehidupan berimplikasi pada hadirnya hak dan kewajiban atas diri yang hidup dan lingkungan [2] yang dihadirinya. Pun, hak dan kewajiban yang-hadir secara vertikal kepada Yang Maha Hidup. Sementara, kehadiran k

Mentransmisi Agama Lewat Dongeng

"Didiklah anakmu dengan bijaksana. Karena mereka terlahir bukan di jaman kalian." Ini pesan Imam Ali KW kepada para sahabatnya. Setiap generasi lahir dengan semangat dan jiwa zaman ( zetgeist ) yang berbeda. Dalam zaman yang bergerak, perubahan tak terelakkan. Hanya saja, dalam rentang lokus dan tempus yang dinamis, ada beberapa dimensi yang harus dijaga konsistensinya. Ada juga yang harus ditransmisikan idenya. Dalam agama karena tuntutan zaman tentu ada pergeseran, terutama form ritus. Namun, jangan sampai pergeseran terjadi pada spirit, jiwa, dan content agama. Perlu penjagaan atas tradisi dan kode etik yang menjadi identitas agama tertentu. Sebuah ide — juga agama — bisa bertahan dan berhasil menancapkan pengaruhnya melintasi batas teritori, budaya, dan waktu tatkala ia mampu beradaptasi. Hanya dengan adaptasi, ia mampu bertahan dan berkembang di berbagai belahan bumi berbeda. Komunikasi verbal Dalam proses transmisi dan ekspedisi ide agama, komunika

Menguliti Tradisi Tasawuf (5-habis)

Interaksi Burhan , Bayan , dan Irfan [1] dalam Tasawuf Semua varian Tasawuf sepakat bahwa al Quran dan al Hadits me­ru­pakan teks oto­ritatif yang utama. Dari sini, mereka me­laku­kan eks­plorasi men­dalam ter­hadap teks ter­sebut. Sufi Sunny mendekati dengan irfani. Sedang Sufi Falsafy men­de­katinya dengan burhany . Tegasnya, burhani dan irfani berebut untuk me­ng­­eksplorasi satu objek, bayani . Ketiga nalar ter­sebut ( bayani , irfani, dan burhani ) tidak bertentangan satu sama lain, karena masing-masing pu­nya pijakan normatif dan pi­jakan logis; juga tidak saling me­ngungguli, karena masing-masing punya kelebihan dan kelemahan. Namun, antara ke­­tiganya terjalin sebuah rajutan unik yang saling menyokong dan melengkapi, tidak saling menegasi­kan (tri­khotomis) untuk menuju al Haq . Meski menge­depankan burhani, Tasa­wuf Falsafy tidak bisa me­ning­galkan irfany begitu saja, karena in­spirasi bisa datang dari mana saja. Demikan juga, Tasawuf Sunny mem­butuhkan burha

Menguliti Tradisi Tasawuf (3)

Pupuk Tasawuf dari Tradisi non-Islam Melihat praktik yang dijalankan kaum sufi, ada sementara kalangan yang meng­identikkan tasawuf dengan perilaku sejenis dalam tradisi lain di luar Islam. Karena pada kenyataannya, asketisme hampir bisa ditemui dalam semua tradisi agama, samâwîy maupun ardhîy . [1] Wajar hal ini terjadi, lantaran setiap ‘agama’ [dengan a kecil] mempercayai kekuatan gaib yang kudus, di mana manusia tunduk dan akal tak sanggup menjamahnya. Begitu domi­nan­nya kekuatan itu, hingga manusia perlu mendekatkan diri dan menjaganya agar tidak murka, dengan membersihkan dan menjaga diri. [2] Tradisi-tradisi itu tampaknya independen, tidak ada sangkut-paut satu dengan lainya. Namun, bisa jadi, ada kerja saling mempengaruhi, setidaknya ada benang merah di antara tradisi-tradisi asketisme. Hingga tak jarang, beberapa peneliti menyatakan bahwa banyak ajaran non-Islam yang turut bermain dalam proses perkembangan tasawuf. Di antara bebe­rapa tradisi yang menjadi titik perha

Menguliti Tradisi Tasawuf (2)

