Skip to main content

Niat dalam Puasa Ramadhan




Bayangkanlah sebuah payung. Benda ini memiliki satu buah tiang penyangga dan satu bidang atap yang bertumpu di atas tiang tersebut. Tiang tersebut menjadi penopang tegaknya payung. 

Demikian halnya puasa. Ia juga memiliki tiang penopang. Jika tiang itu patah, maka robohlah bangunan puasa. Dengan kata lain, puasanya tidak sah. Itu artinya, selepas Ramadhan usai, ia berkewajiban menggantinya di hari yang lain. Tiang ini dalam bahasa Arab disebut rukun.

Jika payung memiliki hanya satu tiang, maka puasa memiliki empat tiang atau rukun. Keempat rukun tersebut adalah (i) niat; (ii) menahan diri dari segala yang membatalkan; (iii) orang yang berpuasa; dan (iv) hari-hari yang diperbolehkan untuk berpuasa. 

Terhadap dua rukun yang pertama, para ulama sepakat bahwa keduanya merupakan rukun puasa. Sementara terhadap poin ketiga, ada ulama yang menyebutnya include dalam seluruh bangunan puasa sehingga tidak bisa disebut sebagai rukun. Adapun poin keempat, ada ulama yang menyebutnya sebagai syarat sah puasa.

Nah, mengingat keterbatasan ruang waktu yang tersedia, pada kesempatan hari ini kita akan membahas rukun puasa yang pertama dahulu, yakni niat. Adapun rukun yang lain insyaAllah akan dibahas pada pekan depan.


* * *

Apa makna niat, bagaimana urgensitas dan dalil niat, di mana posisi niat, juga apa kekhususan niat puasa Ramadhan dibandingkan ibadah yang lain? 

Dalam bahasa Arab, kata niyyat bisa disepadankan dengan kata al-qashdu yang bermakna sengaja. Ini artinya, kita melakukan sesuatu dengan penuh kesadaran, bukan karena kebetulan atau karena iseng. Serius.

Dalam konteks syariat, para ulama sering memberikan pengertian niat sebagai qashdu as-syai’ muqtarinan bifi’lihi. Bersengaja untuk melakukan sesuatu seiring dengan melakukan hal yang dilakukan tersebut. Bersengaja melakukan salat beriringan dengan takbiratul ihram, misalnya. 

Di sini tidak ada jeda antara niat dengan amal yang diniati. Jika terdapat jeda yang cukup panjang. Misalnya, saya hendak naik haji. Kapan? Lima tahun mendatang. Yang semacam ini tidak bisa disebut niat, melainkan azam

Lalu apa pentingnya niat dalam ibadah? 

Mari kita tengok ilustrasi berikut. Secara teknis-praktis, apa perbedaan antara salat Zuhur, Asar, dan Isya? Apa coba? Secara teknis ketiganya sama persis. Jumlah rekaatnya sama-sama ada empat, di rekaat kedua ada tasyahud awal. Bacaan-bacaannya pun sama persis. Yang membedakan apa? Niat. 

Contoh lain, apa perbedaan antara puasa Ramadhan dengan puasa Senin Kamis, puasa Asyura, puasa Dawud, puasa Syawal dan seluruh puasa lain? Secara teknis, ibadah puasa sama persis. Apa yang membedakan? Niat.

Di samping memberikan penegasan pada aspek keseriusan, niat memberi nilai bagi satu perbuatan, apakah ia termasuk ibadah atau maksiyat. Niat juga menjadi pembeda antara satu amal dengan amal lain

Satu contoh lagi. Tiba-tiba datang hujan lebat. Air meluber ke mana-mana. Beberapa sandal di pelataran masjid terancam hanyut. Anda kemudian mengambil beberapa di antaranya. Jika motif tindakan Anda tersebut Anda agar sandal tidak hanyut, maka Anda mendapatkan nilai ibadah karena menolong orang. Lain halnya jika Anda bermaksud mengamankan agar bisa memiliki sandal tersebut. Ini disebut pencurian. Hehe...

Dahulu kala Nabi saw pernah mengkritik para sahabat yang berhijrah. Ada di antara para sahabat yang berhijrah dengan motif murni karena Allah dan Rasul-Nya. Ada juga yang demi mengejar kekasihnya. Tak sedikit yang berhijrah demi penghidupan yang lebih baik. Rasul menegaskan bahwa masing-masing akan mendapatkan sesuai apa yang dituju. 

Nabi bersabda, innama al-a’mal bin niyyat, wa innama likulli imriin mâ nawâ, bahwa (keabsahan) setiap amal perbuatan didasarkan pada niat. Nilai seseorang berdasar niat yang ia tegaskan. Imam Syafi’i memahami hadits ini dengan menegaskan bahwa setiap amal perbuatan wajib disertai dengan niat, karena menjadi rukun primer yang tanpanya ibadah tidak dianggap sah.

