Benih Tasawuf dalam Tradisi Islam
Al Quran merupakan
sumber utama nilai otoritatif dalam Islam. Secara garis besar, al Qur’an punya
dua dalâlah: dzahir dan bathin[1].
Kaum muslim lantas memahami al Quran dalam bingkai berbeda[2].
Kaum formalis memahami al Quran dari sisi dzâhir[3].
Selanjutnya, mereka tampil sebagai ahli fiqih. Mereka mencukupkan diri pada
tiga pencapaian dalam agama: ilmu, amal, dan terakhir ikhlas, meski kurang
begitu mendalam perihal yang terakhir ini.[4]
Sementara, ada golongan yang memahami al Quran dari sisi dalâlah bathin[5].
Mereka memandang Islam dari sisi esoterisnya. Mereka tidak puas dengan segala
pemahaman yang diperoleh kebanyakan umat dan kaum fiqh yang mendekati al
Qur’an (dan as Sunnah) dengan pendekatan —meminjam istilah Abed al-Jabiri—burhânîy
(nalar demonstratif) dan bayâni (teks otoritatif).[6]
Mereka merasa bahwa apa yang dicapai kalangan fiqh
hanya berkutat ritual fisik yang tak jauh dari persoalan-persoalan
“boleh-tidak”, “wajib-sunnah”, “halal-haram”, dan “sah-batal”. Manusia justru
merasa terkungkung dan terbebani oleh berbagai ritual (taklif). Kaum
fiqh mengakui hal ini dengan menyebut kaum muslim dewasa dan berakal sebagai mukallaf
(orang yang terbebani). Selanjutnya, kalangan kedua ini merasakan kehampaan
spiritual yang tak terperikan.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa tokoh
seperti Jalaludin Rumi atau al Ghazali[7] yang beralih
kajian dari ilmu fiqh. Padahal, pada usia relatif muda (24 tahun) Rumi telah
dipercaya sebagai mufti. Demikian dengan al Ghazali, di usia muda pula berkat
kemampuan ilmu fiqhnya, dipercaya menjadi rektor di Perguruan Nidzamiyah.[8]
Demi memenuhi kehampaan, golongan kedua itu berusaha
meraih kedamaian jiwa. Mereka membedah nash dengan pisau analisis yang
disebut dzauq (rasa) dan metode shûfiyah. Akhirnya, mereka
berhasil mengambil “makna lain” yang lebih dalam yang tak pernah tersentuh oleh
kaum fiqh. Kelompok ini lebih menekankan pada “makna lain” (substansi) yang
lebih lembut dan halus.[9]
Mereka, seperti disampaikan Ibn Rusyd dalam Falsafah Ibnu Rusyd; Fasl Maqal
wa al Kasyf an Manahij Abdillah meyakini bahwa makna batin hanya bisa
ditangkap oleh orang yang bersih jiwa dan luas pikiran. Makna yang telah mereka
dapatkan tidak boleh disampaikan kepada kaum awam.[10]
Beberapa ayat dapat dijadikan ilustrasi, Q.S. al
Baqarah: 186.
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي
قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ
بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang
Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran.
Bagi kalangan fuqaha’ (ahli fiqh), ayat di atas
dipahami bahwa Tuhan amat dekat dengan hambaNya. Ia mengabulkan doa orang yang
meminta kepadaNya. Lantas, kita disuruh menunaikan segala perintah Allah SWT
dan beriman kepadaNya agar selalu dalam kebenaran. Cukup sampai sini.
Namun, beda bagi kaum sufi. Kata دعوة tidak
dimaknai sebagai doa, melainkan seruan dalam arti sesungguhnya. Kaum sufi
menyeru Tuhan dan Tuhan pun menyahut. Ternyata, Tuhan yang mereka seru itu amat
dekat, bahkan lebih dekat ketimbang pembuluh darah (Kami lebih dekat
kepadanya daripada pembuluh darahnya [habl al warîd], Q.S. Qaf: 16).[11]
Ini didukung dengan ayat lain yang menyebutkan, dalam diri manusia ada roh
Tuhan yang ditiupkan sesaat setelah Ia menyempurnakan bentuk fisik manusia.
Hal
ini dinyatakan dalam dua ayat berbeda, yakni Q.S. as Sajdah 9 dan Shad 72.[12] Beberapa ayat tadi memberikan inspirasi bagi kaum sufi untuk menyeru dan
menemukan Tuhan tidak ke tempat lain yang jauh, melainkan cukup masuk ke dalam
diri—jiwa-nurani—nya sendiri. Hal ini hanya bisa dilakukan bila hati mereka
—yang diibaratkan oleh Hujatul Islam al Ghazali sebagai cermin—benar-benar
bersih dari segala kotoran.[13]
Bila demikian, ia bisa mencerminkan dan bahkan menjadi representasi keberadaan
Tuhan.
