Skip to main content

Prinsip Dasar Waris Islam yang Sering Dilupakan


Ada tiga prinsip dasar yang harus dipahami dalam waris Islam, yang sayangnya sering dilupakan. Ketiganya adalah: tauhid, hakikat manusia, dan hakikat harta.

Tauhid artinya mengesakan. Artinya, Allah adalah segalanya, tiada yang lain selain Allah. Dialah pemilik segalanya. Dialah asal segala sesuatu dan muara segala sesuatu. Al-Awwal wa al-Akhir.

Selanjutnya, hakikat manusia. Manusia terdiri atas tiga bagian: nafs (jiwa), jasad, dan ruh. Nafs adalah jiwa manusia yang berasal dari alam malakut. Jasad berasal dari saripati bumi. Dan ruh adalah pengikat bagi kedua hal tersebut.

Ketika ajal seseorang telah tiba, Allah mencabut ruh yang mengikat. Sehingga nafs dan jasad tercerai berai. Jasad kembali kepada bumi, terurai di dalam tanah. Kemudian jiwa (nafs) berpindah ke alam barzah, untuk kembali kepada Allah.

Sebab itulah, ketika ada orang yang meninggal dunia, kita mengucapkan tarji', Inna lillah wa Inna ilaihi raji'un. Kita semua adalah milik Allah, dan kita semua akan kembali kepada-Nya.

Kemudian hakikat harta. Sebetulnya harta itu apa?... 

Sesungguhnya harta adalah milik Allah. Karena bumi, langit, dan semua isinya adalah ciptaan Allah. Nah, harta ini dititipkan kepada manusia untuk dikelola demi kemaslahatan umum.

Nah, garis bawahnya adalah bahwa harta benda adalah titipan Allah. 

Pertanyaannya kemudian adalah, ketika meninggal dunia, manusia kembali kepada Allah. Lalu harta peninggalan si mayit tadi bagaimana?

Karena semua harta adalah milik Allah, ya harta peninggalan tersebut kembali lagi kepada Allah sebagai pemilik sejati. Sebab itulah Allah memiliki nama Al-Waritsu (Yang Maha Mewarisi).

Pertanyaannya kemudian adalah: jika semua harta peninggalan tersebut milik Allah, sementara ia harta tersebut ada di dunia dan perlu diurus. Bagaimana ini?

Untuk mengurus harta tersebut, Allah kemudian menetapkan hukum waris melalui Al-Qur'an. Dari sekian hukum Allah yang diturunkan, hanya waris yang diatur detil bagian-bagian hak ahli waris di dalam Al-Quran. 

Silakan simak an Nisa 11, 12, dan 176. Allah menetapkan bagian-bagian yang jelas bagi setiap ahli waris. 

Misalnya, suami dapat 1/4 jika tidak ada anak dan 1/8 jika ada anak. Istri dapat 1/4 jika tidak ada anak dan 1/8 jika ada anak. Anak laki mendapat asabah (sisa). Anak perempuan mendapat separo anak laki-laki. Begitu seterusnya.

Bagian-bagian ini dalam bahasa arab disebut al-fardh al-muqaddarah (atau bagian-bagian yang ditetapkan hitungannya). Oleh karena itu, ilmu ini disebut ilmu faraid (jamak dari kata al-fardh).

Begitulah Allah menetapkan cara pengelolaan dan pembagian atas harta milik Allah. Karena semua itu milik Allah dengan segala kekuasaan-Nya, maka tak salah harta ini disebut harta pusaka.

Harta pusaka memiliki tuah. Karena jika dikelola menurut aturan Allah, ia akan membawa berkah bagi kelangsungan hidup ahli waris. Sedangkan jika dibagi sekehendak nafsu, maka ia akan membawa murka Allah.

Lalu, bagimana cara membagi harta pusaka tersebut?

Pada prinsipnya, harta pusaka adalah harta yang sudah bersih dari hak si mayit. Maka hutang harus dilunasi dan biaya pengurusan jenazah harus disisihkan. Demikian halnya, wasiat harus ditunaikan.