Benih Tasawuf dalam Tradisi Islam Al Quran merupakan sumber utama nilai otoritatif dalam Islam. Secara garis besar, al Qur’an punya dua dalâlah: dzahir dan bathin [1] . Kaum muslim lantas mema­hami al Quran dalam bingkai berbeda [2] . Kaum formalis memahami al Quran dari sisi dzâhir [3] . Selanjutnya, mereka tampil sebagai ahli fiqih. Mereka mencukupkan diri pada tiga pencapaian dalam agama: ilmu, amal, dan terakhir ikhlas, meski kurang begitu mendalam perihal yang terakhir ini. [4]   Sementara, ada golongan yang memahami al Quran dari sisi dalâlah bathin [5] . Mereka memandang Islam dari sisi esoterisnya. Mereka tidak puas dengan segala pemahaman yang diperoleh keba­nya­kan umat dan kaum fiqh yang men­dekati al Qur’an (dan as Sunnah) dengan pendekatan —meminjam istilah Abed al-Jabiri— burhânîy (nalar demonstratif) dan bayâni (teks otoritatif). [6] Mereka merasa bahwa apa yang dicapai kalangan fiqh hanya berkutat ritual fisik yang tak jauh dari persoalan-persoalan

Ijtihad Fikih Poskolonial (3-habis)

Relasi Kuasa Ada semacam ketimpangan yang terjadi di antara Kyai Rifa'i dengan para penghulu. Kecaman dan klaim “alim fasik” yang dilekatkan oleh Kyai Rifa'i kepada penghulu merupakan sebentuk kritik atas deviasi yang dilakukan sekelompok penghulu, lantaran kedekatan dan relasi patron-klien dengan penguasa lalim, non-muslim pula. Di sisi lain, para penghulu menganggap Kyai Rifa'i dan komunitas Tarjumahnya sebagai orang-orang yang tidak realistis melihat kondisi bangsa, arogan, sombong, sok suci, dan semberono dalam memahami ajaran Islam, lantaran terlalu sempit. Terlalu mengagungkan pemahamannya sendiri dan sering menyalahkan orang lain. Amat tampak jelas, dalam pertarungan di domain ide, Kyai Rifa'i dan pengikutnya di satu sisi dengan penghulu dan pengikutnya di sisi lain telah membangun relasi timbal balik. Keduanya bertukar peran, baik sebagai pembuat maupun interpreter atas diskursus yang dilontarkan setiap partisipan perang wacana. Dalam dunia ide,

Ijtihad Fikih Poskolonial (2)

Medan bahasa Pada penggalan tulisan bagian pertama, kita bisa membaca dengan jelas kutipan manuskrip Tabyin al-Islah , sebuah kitab yang ditulis Kyai Rifa'i Kalisalak. Ada empat terma yang penulis sengaja membubuhinya dengan garis bawah: alim fasik, penghulu, kefasikan, dan pe[me]rintahan. Keempat titik ini memainkan peran teramat penting dalam medan perang bahasa dan diskursus, waktu itu. Ihwal ini, kita tiada bisa menceraikan dari hegemoni dan dominasi negara asing (baca: kolonial) atas Nusantara. Baik secara fisik dengan barisan tentara dan dentuman meriam serta senapan; pengetahuan dengan penguasaan wacana; politik dengan penaklukan raja-raja kecil; dan bahkan pengetahuan agama dengan hadirnya sistem Kapengulon besera seperangkat penghulu yang mengitarinya. Kesemua itu menjadikan pola relasi kolonial dengan (pribumi) Nusantara menjadi benar-benar timpang, tak berimbang. Kolonial meminjam tangan para penguasa lokal, mulai dari Bupati dan ajudannya, hingga kepala des

Ijtihad Fikih Poskolonial (1)

Akeh alim fasik niru saiki zaman/ podo dadi penghulu maha kedosan// Buru artha haram duniane kaluhuran/ ikulah kena fitnah dunia kefasikan // Tan ngistuaken ing syara’ pinuturan/ setengahe tan asih ridho ing pe[me]rintahan // (KH. Ahmad Rifa'i Kalisalak, Manuskrip Tabyin al-Islah: 179-180) GERAKAN PROTES. Inilah yang dilancarkan Kyai Rifa'i, Pahlawan Nasional yang menyulut dan mengobarkan perlawanan pada 1850-an di dusun Kalisalak di pelosok Alas Roban, (kini, Kec. Limpung, Kab Batang, Jawa Tengah). Yang ia hadapi bukanlah seorang tiran, dengan pedang terhunus, melainkan sistem: sistem Kolonial yang juga mencipta Kapengulon. Keduanya berkelit kelindan pada sebuah hasrat hegemoni atas jiwa dan kekayaan Nusantara yang (masih) jadi primadona dunia, utamanya bagi Eropa. Sistem kolonial menghadirkan tatanan dunia pemerintahan baru atas bangsa kulit berwarna. Di balik sana, kuku-kuku panjang tajamnya meruncing, merenggut siapapun yang memekikkan “Jangan!!”, “

