Skip to main content

Dua Jenis Bersuci dalam Fikih




Di dalam khazanah fikih, thaharah atau bersuci selalu berada pada posisi kunci. Bersuci menjadi salah satu syarat sah. Jika seseorang tidak suci, maka ibadahnya tidak dianggap sah. Oleh sebab itu, bersuci selalu menempati bab pertama dalam setiap pembahasan di nyaris setiap kitab-kitab fikih klasik. Bersuci dalam dimensi fikih diklasifikasikan ke dalam dua pola: yakni bersuci dari najis dan hadats.


Suci dari Najis
Yang pertama ini tentu saja terkait dengan najis. Najis adalah benda asing yang secara syariat dihukumi kotor. Kata kuncinya adalah bahwa status kotor tersebut ditetapkan oleh syariat. Jadi tidak semua benda kotor itu najis, seperti lumpur atau tanah. Tapi najis hampir selalu berupa benda kotor, semisal nanah, air seni, tinja, darah, bangkai, dan seterusnya.

Karena najis merupakan benda asing, maka cara pensuciannya adalah dengan menghilangkan fisik benda tersebut secara benar-benar bersih hingga seluruh sifatnya hilang. Dalam bahasa fikih proses ini disebut izalah najasah. Prosedurnya bermacam-macam tergantung tingkat berat-ringannya najis. Jika ringan (mukhafafah) maka cukup dibersihkan dengan diperciki air; jika sedang (mutawasithah) dengan membasuh air hingga mengalir; jika berat (mughaladzah) dengan tujuh basuhan yang salah satunya dicampur debu.

Prosedur di atas harus ditempuh terhadap seluruh najis yang ada, bahkan terhadap najis yang tak tampak. Misalnya sprei yang terkena ompol yang sudah dijemur dan dianginkan selama beberapa hari atau di-loundry dengan sistem dry cleaning sehingga tidak ada jejak air seni. Secara kasat mata, sprei tersebut sudah bersih, tetapi dalam pandangan syariah sprei tersebut masih tetap dihukumi najis sehingga harus dicuci dengan air mengalir.

Dari sini kita jadi mengerti bahwa dengan mempertimbangkan fisiknya, fikih mengenal dua jenis najis: najis ainiyah (najis yang terindera) dan hukmiyah (najis berdasar status hukum). Najis ainiyah digunakan untuk menyebut najis yang bisa diindera, ada bentuk, warna, aroma, dan rasanya. Sementara najis hukmiyah digunakan untuk menyebut najis seperti ompol di sprei tadi yang sudah tak ada jejaknya baik bentuk, aroma, warna, maupun rasa.

Kedua klasifikasi terakhir ini tetap menuntut untuk disucikan sesuai prosedur mempertimbangkan tingkat berat-ringannya najis tersebut.


Suci dari Hadats
Berbeda dengan najis yang merupakan benda, hadats sama sekali tidak terkait dengan benda. Sebaliknya, ia terkait dengan status individu. Ada yang statusnya suci ada yang statusnya hadats. Sebab itulah hadats tidak bisa ditularkan kepada orang lain. Berbeda dengan najis yang bisa menempel, merembet, dan menular ke berbagai tempat atau lokasi yang berbeda.

Karena hadats tidak terkait dengan benda melainkan dengan status individu, maka prosedur pensuciannya tidak bisa dilakukan dengan membuang sesuatu, karena memang tidak ada benda asing yang hadats dan melekat pada tubuh. Yang bisa dilakukan adalah dengan alih status, dari hadats ke suci. Itulah mengapa dalam fikih tidak ada istilah izalah hadats, tetapi raf’ al hadats sebagaimana terikrar dalam niat wudhu atau mandi.

Masih terkait dengan status individu, orang yang berstatus suci dan hadats memiliki hak yang berbeda. Sama seperti Anda mahasiswa yang aktif atau mahasiswa cuti. Mahasiswa aktif bisa mendaftar kuliah, mendaftar KKN, bimbingan skripsi, dan seterusnya. Tapi mahasiswa cuti tidak bisa mendapatkan fasilitas-fasilitas tersebut karena status cuti. Hal semacam ini tidak berlaku dalam kasus tidak suci lantaran terkena najis.