Al Quran juga menyebutkan beberapa cerita umat
terdahulu yang tak jarang berkaitan dengan mistik. Sebut saja kisah perjumpaan
Nabi Musa AS dengan Cahaya Tuhan di sebuah sisi gunung Sinai. Saat itu, baru
melihat cahaya pancaran Tuhan saja, Musa AS pingsan, bahkan gunung itu lebur.
(Q.S. Al A’raf: 143).
Di samping itu, dapat dikatakan, Muhammad SAW adalah
peletak dasar tasawuf. Karena bila menggunakan timbangan tasawuf baku, boleh
dikatakan, Muhammad adalah seorang sufi, bahkan saat ia belum diangkat rasul.
Bisa dibuktikan dengan perilaku Muhammad yang suka menyendiri (uzlah) di
gua Hira’. Tindakan Muhammad itu dilakukan lantaran merasa jenuh dengan
perilaku hedonis penduduk Makkah yang juga abai akan moralitas.[14]
Belakangan, jaman itu oleh kaum Muslim disebut jahiliyah (kegelapan),
saat moral masyarakat tidak diperhitungkan.
Di saat menyendiri itulah, Muhammad menjalani serangkaian
ritual (riyâdhah) berat yang kelak ditiru kaum sufi. Muhammad memakan
bekal sederhana dan seadanya—seperti yang biasa dilakukan. Beliau hanya makan
saat lapar dan segera menyudahinya sebelum kenyang. Ia juga mengenakan pakaian
sederhana, konon kain wol kasar. Ritual itu dilakukan setiap Ramadhan selama
bertahun-tahun.[15]
Hingga akhirnya, Muhammad mendapatkan pencerahan dengan turunnya wahyu pertama,
Q.S. al Alaq 1-5.
Sebagai rasul, Muhammad SAW menerima wahyu untuk
disampaikan kepada umatnya. Dalam proses penerimaan wahyu ini, ada kalanya
Muhammad SAW menerima secara langsung, baik dengan musyahadah
(menyaksikan) atau dari balik hijab. Kadang wahyu itu disampaikan tidak
langsung dengan perantara kurir, Malaikat Jibril, baik dalam bentuk aslinya
maupun menjelma seorang pemuda[16].
Saat menerima wahyu itulah, Nabi tidak berada dalam dunia yang melingkupi wadag
tubuhnya. Tak jarang, seusai menerima wahyu, Nabi merasakan kepayahan luar
biasa. Nabi bahkan sempat lupa dengan Aisyah, istri sendiri saat masuk ke rumahnya.
Muhammad SAW juga pernah menjumpai pengalaman luar
biasa.[17]
Saat Mi’raj menuju ke Sidratul Muntaha dan Mustawa, melampaui tujuh lapis
langit yang ada dengan beragam pengalaman mistis. Muhammad saat itu berhasil
menjangkau wilayah yang tak bisa dijangkau, bahkan oleh Malaikat Jibril
sekalipun.[18]
Nabi berjumpa dengan Tuhan secara langsung. Pengalaman ini lantas menjadi prototipe
perjumpaan, kenaikan kaum sufi menuju alHaqq.[19]
Pengalaman lain adalah cerita Aisyah RA, istri termuda
Muhammad SAW. Ia menuturkan, meski mata Muhammad SAW terpejam dan tidur, namun
hatinya tidak pernah tidur, karena selalu ingat (berzikir) kepada Tuhan.[20]
Malahan, meski Muhammad SAW mendapat jaminan bersih dari dosa dan kesalahan (ma’shum)
dalam sehari tak kurang dari 70 kali beliau bertaubat kepada Allah SWT.
Islam juga mengenal trilogi Islam-Iman-Ihsân.
Islam merupakan sikap pasrah-selamat. Sedang iman lebih merupakan ekspresi
pengakuan batin yang mendalam atas keesaan Tuhan. Sementara, mengenai ihsân,
Nabi menjelaskan an ta’budallâh kaannaka tarâhu. Saat beribadah,
seolah-olah kita melihat Allah. Jika tidak bisa, fainnahu yarâka, maka
sesungguhnya Allah melihat kita.[21]
Hadits lain yang amat mendukung tasawuf adalah man ‘arafa nafsahu faqad
arafa rabbahu.[22]
Barang siapa yang mengenal dirinya, pasti kenal Tuhannya. Bahkan ada Hadits
Qudsi[23]
menyatakan, Aku pada mulanya adalah harta tersembunyi, kemudian Aku ingin
dikenal, maka Kuciptakan makhluk dan merekapun kenal padaKu melalui diriKu.