Genealogi Etika Bisnis

Manusia bukanlah makhluk yang independen. Ia tergantung pada banyak hal yang ada di luar dirinya (liyan).   Saat lahir, ia tak ubahnya seperti “telur pecah”, yang tak punya daya untuk melakukan apa pun, bahkan untuk mempertahankan dirinya. Yang bisa dilakukannya hanyalah menangis. Sehingga, pada titik ini, seorang manusia membutuhkan bantuan untuk bertahan hidup dari orang-orang sekelilingnya. Fisik manusia juga terbatas dan amat tergantung pada banyak hal: makanan, pakaian, tempat tinggal, kasih sayang, dan sebagainya. Manusia secara terus-menerus bergantung agar ia bisa bertahan hidup dan mengembangkan kehidupannya. Dan, jumlah manusia dari waktu ke waktu terus bertambah. Di sisi lain, sumber daya alam pemenuhan terbatas, baik jumlah dan waktunya. Sebab itu, manusia perlu melakukan pelbagai upaya, mulai dari pemberdayaan dan pembudidayaan sumber daya pemenuhan (dengan bertani, beternak, dsb). Ketika ia melakukan pemberdayaan dan pembudidayaan, maka ia mengalami surplus ata

Membaca yang Tak Tertulis

“Bukan membaca di sepanjang baris, melainkan membaca di antara baris.” Begitu kata Fung Yulan, seorang filsuf Tiongkok kontemporer, tatkala memberikan wejangan, apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang yang hendak mempelajari filsafat Tiongkok. Karena, para filsuf Tiongkok tidak menuliskan apa yang dikatakan, melainkan menulis apa yang dipikirkannya. Kutipan di atas penulis temukan saat menyunting naskah Sejarah Filsafat Tiongkok . Naskah ini ditulis oleh Budiono Kusumohamidjojo, seorang pengajar Filsafat Tiongkok di Universitas Parahyangan. Dari wejangan Fung Yulan di atas, kita akan menemukan karakter yang berbeda antara filsafat Tiongkok (baca: filsafat Timur) dengan filsafat Barat. Filsafat Barat, berlandas rasio, riuh menyuarakan apa yang mereka baca dan tulis. Sedang filsafat Timur membaca dalam senyap, apa yang tak-tertulis dan tak-terkatakan . Filsafat Barat menitikberatkan pada kebebasan dan penghargaan (berlebih) pada individu. Dan saat bersihadap, maka tiap-tiap ind

Tahu Bodoh

Semakin banyak kita belajar dan membaca, maka kita semakin sadar bahwa di luar sana ada banyak hal yang belum kita ketahui-pahami. Ujung-ujungnya, makin kita sadar bahwa kita makin bodoh. Jika sudah begini, masih ada alasan untuk sombong? Rasa-rasanya tidak. Maka benar bulir padi yang makin berisi makin merunduk. Sebaliknya, ketika kita merasa sudah mengetahui dan menguasai sesuatu, maka saat itu kita menutup akses diri kita atas pengetahuan baru. Ketika kita dihadapkan pada satu judul bukulalu bergumam, “Ah, paling isinya cuma begini dan begitu”, detik itu juga kita menutup akses kita akan pengetahuan baru dari buku tersebut. Dan menjadi makin bodoh betulan. Maka menarik sekali kategorisasi yang dibikin oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali bahwa manusia bisa diklasifikasikan ke dalam empat sifat. Pertama, mereka yang tahu (baca:sadar) bahwa dirinya tahu. Kedua, mereka yang tak tahu (baca: sadar) bahwa dirinya tahu. Ketiga, mereka yang tahu bahwa dirinya tidak tahu. Dan