Orang yang berhadats kecil tidak diperkenankan menyentuh atau membawa mushaf al-Quran, salat (kalau nekat salatnya tidak sah dan harus mengulang). Sedangkan orang yang berhadats besar tidak diperkenankan salat, puasa (untuk haid atau nifas), membaca al-Quran, dan menyentuh atau membawa mushaf. Larangan ini akan gugur tatkala orang tersebut sudah alih status menjadi suci.

Kemudian, berat-ringannya hadats dibagi ke dalam dua tingkat, (1) hadats kecil atau ringan dan (2) hadats besar atau berat. Tingkatan ini juga berimplikasi pada prosedur pensuciannya yang berbeda. Hadats kecil bisa disucikan dengan berwudhu dan hadats besar disucikan harus dengan mandi besar. Jika tidak ada air atau tidak bisa menggunakan air, kedua prosedur ini bisa diganti dengan tayamum yang menggunakan media debu.[]


Salah satu bahan pemantik diskusi di kelas Fikih Ibadah, STIQ An-Nur Yogyakarta. 

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Perbedaan antara Prodi Ekonomi Syariah dan Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HESy) Muamalah

Muhamad Nasrudin, MH Banyak mahasiswa yang kesulitan dalam merumuskan permasalahan bidang hukum ekonomi syariah, terutama saat hendak mengajukan proposal skripsi ke Jurusan.  Salah satu kesulitan yang dihadapi mahasiswa adalah pemilahan antara hukum ekonomi syariah dengan ekonomi syariah. Banyak draf proposal yang diajukan justru berada pada bidang keilmuan ekonomi syariah, alih-alih hukum ekonomi syariah. Memang kedua bidang keilmuan tersebut berimpitan. Bahkan, objek yang dikaji oleh kedua bidang keilmuan tadi adalah objek yang sama, yakni konsepsi dan praktik ekonomi syariah. Kita bisa menyebutkan, misalnya: jual beli, kerja sama, sewa-menyewa, hutang-piutang, saham, obligasi, perbankan, pasar modal, asuransi, dan sebagaimana. Nah, lalu apa beda di antara ekonomi syariah dan hukum ekonomi syariah? Kuy kita bahas. Pertama, rumpun keilmuan . Ekonomi syariah berasal dari rumpun keilmuan ekonomi. Oleh sebab itu, instrumen analisis dalam riset-riset ekonomi syariah adalah instrumen e...

Media Bersuci dalam Fikih (1)

Bersuci dalam fikih membutuhkan media yang digunakan sebagai alat untuk bersih-bersih. Media di sini adalah alat yang oleh syariat diberi status sebagai alat bersuci. Lagi-lagi kata kuncinya adalah status yang diberikan oleh syariat. Sehingga tidak mesti benda yang digunakan untuk bersuci adalah benda yang benar-benar bersih jika dilihat menggunakan kaca mata non-syariat. Ada lima media yang bisa digunakan untuk bersuci. Lima media tersebut adalah air, debu, batu, proses penyamakan, dan proses arak menjadi cuka. Masing-masing memiliki syarat tertentu yang harus dipenuhi. Kelimanya juga memiliki peruntukan yang khusus dalam bersuci. Air digunakan untuk berwudhu, mandi, dan istinja. Debu untuk tayamum sebagai ganti mandi atau wudhu. Batu untuk beristinja saja. Proses penyamakan untuk menyamak kulit bangkai. Proses menjadi cuka untuk arak. Air untuk Bersuci Air Mutlak. Air adalah media primer yang bisa digunakan untuk nyaris semua proses bersuci, baik bersuci dari hadats...

