Skip to main content

menulis tanpa ide

Ide baru. Di sinilah titik pertaruhan sebuah tulisan oleh penulis. Menjadi kian menarik, tatkala ide itu menggigit dan unik. Lalu jika tiada ide, saya akan menulis apa? Saya berhenti di sini kala hendak menulis halaman ini. Saya kebingungan, benar-benar tidak ada ide baru yang hendak penulis bagikan kepada pembaca tentang dunia menulis.
Saya membaca-baca arsip FHK. Ah! (Hampir) semua ide tentang menulis sudah dituliskan para penulis terdahulu di rubrik FHK ini. Lama merenung, sampai akhirnya saya tersadar. Selama ini, saya terlalu fokus pada sosok “ide”. Inilah yang justru membelenggu kreatifitas saya selaku kreator. Padahal, seharusnya tidak demikian. Saya bisa menuliskan apapun, bahkan saat tidak ada ide baru sekalipun.
Keterbelengguan ini memuncak tatkala kita hanya terfokus pada apa yang kita sebut sebagai ide baru. Saya kemudian mencari-cari di pelbagai bacaan tentang bagaimana mengasah keterampilan menulis. Saya tidak menemukan hal yang benar-benar baru dan fresh. Yang ada hanyalah pengulangan di sana-sini dengan perspektif dan analisis yang berbeda, dan tentu saja penyampaian berbeda.
Aha! Sekali lagi, saya baru tersadar. Sungguh! Di dunia ini, termasuk dunia penulisan tidak ada yang benar-benar baru. Hampir semua tehnik dan tips sudah pernah dituturkan para motivator menulis. Jika tidak ada yang baru, lalu mengapa mereka mendapatkan apresiasi dari para pembaca, juga redaktur hingga tulisannya dimuat di pelbagai media, termasuk rubrik FHK?
Jawabannya satu: para penulis itu berhasil meramu ide sederhana yang relatif “sama”, tapi dengan bumbu yang gurih lalu mengemasnya dengan kemasan unik dan “berbeda”. Nah, di sinilah ternyata letak kebaruan sebuah tulisan. Penulis teringat salah satu trik menulis paling baheula: ATM. Amati, Tiru, dan Modifikasi.
Sampai di sini, fungsi referensi menemukan titik urgensitasnya, yakni sekedar panduan dan penunjang ide kita dalam menulis. Sedang jalan yang kita lalui, tentu berbeda dengan yang dijalani penulis buku panduan. Dan keberbedaan jalan hiduplah yang jika dituliskan bakal menjadi “ide baru”.
Karena pengalaman menulis bersifat sangat intim dan personal. Pengalaman inilah yang lagi-lagi menjadi ide dan “ruh baru” dalam tulisan yang dikreasi. Sekali lagi, saya tersadar. Tentu saja, jam terbang juga akan membawa seorang penulis untuk lebih mahir mengulik sisi baru dari hal-hal biasa di sekitar kita.
Hal-hal di sekitar kita, yang remeh-temeh, jika kita memiliki ketajaman dan kejelian untuk mengamati, tentu kita akan menemukan “hal baru”. Rupanya kita terlanjur menganggap fenomena di sekitar kita sebagai kelumrahan dan kewajaran yang memang begitu seharusnya, dan dari “sono”-nya memang begitu. Paradigma ini membutakan kita.
Akhirul kalam, yang saya tulis ini tiada yang baru. Yang baru adalah pengamatan saya atas arsip rubrik FHK. Juga, pengalaman saya selama menulis. Benar kata orang, jika ingin menjadi penulis, ada dua tips. Pertama, mulailah menulis sekarang juga. Kedua, mulailah menulis sekarang juga. Jika tidak ada ide, tulislah ketiadaan ide itu.

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Aswaja: Dari Mazhab Menuju Manhaj

Aswaja: Sebuah Penelusuran Historis Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang bermuculan dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya aswajalah yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte. Hingga dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keislaman. Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi wafat. Kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali KW, pengganti Utsman untuk bertanggung jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal. Muawiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr b...

Sosiologi vs Antropologi: Titik Temu dan Titik Pisah

Sosiologi dan antropologi sama-sama mengkaji manusia sebagai makhluk hidup yang berkembang dinamis.  Yang membedakan adalah bahwa sosiologi lebih fokus pada relasi dan interaksi antar manusia.  Sedangkan antropologi lebih fokus pada manusia sebagai makhluk yang bernalar dengan akal budinya dan mengembangkan kecerdasannya untuk menyelesaikan problem-problem faktual yang dihadapinya.  Oleh karena berfokus pada relasi dan interaksi yang dinamis, maka sosiologi akan fokus pada pola-pola interaksi dengan karakter khususnya.  Nah, pola-pola inilah yang kemudian dicari kecenderungannya.  Kecenderungan-kecenderungan dan pola-pola ini akan di- generate menjadi teori-teori sosiologi. Teori ini bermanfaat untuk menjelaskan fenomena yang senada di tempat-tempat lain. Oleh karena itu, sosiologi cenderung melihat fenomena interaksi sebagai sebuah keajegan .  Jika ditemukan defiasi atau pola yang berbeda, maka akan di- generate menjadi teori baru. Sementara itu, antropolo...

