Skip to main content

Posts

Showing posts with the label bijak

Surat untuk Faruq, Anakku Sayang...

Untuk anakku, Faruq. Selamat beranjak dewasa, Anakku.  Faruq, ayah menulis surat ini beberapa hari setelah mengantarkanmu ke Dokter Rudi, yang mengkhitanmu. * * *  Hmm...  Kayaknya baru kemarin pagi, membacakan azan dan mengumandangkan iqamat di kedua telingamu. Kayaknya baru kemarin pagi, mengantarkanmu mengenakan seragam merah putih yang kedodoran. Kayaknya baru kemarin pagi, mengantarkanmu ke pondok untuk ikut mengaji sambil malu-malu kucing. Ah.... waktu begitu cepat.  Tak terasa kini kamu sudah beranjak dewasa. Dan kini sudah menjalani salah satu sunah nabimu, sunah penghulu nabi-nabimu, berkhitan.  * * *  Faruq anakku, ayah tak tahu kapan engkau akan membaca surat ini, tapi ayah berharap engkau berkesemaptan membacanya beberapa saat nanti, dan kembali membacanya kelak, saat engkau sudah benar-benar dewasa. * * *  Faruq anakku, setelah dikhitan, engkau kini bukanlah engkau yang kemarin.  Khitan adalah batas antara kanak-kanak dan kedewasaan. Khitan adalah penanda bahwa dirimu buka

Hak Menghadirkan Kematian (3)

Delegasi Kematian Bila memang kematian adalah hak prerogatif Tuhan, ada sedikit keunikan yang ditampilkan. Betapa tidak? Tuhan sendiri justru memberikan peluang, bahkan mewajibkan manusia untuk menghadirkan kematian, melenyapkan ruh sebagian manusia yang lain.  Pemberian peluang ini dengan memperhatikan kriteria dan batasan-batasan tertentu. Tengok misalnya QS 2:178. ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.” Al-Qur’an juga menuturkan, hukuman qishas (balasan setimpal) sudah ada pada masa Musa AS yang tercantum dalam Taurat. QS 5:45 menuliskan, ”Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya.” Amat jelas, Tuhan mewajibkan qishash (pembalasan setimpal). Memotong

Hak Menghadirkan Kematian (2)

Roh dalam Teks Dalam tradisi Arab, terma mati berasal dari kata kerja dasar  Ù…ات , [m]a[a][t]a. Kata ini diasosiasikan dengan konsep "tenang", "reda", "usang", dan "tak berpenghuni". [1] Asosiasi ini kemudian dipertegas dengan konsep lepasnya ruh dari wadag tubuh sebagaimana dipahami publik. Maka, konsep kematian, juga kehidupan tidak terlepas dari ruh. Kehidupan adalah kehadiran ruh, kematian adalah kepergian. Sementara itu, kata ruh dalam bahasa Arab dianggap berasal dari kata [r]a[w]a[ h ]a . Kata ini diasosiasikan dengan konsep “datang”, “berangkat”, atau “pergi”. Sementara, kata [r]a[w][ h ] diasosiasikan dengan angin sepoi-sepoi. Ini perlambang ruh: bisa disadari kehadirannya, tapi tidak bisa ditangkap wujudnya oleh indera. Kata ruh sendiri, dalam bahasa Arab, biasa ditranslit ke dalam bahasa Indonesia menjadi “ruh”, “jiwa’, “sukma”, “intisari”, “hakekat”, “pertolongan”, “hukum Allah dan perintahnya”, dan ‘malaikat”. [2] Dala