Prinsip Dasar Waris Islam yang Sering Dilupakan

Ada tiga prinsip dasar yang harus dipahami dalam waris Islam, yang sayangnya sering dilupakan. Ketiganya adalah: tauhid, hakikat manusia, dan hakikat harta. Tauhid artinya mengesakan. Artinya, Allah adalah segalanya, tiada yang lain selain Allah. Dialah pemilik segalanya. Dialah asal segala sesuatu dan muara segala sesuatu. Al-Awwal wa al-Akhir. Selanjutnya, hakikat manusia. Manusia terdiri atas tiga bagian: nafs (jiwa), jasad, dan ruh. Nafs adalah jiwa manusia yang berasal dari alam malakut. Jasad berasal dari saripati bumi. Dan ruh adalah pengikat bagi kedua hal tersebut. Ketika ajal seseorang telah tiba, Allah mencabut ruh yang mengikat. Sehingga nafs dan jasad tercerai berai. Jasad kembali kepada bumi, terurai di dalam tanah. Kemudian jiwa (nafs) berpindah ke alam barzah, untuk kembali kepada Allah. Sebab itulah, ketika ada orang yang meninggal dunia, kita mengucapkan tarji', Inna lillah wa Inna ilaihi raji'un. Kita semua adalah milik Allah, dan kita semua akan ...

Kondisi Darurat dalam Tayamum

Tayamum dalam fikih dikenal sebagai salah satu alternatif dalam bersuci. Ia menjadi ganti bagi mandi dan wudhu dalam kondisi tidak ada air atau ketika ada halangan yang menyebabkan seseorang tidak bisa menggunakan air. Tayamum memanfaatkan debu sebagai media bersuci sebagai ganti dari air. Penggunaan debu ini adalah kekhususan yang diberikan kepada syariat Nabi Muhammad saw. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah fungsi dasar tayamum sebetulnya tidak bisa digunakan untuk mensucikan diri dari hadats (kecil). Setelah bertayamum sekalipun, status seseorang masih dalam kondisi hadats. Posisi tayamum hanyalah sebagai media untuk mendapatkan dispensasi sehingga seseorang bisa menjalankan ibadah yang mensyaratkan status suci dari hadats besar dan/atau kecil, semisal salat, tawaf, menyentuh mushaf, sujud tilawah, dan sebangsanya. Sebagai alternatif yang berisifat darurat, maka kondisi darurat harus benar-benar terwujud sebelum seseorang bertayamum. Bahkan dalam kondisi tidak a...

Mars dan Hymne IAIN Metro

Mars IAIN Metro Jayalah IAIN Metro Tegap menuju masa depan Tak gentar bersaing tunjukkan kearifan Di bumi persada Kembangkan ajaran Islam Tekuni ilmu dan teknologi Peduli harmoni menjadi jati diri Cita-cita mandiri Marilah seluruh civitas akademika Membaca dan berkarya Menjadi generasi intelektual bangsa Berakhlak mulia Majulah IAIN Metro Majulah civitas akademika Membangun generasi bertakwa pada Ilahi Berkhidmat untuk negeri 2x Jayalah jayalah IAIN Metro ***** HYMNE IAIN Metro Di gerbang Sumatera Lampung tercinta IAIN Metro berada Tempat kami berjuang Tempat kami mengabdi Berbakti pada Ilahi Melangkah dengan Iman dan Taqwa Mengabdi pada bangsa dan negara Di bumi pertiwi kami berpijak Bernaung atas RidhoNYA Syukur dan harapan slalu kami panjatkan Untuk kejayaan Islam rahmat alam semesta Ilmu dan iman menjadi landasan Membangun generasi Indonesia Jaya

Saat Khalifah Harun Al-Rasyid Diprotes Seorang Badui

Siang itu seorang Badui datang menemui Khalifah Harun Al-Rasyid.  Dengan kepongahan, si Badui itu mencecar Harun. "Dasar pemimpin zalim. Saya akan sampaikan kritik yang paling pedas yang pernah engkau dengar." Mata si Badui tadi melotot. Rupanya ia terpengaruh ajaran khawarij, yang dulu pernah mendemo Khalifah Ali bin Abi Thalib kw. "Tidak perlu kata-kata seperti itu, Saudaraku", kata Khalifah Harun dengan pelan. "Memangnya kenapa?!!", suara Badui itu makin tinggi. "Apa kau tak mengerti al-Quran?...", tanya Khalifah Harun. "Saya paham al-Quran!! Tidak seperti kamu!!"  "Kalau begitu, engkau pasti pernah pernah mendengar ayat ini: اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (43) فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (44) Pergilah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun, Sesungguhnya dia telah melampaui batas;   Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ing...