Nation/Bangsa

Siapa saya? Ini pertanyaan sadar yang sangat radikal. Bagaimanapun juga, p engenalan diri adalah hal yang mutlak dan mendasar dalam setiap insan. Dalam proses ini diperlukan identitas. Identitas dibentuk dengan menemukan distingsi. Apa yang berbeda di satu sisi dan yang sama di sisi lain: saya dan Anda , kami dan kalian . Ketika jumlah manusia makin banyak, karenanya identitas makin kompleks dan rumit. Tapi mereka sebagai komunitas, lagi-lagi butuh pengenalan diri, identitas. Identitas memang jadi problem paling purba. Plato dan Aristoteles membedakan Helenis dan Barbar (Asia Kecil)--- sebuah sebutan onomatope dari percakapan Barbar di telinga Helenis. Orang Arab mengenal Arab dan ‘ Ajam , badui dan madani . Grosby menuliskan “ The nation is a territorial community of nativity. Berkait dg kelahiran (hubungan darah). Berkait dg komunitas-kekerabatan. Berbeda dg keluarga, karena nation terikat teritori. Berbeda dg kekerabatan teritorial lain (suku, negara-kota, atau ke

Meretas Fikih Lintas Mazhab

“Mantaf!” Sekali ini saya terkejut. Tidak seperti biasanya, kawan saya yang satu ini tiba-tiba muncul pada fasilitas chatting di situs jejaring Facebook. Lazimnya, kawan saya ini, yang mantan pentolan Rohis dan kini juga bergiat di HTI Solo akan menyapa saya dengan “Assalamualaikum, Akhi..” atau semacamnya yang islami. Saya merasa agak heran juga, hari ini ada apa? Sayapun bertanya, “Yang mantaf apanya, Akhi?”. Hmm.... saya baru ngeh ketika ia menjelaskan konteks komentarnya tersebut. Rupanya, ia sedang membincang buku Fikih For Teens. Ia mendapatkannya dari TB Gramedia Solo. Saya cuma senyum-senyum saja. Saya bersyukur, setidaknya buku Fikih renyah itu juga bisa diterima kalangan yang selama ini saya anggap cukup selektif (untuk tidak mengatakan puritan atau eksklusif). Padahal, pada bagian awal buku Fikih For Teens ini, saya menggunakan pendekatan Filsafat, tepatnya Filsafat Hukum Islam yang boleh jadi kurang akrab bagi mereka yang sangat selektif terhadap bacaan Islam. Tapi seka

Membaca Struktur Nalar Lirik Lagu Gigi

“Beribadah yok… Jangan banyak alasan” “Ayo sholat yok... sebelum disholatkan” Suara Arman Maulana, vokalis Band Gigi menyentak di sela-sela jendela kamarku. Suara itu hadir dari radio yang dinyalakan di kamar sebelah. Terpaksa, saya juga turut mendengarkan lagu itu. Saya pikir, boleh juga Gigi menghadirkan pesan-pesan agama lewat media musik, dengan caranya sendiri, khas Band Gigi. Dan sebagai salah satu bentuk ekspresi. Semua itu adalah hal yang sangat wajar dan lazim apa adanya. Saya kemudian terdiam. Kok kelihatannya ada yang mengganjal dari lirik lagu tersebut. Secara samar-samar, saya melihat bahwa ada semacam pembelengguan atas terminologi ibadah dalam lirik tersebut. Hmm.... begitukah?.... Mari kita perhatikan lebih lanjut. Dalam penggalan lirik tersebut, ada kesan yang samar-samar tampak. Di situ ada dua terminologi agama yang digunakan: ibadah dan sholat. Kedua kata itu, kemudian membentuk sebuah jalinan. Pastinya, jalinan itu tidak bersifat substitutif secara utuh. Karena sh

Humanisasi perilaku sadis

Pembunuhan berencana dengan mutilasi kerap terjadi akhir-akhir ini. Di Jawa Tengah sendiri, ada kasus mutilasi di Hotel Handayani II Kopeng, Kab. Semarang dan mutilasi di Jati Barang. Mutilasi seolah menjadi tren di dunia kriminalitas. Dan bila diamati lebih lanjut, hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran media massa sebagai pewarta. Dunia jurnalistik mengenal pemeo anjing menggigit orang bukan berita, orang menggigit anjing, baru berita". Lalu, bad news is good news . Opini ini ditambah dengan logika pasar yang dipertuhankan dan dipersonifikasikan menjadi rating dan oplah. Logika pasar berkata, segala yang menarik perhatian publik selalu diekspos. Tak heran, kriminalitas sadistik belakangan kian sering menghiasi media: elektronik maupun cetak. Ini tak lepas dari faktor unik, menarik, dan penting yang melekat pada kasus mutilasi. Sebagai salah satu produsen wacana ( discourse ), media massa berperan penting dalam pembentukan yang disebut Emile Durkheim sebagai kesadaran