Secara internal, ada banyak teks otoritatif, baik al
Quran maupun as Sunnah —dalam arti umum, mencakup perilaku, ujaran, sifat,
hingga ketetapan Muhammad— yang mencontohkan beberapa riyâdhah,
latihan, dan pola hidup agar bisa lebih dekat kepada Tuhan. Kesemuanya itu,
mengandung serpihan beberapa prinsip serta ajaran tasawuf. Beberapa teks di
atas nyata-nyata memberi ruang, peluang, stimulus, inspirasi, bahkan semangat
bagi para sâlik untuk mendapatkan justifikasi sekaligus metode
pembersihan diri agar sedekat mungkin pada Tuhan. Namun, cara yang digunakan
belum dikodifikasikan dan masih tersebar.
[1] Istilah ini memang kurang tepat. Karena
dalam ushul fiqh tidak dikenal dalâlah bathin dan dzahir. Yang
ada adalah Dalâlah Nash, Dalalah Isyarah, Dalalah Dalalah,
dan Dalalah Iqtidha’. Di sini, kedua istilah ini hanya digunakan penulis
—tanpa bermaksud merancukan—untuk merepresentasikan antara narasi (penanda)
yang tampak pada teks al Qur’an dan narasi (tinanda) lain yang amat jauh dari
penandanya (dzahir teks) yang tampak. Lihat Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul
Fiqh, (Kairo: Dar al Qalam, t. th.), hlm. 143. Klasifikasi semacam ini,
pada akhirnya dapat digunakan untuk membedakan dua unsur besar dalam agama:
esoteris dan eksoteris. Kedua hal ini saling berkelindan dalam kehidupan
seorang pemeluk agama (Islam), dan tidak dikhotomis.
[2] Mengenai perbedaan dan relasi antara
Syariat dan Sufi, ada kajian yang cukup komprehensif. Yakni, M. Abdul Haq al
Anshari, Sufism and Shari’ah, A Study of Syaikh Sirhindi’s Effort to Reform
Sufism, (Kuala Lumpur: The Islamic Foundation), hlm. 221.
[3] Metode tafsir yang kemudian hadir
kebanyakan adalah tafsir bi al riwâyah (tafsir dengan riwayat, cerita)
dan tafsir bi al dirâyah (tafsir dengan rasio), seperti tafsir kalangan mainstream.
[4] Lihat William C. Chittick, The Sufi
Path of Love: The Spiritual Theaching of Rumi, terj. Jalan Cinta Sang
Sufi, Ajaran-ajaran Spiritual Jalaludin Rumi, Penerj. M. Sadat Ismail, et.
all. (Jogjakarta: Penerbit Qalam, 2003), hlm. 15.
[5] Tafsir-tafisr yang kemudian muncul
adalah tafsir isyâri yang tidak bisa digolongkan ke dalam tafsir
riwâyah atau tafsir dirâyah, karena banyak menggunakan intuisi
sebagai alat analisisnya.
[6] Pemikir kontemporer
Abed al Jabiri, dalam Takwin al Aql al Araby, menelorkan gagasan Trilogi
Nalar Arab, yakni nalar irfany, bayani, dan burhany.
[7] Hujjatul Islam al Ghazali dalam mini
otobiografinya, al Munqidz Minadz Dhlâl, menuturkan ketidakpuasan atas
pemahaman yang itu-itu saja. Baginya, pemahaman versi fiqh tidak mampu
menyampaikan manusia pada al Haq. Lihat al Ghazali, Majmu’ Rasail,
Kitab al Munqidz min al Dhalâl, (Beirut: Dar el Kutub al Ilmiyah, 1988),
hlm. 56.
[8] Yang masih menjadi pertanyaan adalah,
apakah perpindahan rel para ulama tersebut dari fiqh ke tasawuf karena pelarian
setelah tidak mendapatkan kepuasan di rel fiqh. Atau jangan-jangan, justru
tasawuflah yang memang menjadi puncak pencapaian dari semua rel yang ada? Ini
masih menjadi bahan perdebatan yang cukup menarik.
[9] Pemilihan kata
“substansi” dalam kalimat di atas tidak dimaksudkan sebagai antonim bagi kata “form“,
dalam bingkai ilmu fiqh. Dalam sejarah fiqh, ada dua garis besar corak
pemikiran: Madrasah Ahli Ra’yi dan Madrasah Ahli Hadits. Ahli
Ra’yi acap disapa dengan kaum substantif-rasionalis, sedang Ahli Hadits
akrab disebut kaum formalis-literalis. Lihat A. Zuhri, Hukum Islam dalam
Lintasan Sejarah, (Jakarta: Rajawali Press, 1999). Syair Rumi ini tampaknya
bisa memberika gambaran:
“Meski shalat merupakan salah satu amal
yang teramat penting, Tetapi yang lebih
penting lagi adalah roh dan makna, bukan bentuk, sebagaimana roh manusia lebih
penting dan lebih mulia dari pada bentuknya. Karena bentuk itu fana, sedangkan
rohnya abadi.” Seperti
halnya bentuk ritual shalat tidaklah tetap (di kalangan fuqaha’, tetapi
makna dan rohnya tidak berubah, (Jalaludin Rumi, Maktubat, 19/23 66-67), lihat William C. Chittick, ibid.,
hlm. 232.
