Sejak tahun 2019 saya diminta kampus untuk mencari mahasiswa untuk dikirim dalam delegasi Musabaqah Qiroatul Kutub (MQK). Dan sejak saat itu saya selalu kesulitan untuk mendapatkannya.
Jangankan membaca kitab kuning, membaca al-Quran saja masih banyak mahasiswa yang kesulitan. Haha...
Di tahun 2020 saya mencari santri di PP Riyadlotul Ulum untuk saya ikutkan. Alhamdulillah bisa berpartisipasi meskipun tidak mendapatkan juara.
Di awal tahun 2021 saya kembali diminta untuk mencari peserta lomba baca kitab kuning untuk event Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) PTKIN se-Sumatera di UIN Imam Bonjol, Padang pada bulan Juni.
Dari belasan mahasiswa, terpilihlah Rouf, santri PP Mambaul Huda. Beberapa kali ia main ke rumah untuk belajar membaca kitab Bidayat al-Mujtahid.
Alhamdulillah Rouf masuk babak penyisihan namun tersingkir di babak semi final.
Di bulan Oktober tahun yang sama, IAIN Metro mau mengirimkan peserta OASE di Banda Aceh. Lagi-lagi saya diminta mencari anak untuk diikutkan.
Terdapat tiga anak: yakni Riski, Fathoni, dan satu lagi Khafidatul Mukaromah.
Riski dan Fathoni adalah santri PP Darul Ulya, sedangkan Khafidatul Mukaromah adalah santri PP Riyadlotul Ulum.
Karena pertimbangan usia semester dan kematangan, Riski dan Khafidatul Mukaromah yang diikutkan dalam lomba membaca kitab kuning. Sedangkan Fathoni yang masih semester 1 diproyeksikan untuk tahun depan.
Dari sini kemudian saya merasa perlu membuat komunitas lagi setelah Moot Court Community (MCC), untuk mewadahi kreativitas mahasiswa.
Ada beberapa pertimbangan pentingnya membangun komunitas ini.
Pertama, kitab kuning adalah hal yang penting dalam tradisi keilmuan Islam. Khazanah keilmuan Islam terkandung di dalam jutaan lembar kitab kuning.
Kedua, kemampuan membaca kitab kuning adalah keniscayaan bagi generasi saat ini jika ingin mengetahui puncak-puncak peradaban Islam masa lalu.
Ketiga, meskipun berlabel kampus agama, tapi sangat sedikit mahasiswa yang mampu membaca kitab kuning. Oleh karena itu, perlu dibuatkan penanganan khusus untuk meningkatkan kapasitas ini.
Keempat, tradisi dan khazanah keagamaan di kampus perlu dipupuk agar lebih hidup, agar kegiatan-kegiatan keagamaan yang bernilai ilmiah dan mendalam makin hidup.
Kelima, setiap tahun pasti ada OASE, PKM, dan berbagai agenda yang membutuhkan atlet MQK. Oleh karena itu, perlu semacam training center bagi calon atlet qiroatul kutub di IAIN Metro.
Oleh karena berbagai pertimbangan tersebut, akhirnya dibentuklah komunitas belajar kitab kuning.
Ketiga anak tadi saya jadikan sebagai pionir awal. Riski sebagai ketua, Fathoni sekretaris, dan Khafidatul Mukaromah bendahara.
Anggotanya sambil jalan nanti. Hehe
Agar lebih dikenal, komunitas ini saya beri nama Turots Community.
Turots merujuk pada makna tradisi, keilmuan, sekaligus juga kitab kuning. Sehingga komunitas ini bergerak pada kajian tradisi keislaman, baik ilmiah maupun kesenian Islam.
Untuk mewadahi semangat seni keislaman, dibentuklah tim hadrah yang saya beri nama Bi Syauqina, yang bermakna "berlatar Kerinduan Kami." Hadrah ini dikomandani Ibnu dan Anisa Karomah.
Mulanya, ada keinginan agar Turots Community dibakukan sebagai UKM yang diletakkan di level Institut.
Akan tetapi, mempertimbangkan bidangnya yang sangat spesifik kesyariahan yakni kajian kitab kuning, maka Turots ini ditetapkan sebagai komunitas di level Fakultas, selevel dengan Moot Court Community atau Komunitas Falak.
Namun demikian, Turots terbuka bagi seluruh mahasiswa IAIN Metro, apa pun prodinya, tidak harus mahasiswa Fakultas Syariah.
Saya kemudian berkonsultasi dengan Bu Nety, Wakil Dekan III. Beliau pun mendukung Turots Community.
Saya kemudian konsultasi dengan Pak Dekan Husnul. Alhamdulilah beliau menyambut baik dan bahkan meminta saya segera mengajukan permohonan SK kepengurusan agar bisa segera disahkan.
Dan jadilah Turots Community ini.
Salam Turots.
Comments