Menggugat keadilan dalam poligami

DALAM perkawinan kebahagiaan adalah tujuan utama. Namun, kata pepatah, jalan tak selamanya bertabur bunga. Ada kalanya bertabur kerikil tajam, duri di jalan. Salah satu problem yang kadang dihadapi adalah belum adanya keturunan. Dunia terasa hambar. Karena anak tak sekedar calon penerus gen. Ia adalah cahaya dan perekat keluarga. Sebuah artikel anonim yang penulis temukan di mesin Google menuturkan. "Bila sang buah hati belum hadir, cintailah pasanganmu 100 persen". Ini teorinya. Tapi, boleh jadi hasrat menimang putera jauh lebih hebat. Hingga tak jarang, biduk keluarga retak dan terancam kelangsungannya. Problem ini menjadi salah satu dari tiga alasan pengadilan membuka pintu poligami dalam UU No. 1/1971 tentang Perkawinan (UUP) pasal 4 ayat (2). Problem lain adalah istri tidak dapat menjalankan kewajiban; dan istri mendapat cacat badan atau penyakit lain yang tidak bisa disembuhkan. Poligami ini demi keutuhan rumah tangga. Syarat adil Seorang lelaki yang hendak mengajuka

Beragama itu Tidak Bebas

Kebebasan dan agama adalah dua hal yang bertolak belakang. Bila kita beragama, maka tidak ada kebebasan di situ. Kita selalu terikat dengan aturan yang ada dan diciptakan oleh agama. Maka, kebebasan beragama tidak akan pernah ada. Karenanya, term kebebasan agama amat rancu. Demikian komentar Syafiq Hasim membuka diskusi “Kebebasan Beragama dan berkeyakinan: Perspektif Agama-Agama”. Senin, 17 Maret 2008, Teater Utan Kayu sesak oleh para pengunjung. Penulis berkesempatan turut serta dalam diskusi yang cukup ramai tersebut. Pukul 19:00 diskusi dimulai dengan menghadirkan KH. Husein Muhammad (Islam), Martin Lukito Sinaga (Protestan) dan Frans Magnis-Suseno (Katolik). Sebelum acara ini dimulai, terlebih dahulu diadakan pemotongan tumpeng di Kafe Tempo dalam rangka ulang tahun Jaringan Islam Liberal ke-7. Komentar Syafiq di atas ternyata menyulut semangat para pembicara dan peserta untuk lebih antusias dalam berdiskusi. Frans Magnis mengawali diskusi dengan menyatakan bahwa setiap ora

Merias wajah keberagamaan kita

YAKINKAH Anda, bahwa Anda adalah seorang pemeluk agama yang taat? Jika Anda menjawab ya, apakah Anda yakin, agama yang Anda peluk itu adalah satu-satunya yang benar dan bisa mengantarkan Anda kepada kebahagiaan di dunia dan kehidupan mendatang? Jika ya, bagaimana dengan agama lain? Dapatkah agama lain “melakukan” hal yang sama dengan agama yang Anda peluk? Atau, agama lain itu sesat? Jika ya, barang kali kita perlu menggeser sudut pandang atas fenomena keberagamaan kita. Dalam The Elementary Form of Religuous Live, Emile Durkheim menuliskan, dalam institusi agama, setidaknya ada tiga elemen yang tidak bisa dipisahkan: realitas supra, ritus, dan komunitas. Realitas supra merupakam tema sentral agama. Realitas ini diandaikan melampaui kemampuan kodrati manusia. Sehingga manusia merasa perlu untuk mendapatkan restunya, terhindar dari murkanya, di kehidupan dunia-akherat. Karenanya, manusia melaksanakan serangkaian ritual. (Harun Nasution, 1999:20). Sementara, komunitas dalam institusi ag