Terhadap harta pusaka ini, yang dibagi adalah porsi atau nisbah kepemilikan atas harta tersebut. Misalnya harta pusaka adalah sebuah rumah, dan ahli waris adalah istri, tiga anak laki-laki dan seorang anak perempuan.

Maka pembagiannya adalah: istri mendapatkan 1/8. Sisanya, 7/8 dibagi untuk anak-anak. Anak laki-laki mendapat 2 bagian dan anak perempuan mendapat 1 bagian. 

Istri= 1/8

Anak Lk A = 2/8

Anak Lk B = 2/8

Anak Lk C= 2/8

Anak Pr= 1/8

Total 8/8, alias habis terbagi.

Nah, porsi tersebut adalah nisbah atau saham kepemilikan masing-masing ahli waris terhadap rumah pusaka tersebut.

Apakah rumah harus dijual dan dibagi uangnya menurut nisbah di atas atau dipotong-potong sesuai nisbah di atas?

Hemat saya, jika rumah dipotong, yang ada malah rusak dan tidak bisa dimanfaatkan. Berbeda dengan tanah yang mudah dipotong-potong.

Bagaimana jika dijual dan uangnya dibagi sesuai nisbah? Boleh saja dengan cara begitu. 

Namun demikian, ada hal lain yang perlu diperhatikan. Jika rumah dijual, maka rumah itu akan hilang, beserta segala kenangan yang ada di dalamnya.

Maka, sebaiknya rumah tetap ditempati oleh salah satu anggota keluarga, agar bermanfaat dan menjadi titik kumpul kehangatan keluarga, juga tempat kembali saat lelah berjuang di luar.

Kemudian, jika ada salah satu ahli waris yang sedang membutuhkan dana, ia bisa menjual nisbahnya kepada ahli waris yang lain. Tentu dengan harga pokok yang disepakati bersama.

Dengan demikian, rumah tetap utuh dan bermanfaat, tidak jatuh kepada orang lain. Hak ahli waris tertunaikan. Dan kebutuhan bisa tercukupi. 

Semua ini hanya bisa berjalan jika prinsip-prinsip dasar di atas dipahami dengan baik oleh seluruh ahli waris. 

Dan yang tak kalah penting, seluruh ahli waris harus sadar bahwa keluarga adalah tempat kembali. Maka musyawarah kekeluargaan harus dikedepankan.

Satu hal lagi yang diperhatikan adalah, bahwa yang dimiliki oleh ahli waris adalah hak. Terhadap hak ini, seorang ahli waris bisa melepaskan hak tersebut secara sukarela demi kepentingan bersama.

M. Nasrudin, SHI, MH



Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Ringkasan Hasil-hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang

بسم الله الرحمن الرحيم A. KOMISI BAHTSUL MASA`IL DINIYAH WAQI’IYYAH 1. Hukum mengingkari janji bagi pemimpin pemerintahan. Pertanyaan: 1) Bagaimana status hukum janji yang disampaikan oleh pemimpin pada saat pencalonan untuk menjadi pejabat publik, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif? 2) Bagaimana hukum mengingkari janji-janji tersebut? 3) Bagaimana hukum tidak menaati pemimpin yang tidak menepati janji? Jawaban: 1) Status janji yang disampaikan oleh calon pemimpin pemerintahan/pejabat publik, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dalam istilah Fiqh, ada yang masuk dalam kategori al-wa’du (memberikan harapan baik) dan ada yang masuk dalam kategori al-‘ahdu (memberi komitmen). Adapun hukumnya diperinci sebagai berikut: Apabila janji itu berkaitan dengan tugas jabatannya sebagai pemimpin rakyat, baik yang berkaitan dengan program maupun pengalokasian dana pemerintah, sedang ia menduga kuat bakal mampu merealisasikannya maka hukumnya mubah (boleh). Sebaliknya,...

Aswaja: Dari Mazhab Menuju Manhaj

Aswaja: Sebuah Penelusuran Historis Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang bermuculan dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya aswajalah yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte. Hingga dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keislaman. Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi wafat. Kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali KW, pengganti Utsman untuk bertanggung jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal. Muawiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr b...