[10] Lihat Harun Nasution, Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 49.Ibnu Rusyd,
Falsafah Ibnu Rusyd; Fasl Maqal wa al Kasyf an Manahij Abdillah, terj.
Ibnu Rusyd, Mendamaikan Agama dan Filsafat; Kritik Epistemologi Dikotomi
Ilmu, (Yogyakarta: Tsawrah Institute Ponorogo dan Pilar Media, 2005)
[11] Harun Nasution, Islam
Ditinjau..., ibid.,. hlm. 69-71.
[12] Ayat ini juga memberi inspirasi bagi
penganut paham emanasi, bahwa roh Tuhan terpancar. Disebutkan faidzâ
sawwaytuhû wanafakhtu fîhi min rûhy, Maka setelah Aku sempurnakan
kejadiannya dan Aku tiupkan kepadanya dari roh (ciptaan)Ku. (Q.S. Shad 72)
[13] Al Ghazali, sebagaimana dikutip Az
Zarnuji, menyatakan bahwa orang yang hatinya kotor (cerminnya kotor), tidak
akan pernah bisa menerima ilmu Tuhan, apalagi memancarkanya kembali. Lihat az
Zarnuji, Ta’lîm al Muta’allim, (Semarang: Toha Putera, t. th.).
[14] Mayoritas sejarawan yang obyektif
sepakat bahwa Muhammad adalah seorang yang amat gelisah dengan kebobrokan yang
terjadi di antara kaumnya. Saat muda, Ia merupakan satu-satunya pemuda yang
ikut dalam rapat para golongan tua-pemuka yang juga gelisah dengan kebejatan
itu. Di antara mereka ada Waraqah bin Naufal, seorang Kristen ortodoks, paman
Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi. Baca Taha Husein, ‘Ala Haamish As
Shirah, terj. Cahaya Rasul, Catatan Terlupakan dari Kehidupan Nabi
Muhammad, (Jogjakarta: Navilla, 2006).
[15] Baca Prof. Hamka, Tasauf,
Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), hlm. 20.
[16] Pernah suatu ketika Nabi saat berkumpul
dengan para sahabat, kedatangan seorang tamu yang berpakaian putih bersih. Ia
menanyakan kepada Nabi dan membenarkan jawaban Nabi. Baca Hadits pertama dalam
an Nawawy, Hadits Arbain an-Nawawiyah, (Semarang, Toha Putera, t. th.),
hlm. 4
[17] Luar biasa, karena secara akal sehat
pada masa itu, perjalanan Makkah-Palestina memakan waktu satu bulan tanpa
istirahat. Sementara Nabi hanya dalam waktu semalam, itu pun pulang pergi.
Hingga para pemuka Qurays menganggap Nabi sudah gila. Namun, Abu Bakar adalah
orang yang pertama membenarkan yang disampaikan Muhammad. Dan Abu Bakar oleh
kaum Muslim diberi gelar Ash Shiddiq (sang Pembenar, Jujur).
[18] Sebuah kitab yang cukup familiar di
kalangan pesantren yang secara panjang lebar membahas peristiwa ini adalah Qishatul
Mi’raj, (Surabaya: Dar Ihya el Kutub al Arabiyyah, t. th.)
[19] Annemarie Schimmel, Mystical
Dimention of Islam, terj. Dimensi Mistik dalam Islam, penerj.
Sapardi Joko Damono, [et. all], (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 31.
[20] Keterangan lebih lanjut, lihat Annemari
Schimmel, ibid., hlm. 33.
[21] Hadits sahih ini diriwayatkan
bersama-sama oleh Imam Bukhari, Muslim, at Turmudhi, An Nasai, Abu Dawud, dan
Imam Ahmad.
[22] Selanjutnya, Hadits populer ini menjadi
pijakan adanya ma’rifat dalam tasawuf Sunny.
[23] Hadits Qudsy merupakan Hadits yang
disandarkan pada Tuhan. Nabi menerimanya dalam bentuk konsep dari Tuhan,
kemudian Nabi menyampaikannya dengan lidah dan redaksinya sendiri.
Ini adalah tulisan lama yang dimuat di Jurnal Justisia edisi Mistisisme dalam Islam. Dimuat lagi di blog ini agar bisa dibaca khalayak yang lebih luas. Adapun tulisan pertama ada di sini.
Comments