oleh KH Ali Maksum
Kendati terdapat silang pendapat di kalangan Ahlussunnah wal
Jamaah, ada hal yang tidak boleh diingkari. Yakni bahwa bagi kita, kalangan Syafiiyah,
dan bahkan di seluruh mazhab Alhus Sunnah wal Jamaah, salat tarawih berjumlah
dua puluh rakaat. Salat tarawih dihukumi sunnah ‘ain muakkad bagi
laki-laki ataupun perempuan. Ini menurut kalangan Hanafi, Syafi’i, Hanbali, dan
Maliki.
Bagi kalangan Syafi'iyah dan Hanabilah, melaksanakan tarawih
secara berjamaah dihukumi sunnah ‘ain. Sedang menurut kalangan Malikiah,
pelaksanaan secara berjamaah hukumnya sunnah. Bagi kalangan Hanafiyah, jamaah
di sini dihukumi sunnah kifayah bagi sebuah komunitas. Artinya, jika sebagian
dari mereka menjalankannya secara berjamaah, maka tuntutan sunnah sudah gugur
bagi sebagian yang lain.
Para imam mazhab menetapkan hukum sunnah ini berdasarkan
pada tindakan Nabi saw. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw.
keluar di tengah-tengah malam pada bulan Ramadhan. Hal ini dilakukan sebanyak
tiga kali secara terpisah, malam keduapuluhtiga, keduapuluhlima, dan
keduapuluhtujuh. Nabi saw. menunaikan salat ini di masjid dan diikuti oleh para
sahabat. Nabi saw. salat bersama mereka sebanyak delapan rakaat dengan empat
kali salam. Mereka kemudian menyempurnakan bilangan rakaat di rumah masing-masing
menjadi 20 rakaat. Bacaan salat mereka terdengar seperti dengungan lebah.
Dari hadits ini, jelas bahwa Nabi saw. bersama para sahabat
menunaikan salat tarawih secara berjamaah, kendati tidak dilakukan sebanyak dua
puluh rakaat sebagaimana yang biasa dilakukan pada masa sahabat hingga saat ini.
Nabi saw. tidak melanjutkan salat tersebut lantaran khawatir jika salat
tersebut diwajibkan kepada umatnya, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa riwayat.
Dari keterangan di atas menjadi jelas bahwa bilangan rakaat
salat tarawih tidak hanya delapan saja sebagaimana ditunaikan Nabi saw bersama
sahabat, karena mereka kemudian menyempurnakannya di rumah masing-masing. Kebijakan
Umar bin Khattab ra. beberapa tahun kemudian menjelaskan bilangan rakaat ini.
Waktu itu Umar mengumpulkan jamaah di masjid untuk salat tarawih sebanyak 20
rakaat, dan para sahabat setuju dengan kebijakan ini, bahkan tidak ditemukan perbedaan
hingga masa Khulafaur Rasyidin berakhir. Mereka melanjutkan tradisi 20 rakaat berjamaah
ini. Sedang Nabi saw. bersabda, “Ikutilah sunnahku, sunnah Khulafaur Rasyidin
setelahku. Gigitlah dengan gigi geraham.” (HR Abu Daud).
Abu Hanifah pernah ditanya mengenai kebijakan Umar bin
Khattab ra ini. Abu Hanifah menyatakan, “Hukum tarawih adalah sunnah muakkad.
Kebijakan Umar ini tidak muncul atas inisiatif pribadinya, ia tidak melakukan
bid’ah. Umar tidak memerintahkan sesuatu kecuali atas dasar yang kuat dari pertimbangan
nuraninya dan dari Rasulullah saw.”
Bahkan pada masa Umar bin Abdul Aziz saat ia sedang berada
di Madinah, jumlah rakaat tarawih ditambahi. Tarawih menjadi 36 rakaat. Penambahan
ini bertujuan untuk menyamai keutamaan penduduk Makkah yang bertawaf sekali setiap
selesai empat rakaat atau dua salam. Maka Umar bin Abdul Aziz, yang menjadi
imam salat, berpendapat bahwa setiap tawaf diganti dengan empat rakaat dengan
dua salam.
Oleh karena itu, salat tarawih bagi mayoritas umat adalah
dua puluh rakaat di luar witir. Kalangan Maliki berpendapat, bilangan salat
tarawih adalah dua puluh rakaat di luar dua dan ganjil. Begitu pendapat fikih
mazhab empat.
Kendati demikian, ada yang berpendapat bahwa salat tarawih berjumlah
delapan rakaat dengan bersandar pada hadits Aisyah ra. yang berkata, “Rasulullah
tidak pernah melebihkan, baik di bulan Ramadhan ataupun di luar itu, dari
sebelas rakaat. Ia salat empat rakaat—dengan dua salam seperti dijelaskan nanti—jangan
tanya betapa bagus dan panjang salat Nabi. Lalu ia salat lagi empat rakaat—juga
dua salam. Jangan tanya betapa bagus dan panjang salat Nabi. Kemudian dia salat
tiga rakaat.” Aisyah bertanya, “Duhai Rasul. Adakah engkau tidur sebelum salat
witir?” Nabi menjawab, “Wahai Aisyah. Kedua mataku benar-benar terlelap, namun
hatiku selalu terjaga.” HR Bukhari-Muslim.