Ringkasan Hasil-hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang

بسم الله الرحمن الرحيم A. KOMISI BAHTSUL MASA`IL DINIYAH WAQI’IYYAH 1. Hukum mengingkari janji bagi pemimpin pemerintahan. Pertanyaan: 1) Bagaimana status hukum janji yang disampaikan oleh pemimpin pada saat pencalonan untuk menjadi pejabat publik, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif? 2) Bagaimana hukum mengingkari janji-janji tersebut? 3) Bagaimana hukum tidak menaati pemimpin yang tidak menepati janji? Jawaban: 1) Status janji yang disampaikan oleh calon pemimpin pemerintahan/pejabat publik, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dalam istilah Fiqh, ada yang masuk dalam kategori al-wa’du (memberikan harapan baik) dan ada yang masuk dalam kategori al-‘ahdu (memberi komitmen). Adapun hukumnya diperinci sebagai berikut: Apabila janji itu berkaitan dengan tugas jabatannya sebagai pemimpin rakyat, baik yang berkaitan dengan program maupun pengalokasian dana pemerintah, sedang ia menduga kuat bakal mampu merealisasikannya maka hukumnya mubah (boleh). Sebaliknya,...

Frans Magnis-Suseno

“Ideologi Harus Sesuai Hukum dan Nilai Setempat” Ketika agama berubah menjadi —meminjam ungkapan Gus Dur—aspirasi, maka yang tampil ke muka adalah wajah garang agama. Wajah itu dipenuhi jerawat dan bisul kepentingan-kepentingan yang pastinya bukan-agama—profan. Ini jelas menjadi problem. Bagaimana menyikapinya? Berikut wawancara eksklusif elsapage.com dengan Frans Magnis-Suseno, Rektor STF Driyarkara di Teater Utan Kayu Jakarta Timur, 17/03/08, 21.54 WIB seusai diskusi “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan” dalam rangka ulang tahun Jaringan Islam Liberal (JIL) Ke-7. Belakangan ini, mulai marak apa yang disebut Ideologi Islam Transnasional. Sebagai seorang Nasionalis dan Pancasilais, apa pendapat Romo? Bagi saya, Islam terutama sebagai sebuah agama, sudah tentu memiliki sifat transnasional. Kalau sebagai ideologi, tentu ada unsur-unsur yang non-agama. Sebab itu, tentu ia harus menyesuaikan diri dengan ideologi-ideoogi, dan terutama dengan sistem hukum dan sistem nilai yang berlaku di tem...

Mengulik Rahasia Ramadhan: Tiga Derajat Kualitas Puasa

Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin membongkar beberapa rahasia puasa di Bulan Ramadhan. Salah satunya adalah tentang derajat kualitas puasa. Al-Ghazali menjelaskan bahwa kualitas puasa kita bisa diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan. Pertama, puasa umum. Yakni, menjaga perut dan kemaluan dari pemenuhan atas syahwatnya. Menjaga perut artinya tidak makan dan minum. Menjaga kemaluan tentu saja dari aktivitas seksual. Hal ini dilakukan dari terbitnya fajar sampai terbenam matahari. Puasa jenis pertama ini adalah kualitas umum atau standar minimum. Ketika seorang muslim mampu menunaikan puasa dengan baik dan menjaga dari segala hal yang membatalkan puasa, maka ia sudah memenuhi puasa grade standar ini. Kedua, puasa khusus. Kualitas puasa jenis ini lebih istimewa. Puasa jenis ini dilakukan dengan menjaga pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan segala anggota badan dari dosa dan maksiat. Kita tahu bahwa seluruh anggota tubuh tersebut seringkali melakukan ...

Mbah Syam dan Santrinya

Suatu hari di tahun 1970-an, seorang santri sedang bersih-bersih halaman pondok. Tiba-tiba Mbah Syam membuka jendela dan memanggilnya.  "Kang Yasir..." "Njih dalem..." Ia segera menuju jendela itu. Mbah Syam mengulurkan tangannya. "Iki ono titipan soko ibumu." Kang Yasir kaget. Kapan Ibu datang ke pondok? Mengapa ia tidak tahu? "Nganu... Aku wingi bar ko omahmu.", kata Mbah Syam. Kang Yasir tambah kaget. "Wingi aku bar ngeterke Baedlowi ke Surabaya. Mulihe mampir Ngawi, neng omahmu.", tambah Mbah Syam. "Oh... Pripun kabare Ibu?" "Alhamdulillah sehat kabeh. Kangmu yo sehat." "Alhamdulillah... Matur nuwun." "Yo... Podo-podo." *** Sehari sebelumnya di Ngawi. Mbah Syam menelusuri desa, mencari rumah Kang Yasir. Ia mengucapkan salam, tak ada jawaban. Ia menunggu sejenak.  Kemudian seorang Ibu agak sepuh keluar rumah dan menyapanya. "Sinten nggih?..." "Aku koncone Yasir. Omahku cedak nggo...