Mentransmisi Agama Lewat Dongeng

"Didiklah anakmu dengan bijaksana. Karena mereka terlahir bukan di jaman kalian." Ini pesan Imam Ali KW kepada para sahabatnya. Setiap generasi lahir dengan semangat dan jiwa zaman ( zetgeist ) yang berbeda. Dalam zaman yang bergerak, perubahan tak terelakkan. Hanya saja, dalam rentang lokus dan tempus yang dinamis, ada beberapa dimensi yang harus dijaga konsistensinya. Ada juga yang harus ditransmisikan idenya. Dalam agama karena tuntutan zaman tentu ada pergeseran, terutama form ritus. Namun, jangan sampai pergeseran terjadi pada spirit, jiwa, dan content agama. Perlu penjagaan atas tradisi dan kode etik yang menjadi identitas agama tertentu. Sebuah ide — juga agama — bisa bertahan dan berhasil menancapkan pengaruhnya melintasi batas teritori, budaya, dan waktu tatkala ia mampu beradaptasi. Hanya dengan adaptasi, ia mampu bertahan dan berkembang di berbagai belahan bumi berbeda. Komunikasi verbal Dalam proses transmisi dan ekspedisi ide agama, komunika

Menguliti Tradisi Tasawuf (3)

Pupuk Tasawuf dari Tradisi non-Islam Melihat praktik yang dijalankan kaum sufi, ada sementara kalangan yang meng­identikkan tasawuf dengan perilaku sejenis dalam tradisi lain di luar Islam. Karena pada kenyataannya, asketisme hampir bisa ditemui dalam semua tradisi agama, samâwîy maupun ardhîy . [1] Wajar hal ini terjadi, lantaran setiap ‘agama’ [dengan a kecil] mempercayai kekuatan gaib yang kudus, di mana manusia tunduk dan akal tak sanggup menjamahnya. Begitu domi­nan­nya kekuatan itu, hingga manusia perlu mendekatkan diri dan menjaganya agar tidak murka, dengan membersihkan dan menjaga diri. [2] Tradisi-tradisi itu tampaknya independen, tidak ada sangkut-paut satu dengan lainya. Namun, bisa jadi, ada kerja saling mempengaruhi, setidaknya ada benang merah di antara tradisi-tradisi asketisme. Hingga tak jarang, beberapa peneliti menyatakan bahwa banyak ajaran non-Islam yang turut bermain dalam proses perkembangan tasawuf. Di antara bebe­rapa tradisi yang menjadi titik perha

Ijtihad Fikih Poskolonial (3-habis)

Relasi Kuasa Ada semacam ketimpangan yang terjadi di antara Kyai Rifa'i dengan para penghulu. Kecaman dan klaim “alim fasik” yang dilekatkan oleh Kyai Rifa'i kepada penghulu merupakan sebentuk kritik atas deviasi yang dilakukan sekelompok penghulu, lantaran kedekatan dan relasi patron-klien dengan penguasa lalim, non-muslim pula. Di sisi lain, para penghulu menganggap Kyai Rifa'i dan komunitas Tarjumahnya sebagai orang-orang yang tidak realistis melihat kondisi bangsa, arogan, sombong, sok suci, dan semberono dalam memahami ajaran Islam, lantaran terlalu sempit. Terlalu mengagungkan pemahamannya sendiri dan sering menyalahkan orang lain. Amat tampak jelas, dalam pertarungan di domain ide, Kyai Rifa'i dan pengikutnya di satu sisi dengan penghulu dan pengikutnya di sisi lain telah membangun relasi timbal balik. Keduanya bertukar peran, baik sebagai pembuat maupun interpreter atas diskursus yang dilontarkan setiap partisipan perang wacana. Dalam dunia ide,

Ijtihad Fikih Poskolonial (2)