Sebab itu pulalah, niat harus jelas (ta’yin) dan tegas. Niat puasa kita harus jelas, kita mau puasa apa? Sunnah atau wajib. Kalau wajib, wajib yang mana, apakah wajib Ramadhan, wajib nazar, atau wajib kafarat. Lalu kita tegaskan, nawaytu shawma ghadin ‘an adâ’i fardhi syahri ramadhân. Saya niat menunaikan puasa pada esok hari untuk menuntaskan fardhu bulan Ramadhan. 

Pertanyaannya kemudian, Ramadhan kapan? Qadha tahun kemarin atau adaa’ tahun ini? Kita tegaskan lagi, hadzihi sanati, tahun ini. Sunnah atau fardhu? Kita tegaskan lagi, fardhan. Apa tujuannya? Kita tegaskan lagi, lillâhi ta’âlâ.

Satu hal lain yang menjadi keunikan niat puasa Ramadhan dibanding puasa sunnah adalah bahwa niat harus ditegaskan pada malam hari (tabyît). Itulah mengapa dalam niat puasa ada teks: shauma ghadin, puasa untuk hari esok. 

Batas paling akhir niat adalah menjelang fajar shadiq. Jadi ketika imsak datang, bersegeralah membaca niat. Dan akan lebih bagus lagi jika setelah salat tarawih para jamaah membaca niat puasa bersama-sama agar tidak ada yang terlupa. 

Lalu kapan batasan paling awal niat puasa Ramadhan? Batasan paling awal niat adalah ketika Maghrib sudah datang dan kita sudah berbuka, maka saat itu kita sudah bisa berniat puasa untuk hari esok.

Hal ini berbeda dengan puasa sunnah. Suatu ketika, sekira pukul 09.00 pagi Nabi saw pernah bertanya kepada Ibunda Aisyah ra, “Apakah ada sesuatu yang bisa dimakan?” Aisyah menjawab, “Tidak ada.” Nabi segera menimpali, “Ya sudah, kalau begitu saya berpuasa.” 

Dari kisah ini kita bisa mengambil informasi bahwa niat puasa sunnah boleh ditegaskan pagi hari sebelum zawal atau waktu Zuhur menjelang. Syaratnya, semenjak fajar shadiq hingga ia menegaskan niat, orang tersebut belum melakukan sesuatu yang membatalkan puasa.

Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah bahwa meskipun puasa Ramadhan beruntun selama satu bulan penuh, masing-masing hari dalam puasa Ramadhan adalah puasa yang bersifat mandiri. Artinya, masing-masing puasa per hari memiliki syarat dan rukun yang tersendiri yang harus dilengkapi. Jadi kita tidak bisa niat puasa sekali untuk beberapa hari puasa. 

Itu pula mengapa jika ada orang yang berhalangan lalu tidak berpuasa selama satu atau lima hari, maka ia cukup mengganti satu atau lima hari sesuai jumlah hari yang ia tinggalkan. Ia tidak perlu mengganti seluruh hari selama sebulan. Karena masing-masing hari dalam berpuasa dihitung mandiri.

Sekarang bagaimana bunyi niat? 

Dalam kitab-kitab fikih, bunyi niat adalah Nawaytu shawma ghadin ‘an adâ’i fardhi syahri ramadhâni hadzihi as-sanati fardhan lillâhi ta’âlâ. Saya niat berpuasa pada esok hari untuk menunaikan fardhu bulan Ramadhan tahun ini fardhu karena Allah taala. 

Melisankan niat ini hukumnya sunnah dan tidak harus menggunakan bahasa Arab. Karena yang terpenting dalam niat adalah keseriusan dan pengkondisian dalam hati. Adapun talaffudz atau melisankan niat hanya berfungsi sebagai pemantik dan pengkondisian sikap hati. 

Jika kemantapan dan pengkodisian hati adalah hal yang dituju, maka kita bebas memilih bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan niat. Kita boleh melisankan niat dalam bahasa Arab yang mungkin bisa membuat hati kita lebih mantap. Boleh juga kita melisankan niat dalam bahasa Jawa, misalnya, agar kita lebih mengerti dan lebih mudah meresapi maknanya.

Kurang lebih seperti itu. Wallâhu a’lam.

========

Materi ini disampaikan pada program Kodama Berbagi di Radio Istakalisa 96.2 FM tanggal 14 Juni 2016 pukul 16.00-17.00 WIB.

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Ringkasan Hasil-hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang

بسم الله الرحمن الرحيم A. KOMISI BAHTSUL MASA`IL DINIYAH WAQI’IYYAH 1. Hukum mengingkari janji bagi pemimpin pemerintahan. Pertanyaan: 1) Bagaimana status hukum janji yang disampaikan oleh pemimpin pada saat pencalonan untuk menjadi pejabat publik, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif? 2) Bagaimana hukum mengingkari janji-janji tersebut? 3) Bagaimana hukum tidak menaati pemimpin yang tidak menepati janji? Jawaban: 1) Status janji yang disampaikan oleh calon pemimpin pemerintahan/pejabat publik, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dalam istilah Fiqh, ada yang masuk dalam kategori al-wa’du (memberikan harapan baik) dan ada yang masuk dalam kategori al-‘ahdu (memberi komitmen). Adapun hukumnya diperinci sebagai berikut: Apabila janji itu berkaitan dengan tugas jabatannya sebagai pemimpin rakyat, baik yang berkaitan dengan program maupun pengalokasian dana pemerintah, sedang ia menduga kuat bakal mampu merealisasikannya maka hukumnya mubah (boleh). Sebaliknya,...