Akan tetapi, penyandaran pada hadits ini hemat saya tidak
tepat, karena tema hadits ini sebagaimana sudah terang benderang, adalah salat
witir. Dan sudah kita ketahui bersama, bahwa bilangan rakaat salat witir paling
sedikit satu rakaat sedang yang terbanyak adalah sebelas rakaat. Nabi saw. pada
waktu itu menunaikan salat selepas bangun tidur empat rakaat dengan dua salam
secara berurutan, lalu empat rakaat lagi juga berurutan, lantas tiga rakaat
dengan dua salam, juga berurutan.
Yang dilakukan Nabi ini adalah salat witir. Argumentasinya begini.
Pertama, ucapan Aisyah ra, “Duhai Rasul. Adakah engkau tidur sebelum
salat witir?” Karena salat tarawih dilaksanakan setelah Isya dan sebelum tidur.
Kedua, salat tarawih tidak dilakukan di luar Ramadhan. Ketiga,
Imam Bukhari menempatkan hadits ini dalam pembahasan mengenai salat witir. Maka
penyandaran di atas gugur dengan sendirinya, dan tiga faktor ini menguatkan
pendapat mayoritas sebagaimana disebutkan di atas.
Imam al-Qasthalani berpendapat dalam Irsyad as-Sari
syarah Sahih Bukhari, “Yang sudah diketahui, yakni yang dipegang oleh
mayoritas adalah bahwa bilangan rakaat tarawih adalah dua puluh dengan sepuluh salam.
Di situ ada lima kali istirahat di setiap empat rakaat dengan dua salam,
kecuali witir yang berjumlah tiga rakaat.”
Seperti dikutip dalam Sunan al-Bayhaqi dengan sanad
sahih, Imam Ibnu Iraqi dalam Syarh Taqrib menyitir ungkapan Saib bin
Yazid ra., “Umat Islam pada masa Umar bin Khattab menjalankan tarawih pada
bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat.” Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwatha’,
bahwa Yazid bin Rumman berkata, “Dulu, pada era Umar bin Khattab umat Islam
menjalankan 23 rakaat”. Al-Baihaqi mengompromikan dua pendapat ini karena salat
witir sebanyak 3 rakaat. Ulama menilai apa yang terjadi pada era Umar adalah
sebuah konsensus (ijmak).
Perlu digarisbawahi bahwa salat tarawih dalam mazhab
Ahlus Sunnah wal Jamaah dilakukan dengan formasi dua-dua. Kalangan Syafiiyah
berpendapat, “Wajib salam di setiap dua rakaat, sekiranya tarawih dilakukan
dengan satu salam maka tidak sah.” Kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah
berargumen, “Disunahkan salam di setiap dua rakaat. Sekiranya tarawih dilakukan
dengan satu salam dan duduk (tasyahud) di setiap awal dua rakaat, maka sah
namun makruh.” Jikalau tidak duduk di setiap permulaan dua rakaat, maka para
ulama berbeda pendapat.
Bagi kalangan Syafiiyah, “Wajib salam di setiap dua rakaat.
Jika dilakukan dengan hanya satu salam, maka tidak sah, dengan atau tanpa duduk
(tasyahud) di setiap awal dua rakaat.” Kalangan Hanafiah berargumen, “Jika tarawih
dilakukan dengan empat rakaat satu salam ketimbang dua rakaat, kami sepakat
(sah). Jika lebih dari empat rakaat dengan satu salam, keabsahannya diperdebatkan.
Ada yang menganggap empat rakaat itu menggenapi, ada yang menganggap rusak.
Bagi kalangan Hanabilah, “(yang terakhir ini) Sah namun makruh dan tetap
dihitung 20 rakaat.” Sedangkan kalangan Malikiah berpendapat, “Yang demikian ini
sah namun meninggalkan kesunnahan tasyahud dan salam di setiap dua rakaat, dan
ini makruh.”
Nabi saw. sudah bersabda, “Salat malam itu dua-dua (rakaat).
Jika dirimu khawatir Subuh segera menjelang, salatlah satu rakaat saja yang
mengganjilkan bilangan rakaat salatmu.” HR Bukhari dari Abdullah bin Umar. [n]
*) Tulisan ini diterjemahkan M. Nasrudin dari KH. Ali Maksum, Hujjah
Ahlis-Sunnah wal Jama'ah, halaman 17-24. Tulisan ini pernah dimuat majalah
Bangkit PW LTN NU DI Yogyakarta edisi Juli 2013.
pic: Seusai kegiatan di masjid al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. www.almunawwir.com
Comments