Medan bahasa Pada penggalan tulisan bagian pertama, kita bisa membaca dengan jelas kutipan manuskrip Tabyin al-Islah , sebuah kitab yang ditulis Kyai Rifa'i Kalisalak. Ada empat terma yang penulis sengaja membubuhinya dengan garis bawah: alim fasik, penghulu, kefasikan, dan pe[me]rintahan. Keempat titik ini memainkan peran teramat penting dalam medan perang bahasa dan diskursus, waktu itu. Ihwal ini, kita tiada bisa menceraikan dari hegemoni dan dominasi negara asing (baca: kolonial) atas Nusantara. Baik secara fisik dengan barisan tentara dan dentuman meriam serta senapan; pengetahuan dengan penguasaan wacana; politik dengan penaklukan raja-raja kecil; dan bahkan pengetahuan agama dengan hadirnya sistem Kapengulon besera seperangkat penghulu yang mengitarinya. Kesemua itu menjadikan pola relasi kolonial dengan (pribumi) Nusantara menjadi benar-benar timpang, tak berimbang. Kolonial meminjam tangan para penguasa lokal, mulai dari Bupati dan ajudannya, hingga kepala des

Membaca yang Tak Tertulis

“Bukan membaca di sepanjang baris, melainkan membaca di antara baris.” Begitu kata Fung Yulan, seorang filsuf Tiongkok kontemporer, tatkala memberikan wejangan, apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang yang hendak mempelajari filsafat Tiongkok. Karena, para filsuf Tiongkok tidak menuliskan apa yang dikatakan, melainkan menulis apa yang dipikirkannya. Kutipan di atas penulis temukan saat menyunting naskah Sejarah Filsafat Tiongkok . Naskah ini ditulis oleh Budiono Kusumohamidjojo, seorang pengajar Filsafat Tiongkok di Universitas Parahyangan. Dari wejangan Fung Yulan di atas, kita akan menemukan karakter yang berbeda antara filsafat Tiongkok (baca: filsafat Timur) dengan filsafat Barat. Filsafat Barat, berlandas rasio, riuh menyuarakan apa yang mereka baca dan tulis. Sedang filsafat Timur membaca dalam senyap, apa yang tak-tertulis dan tak-terkatakan . Filsafat Barat menitikberatkan pada kebebasan dan penghargaan (berlebih) pada individu. Dan saat bersihadap, maka tiap-tiap ind

Tahu Bodoh

Semakin banyak kita belajar dan membaca, maka kita semakin sadar bahwa di luar sana ada banyak hal yang belum kita ketahui-pahami. Ujung-ujungnya, makin kita sadar bahwa kita makin bodoh. Jika sudah begini, masih ada alasan untuk sombong? Rasa-rasanya tidak. Maka benar bulir padi yang makin berisi makin merunduk. Sebaliknya, ketika kita merasa sudah mengetahui dan menguasai sesuatu, maka saat itu kita menutup akses diri kita atas pengetahuan baru. Ketika kita dihadapkan pada satu judul bukulalu bergumam, “Ah, paling isinya cuma begini dan begitu”, detik itu juga kita menutup akses kita akan pengetahuan baru dari buku tersebut. Dan menjadi makin bodoh betulan. Maka menarik sekali kategorisasi yang dibikin oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali bahwa manusia bisa diklasifikasikan ke dalam empat sifat. Pertama, mereka yang tahu (baca:sadar) bahwa dirinya tahu. Kedua, mereka yang tak tahu (baca: sadar) bahwa dirinya tahu. Ketiga, mereka yang tahu bahwa dirinya tidak tahu. Dan

Membaca Struktur Nalar Lirik Lagu Gigi

“Beribadah yok… Jangan banyak alasan” “Ayo sholat yok... sebelum disholatkan” Suara Arman Maulana, vokalis Band Gigi menyentak di sela-sela jendela kamarku. Suara itu hadir dari radio yang dinyalakan di kamar sebelah. Terpaksa, saya juga turut mendengarkan lagu itu. Saya pikir, boleh juga Gigi menghadirkan pesan-pesan agama lewat media musik, dengan caranya sendiri, khas Band Gigi. Dan sebagai salah satu bentuk ekspresi. Semua itu adalah hal yang sangat wajar dan lazim apa adanya. Saya kemudian terdiam. Kok kelihatannya ada yang mengganjal dari lirik lagu tersebut. Secara samar-samar, saya melihat bahwa ada semacam pembelengguan atas terminologi ibadah dalam lirik tersebut. Hmm.... begitukah?.... Mari kita perhatikan lebih lanjut. Dalam penggalan lirik tersebut, ada kesan yang samar-samar tampak. Di situ ada dua terminologi agama yang digunakan: ibadah dan sholat. Kedua kata itu, kemudian membentuk sebuah jalinan. Pastinya, jalinan itu tidak bersifat substitutif secara utuh. Karena sh