Perbedaan antara Prodi Ekonomi Syariah dan Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HESy) Muamalah

Muhamad Nasrudin, MH Banyak mahasiswa yang kesulitan dalam merumuskan permasalahan bidang hukum ekonomi syariah, terutama saat hendak mengajukan proposal skripsi ke Jurusan.  Salah satu kesulitan yang dihadapi mahasiswa adalah pemilahan antara hukum ekonomi syariah dengan ekonomi syariah. Banyak draf proposal yang diajukan justru berada pada bidang keilmuan ekonomi syariah, alih-alih hukum ekonomi syariah. Memang kedua bidang keilmuan tersebut berimpitan. Bahkan, objek yang dikaji oleh kedua bidang keilmuan tadi adalah objek yang sama, yakni konsepsi dan praktik ekonomi syariah. Kita bisa menyebutkan, misalnya: jual beli, kerja sama, sewa-menyewa, hutang-piutang, saham, obligasi, perbankan, pasar modal, asuransi, dan sebagaimana. Nah, lalu apa beda di antara ekonomi syariah dan hukum ekonomi syariah? Kuy kita bahas. Pertama, rumpun keilmuan . Ekonomi syariah berasal dari rumpun keilmuan ekonomi. Oleh sebab itu, instrumen analisis dalam riset-riset ekonomi syariah adalah instrumen e...

Cikal Bakal Turots Community di IAIN Metro

Sejak tahun 2019 saya diminta kampus untuk mencari mahasiswa untuk dikirim dalam delegasi Musabaqah Qiroatul Kutub (MQK). Dan sejak saat itu saya selalu kesulitan untuk mendapatkannya. Jangankan membaca kitab kuning, membaca al-Quran saja masih banyak mahasiswa yang kesulitan. Haha... Di tahun 2020 saya mencari santri di PP Riyadlotul Ulum untuk saya ikutkan. Alhamdulillah bisa berpartisipasi meskipun tidak mendapatkan juara. Di awal tahun 2021 saya kembali diminta untuk mencari peserta lomba baca kitab kuning untuk event Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) PTKIN se-Sumatera di UIN Imam Bonjol, Padang pada bulan Juni. Dari belasan mahasiswa, terpilihlah Rouf, santri PP Mambaul Huda. Beberapa kali ia main ke rumah untuk belajar membaca kitab Bidayat al-Mujtahid.  Alhamdulillah Rouf masuk babak penyisihan namun tersingkir di babak semi final. Di bulan Oktober tahun yang sama, IAIN Metro mau mengirimkan peserta OASE di Banda Aceh. Lagi-lagi saya diminta mencari anak untuk diikutkan....

Pengantar Aqidatul Awam #01

via IFTTT

Musafir yang Boleh Meninggalkan Puasa

Dalam pembahasan sebelumnya, seorang yang bepergian mendapatkan dispensasi ( rukhsoh ) dalam wujud adanya alternatif untuk meninggalkan kewajiban puasa . Tetapi apakah semua orang yang keluar rumah sudah bisa mendapatkan dispensasi tersebut? Tentu saja tidak. Dalam fikih Islam, kemudahan lahir sebagai alternatif atas adanya kesulitan-kesulitan tertentu dalam beribadah. Karena kesulitan mencari air, diperbolehkan untuk bersuci menggunakan debu atau yang biasa disebut sebagai tayamum. Dalam konteks puasa juga demikian. Hanya musafir dengan kriteria tertentu yang diperbolehkan meninggalkan puasa. Tentu saja meninggalkan di sini tidak benar-benar meninggalkan. Karena ia juga masih berkewajiban untuk menggantinya pada hari lain selepas Ramadhan lewat. Apa saja kriterianya? Pertama , jarak perjalanan minimal 85 km. Kurang dari angka ini seseorang tidak mendapatkan dispensasi ibadah puasa. Jarak ini merupakan jarak yang sama di mana seorang musafir diperkenankan untuk menjamak ...