Gaul Iya, Paham Islam Juga

"Ma...ma...af, sa...ya...nggak tahu, Pak" Jawaban grogi seperti itulah barangkali yang kamu berikan kala ditanya gurumu: Apakah zakat itu? Gimana menyalurkannya? Mengapa kita musti beribadah? Apa sajakah ibadah itu? Dan seterusnya. Dan sebagainya. Ataukah dengan pedenya kamu tetep ngejawab atas ketidaktahuanmu? Janganlah yaw! Malu-maluin... Pertanyaannya kemudian, kenapa kita tidak tahu, padahal kita mengaku muslim sejati? Hayo... Kenapa? Mungkin, di antara kamu ada yang ngejawab, "Nggak ada waktu untuk belajar agama." Atau, "Mata pelajaran agama di sekolah ngebosenin, monoton, dan gurunya killer abis". Boleh jadi yang disampaikan di sekolah atau pengajian saat bicara agama pasti mengarah ke surga atau neraka. Iya, kalau kita punya tabungan banyak ibadah karena ngerti caranya, kita bisa pegang tiket ke surga. Lha kalau kita banyak dosa? Atau, kita tidak shalat misalnya dengan alasan aneh: karena tidak bisa. Apa tidak repot? Belum lagi jika belajar a

Mendamaikan Lantunan Salam

“Assalamu’alaikum wr. wb.” Demikian kata Prof. Dr. Said Aqil Siraj, saat membuka orasi budaya Menjembatani Politik dan Agama yang dihelat Impulse di ruang Kepodang, Kanisuis, 23 April lalu. “Waalaikum Salaam”, Itu jawaban yang diberikan para pengunjung yang tentu saja beragam iman. Salam yang sama disampaikan seorang pimpinan Pemprof Jateng kala membuka sambutan pada Dialog Antar Iman yang dilaksanakan Bakesbangpolinmas Jateng, 21-22 November 2008 lalu di Bumi Perkemahanan Salib Putih, Salatiga. Seorang kawan non-muslim yang duduk sebangku, hanya terdiam, tak menjawab salam. Penulis sengaja membuka tulisan ini dengan “salam muslim”. Menariknya, salam itu disampaikan kepada komunitas beragam agama, tidak hanya muslim. Kondisi serupa pernah penulis alami kala live in pemuda lintas agama Pondok Damai di Vihara Dhammadipa, Pandak, Kudus, 16-18 Agustus tahun lalu. Sama, kala penulis membuka dengan “salam muslim”, beberapa peserta nonmuslim terdiam, tak menjawab. Bila kita cermati, dalam pe

menulis tanpa ide

Ide baru. Di sinilah titik pertaruhan sebuah tulisan oleh penulis. Menjadi kian menarik, tatkala ide itu menggigit dan unik. Lalu jika tiada ide, saya akan menulis apa? Saya berhenti di sini kala hendak menulis halaman ini. Saya kebingungan, benar-benar tidak ada ide baru yang hendak penulis bagikan kepada pembaca tentang dunia menulis. Saya membaca-baca arsip FHK. Ah! (Hampir) semua ide tentang menulis sudah dituliskan para penulis terdahulu di rubrik FHK ini. Lama merenung, sampai akhirnya saya tersadar. Selama ini, saya terlalu fokus pada sosok “ide”. Inilah yang justru membelenggu kreatifitas saya selaku kreator. Padahal, seharusnya tidak demikian. Saya bisa menuliskan apapun, bahkan saat tidak ada ide baru sekalipun. Keterbelengguan ini memuncak tatkala kita hanya terfokus pada apa yang kita sebut sebagai ide baru. Saya kemudian mencari-cari di pelbagai bacaan tentang bagaimana mengasah keterampilan menulis. Saya tidak menemukan hal yang benar-benar baru dan fresh . Yang

Humanisasi perilaku sadis

Pembunuhan berencana dengan mutilasi kerap terjadi akhir-akhir ini. Di Jawa Tengah sendiri, ada kasus mutilasi di Hotel Handayani II Kopeng, Kab. Semarang dan mutilasi di Jati Barang. Mutilasi seolah menjadi tren di dunia kriminalitas. Dan bila diamati lebih lanjut, hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran media massa sebagai pewarta. Dunia jurnalistik mengenal pemeo anjing menggigit orang bukan berita, orang menggigit anjing, baru berita". Lalu, bad news is good news . Opini ini ditambah dengan logika pasar yang dipertuhankan dan dipersonifikasikan menjadi rating dan oplah. Logika pasar berkata, segala yang menarik perhatian publik selalu diekspos. Tak heran, kriminalitas sadistik belakangan kian sering menghiasi media: elektronik maupun cetak. Ini tak lepas dari faktor unik, menarik, dan penting yang melekat pada kasus mutilasi. Sebagai salah satu produsen wacana ( discourse ), media massa berperan penting dalam pembentukan yang disebut Emile Durkheim sebagai kesadaran

Menggugat keadilan dalam poligami

DALAM perkawinan kebahagiaan adalah tujuan utama. Namun, kata pepatah, jalan tak selamanya bertabur bunga. Ada kalanya bertabur kerikil tajam, duri di jalan. Salah satu problem yang kadang dihadapi adalah belum adanya keturunan. Dunia terasa hambar. Karena anak tak sekedar calon penerus gen. Ia adalah cahaya dan perekat keluarga. Sebuah artikel anonim yang penulis temukan di mesin Google menuturkan. "Bila sang buah hati belum hadir, cintailah pasanganmu 100 persen". Ini teorinya. Tapi, boleh jadi hasrat menimang putera jauh lebih hebat. Hingga tak jarang, biduk keluarga retak dan terancam kelangsungannya. Problem ini menjadi salah satu dari tiga alasan pengadilan membuka pintu poligami dalam UU No. 1/1971 tentang Perkawinan (UUP) pasal 4 ayat (2). Problem lain adalah istri tidak dapat menjalankan kewajiban; dan istri mendapat cacat badan atau penyakit lain yang tidak bisa disembuhkan. Poligami ini demi keutuhan rumah tangga. Syarat adil Seorang lelaki yang hendak mengajuka

Menguliti Tradisi Tasawuf (1)

Ini adalah tulisan riset saya di Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Walisongo edisi 30 tentang Mistisisme. Tulisan ini kami turunkan dalam beberapa potongan agar mudah dalam membacanya.  Mistisisme Islam: Selayang Pandang Tasawuf Islam Dapat dikatakan, mistis adalah bahan yang tak habis dibicarakan. Terlebih bagi masyarakat Timur. Neils Mulder, saat memberikan kata pengantar dalam hasil pene­litiannya di Jogjakarta menyatakan kekagumannya akan hal ini. Masyarakat Timur, menurutnya, bebas membicarakan dunia mistis, bahkan dalam hidup keseharian. Berbeda dengan masyarakat Barat yang enggan membicarakan dimensi religiusitas, apalagi mistis. [1] Mistis menyajikan pengalaman batin yang tiap orang bisa berbeda jalan pengalaman, penafsiran, dan tentunya perspektif. [2] Karena itu, di antara peminat maupun penikmat mistis, baik pelaku sendiri, masyarakat awam, ulama, atau peneliti, tak ada kata sepakat dalam pendefinisian mistis. Apalagi, saat mistis bermesraan dengan salah