Perbedaan antara Prodi Ekonomi Syariah dan Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HESy) Muamalah

Muhamad Nasrudin, MH Banyak mahasiswa yang kesulitan dalam merumuskan permasalahan bidang hukum ekonomi syariah, terutama saat hendak mengajukan proposal skripsi ke Jurusan.  Salah satu kesulitan yang dihadapi mahasiswa adalah pemilahan antara hukum ekonomi syariah dengan ekonomi syariah. Banyak draf proposal yang diajukan justru berada pada bidang keilmuan ekonomi syariah, alih-alih hukum ekonomi syariah. Memang kedua bidang keilmuan tersebut berimpitan. Bahkan, objek yang dikaji oleh kedua bidang keilmuan tadi adalah objek yang sama, yakni konsepsi dan praktik ekonomi syariah. Kita bisa menyebutkan, misalnya: jual beli, kerja sama, sewa-menyewa, hutang-piutang, saham, obligasi, perbankan, pasar modal, asuransi, dan sebagaimana. Nah, lalu apa beda di antara ekonomi syariah dan hukum ekonomi syariah? Kuy kita bahas. Pertama, rumpun keilmuan . Ekonomi syariah berasal dari rumpun keilmuan ekonomi. Oleh sebab itu, instrumen analisis dalam riset-riset ekonomi syariah adalah instrumen e...

SOLUSI HUKUM ISLAM (MAKHARIJ FIQHIYYAH) SEBAGAI PENDORONG ARUS BARU EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA

SOLUSI HUKUM ISLAM (MAKHARIJ FIQHIYYAH) SEBAGAI PENDORONG ARUS BARU EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA (Kontribusi Fatwa DSN-MUI dalam Peraturan Perundang-undangan RI) ORASI ILMIAH Disampaikan dalam Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Muamalat Syariah Prof. Dr. (H.C.) K.H. Ma’ruf Amin di UIN Maliki Malang Disadari atau tidak, ekonomi syariah merupakan sektor yang sangat potensial sebagai variabel menciptakan kesejahteraan di Indonesia dan mempunyai efek berantai yang sangat positif bagi bergeraknya sektor lainnya. Indonesia merupakan pasar potensial bagi tumbuh kembangnya ekonomi syariah. Saat ini kondisi perekonomian Indonesia dinilai bagus. Gross Domestic Product (GDP) Indonesia diproyeksikan masuk lima besar dunia dalam beberapa tahun ke depan. Sumber Daya Alam di Indonesia masihsangat potensial untuk terus dikembangkan. Penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 220 juta, sekitar 87 persennya memeluk agama Islam. Kelas menengah muslim mengalami p...

Menimbang otoritas fatwa MUI

Dalam literatur hukum Islam ( Fiqh, Syari’ah ), kita mengenal beberapa terma yang berkaitan dengan proses pengambilan hukum. Di antaranya adalah fatwa, qadha’ , dan ijtihad . Ketiga terma ini, meski samasama berorientasi pada pemenuhan kebutuhan publik akan hukum, memiliki cara kerja, otoritas, dan kekuatan hukum yang berbeda. Ijtihad dapat dikatakan sebagai kata umum yang mencakup dua pengertian sebelumnya. Ahmad al- Fayumi memberi gambaran ijtihad sebagai upaya seorang mujtahid untuk menemukan (hukum) hingga sampai ke akar-akarnya. (al-Fayumi: 112). Sementara, qadha’ merupakan tindakan hakim ( qadhi ) yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara di meja hijau. Hakim harus memberikan putusan seadil mungkin. Putusan ini bersifat mengikat dan memaksa semua pihak yang berperkara. Dalam qadha’, para pihak tidak memiliki alternatif lain, selain yang telah diputuskan oleh hakim, baik dalam bentuk sanksi, hukuman, maupun penetapan. Bila ada pihak yang berperkara dan kemudia...

Workshop Aksara Pegon Taman Litera

Tahukah Anda? Tulisan yang sedang Anda baca ini adalah bahasa Indonesia yang ditulis menggunakan Aksara Latin atau Abjad Rumi. Lalu tahukah Anda? Aksara Latin belum lama kita gunakan dalam keseharian. Setidaknya aksara latin baru populer sejak Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan Kebijakan Politik Etis pada awal abad ke-20. Sebelum itu, berabad-abad lamanya bangsa kita menggunakan bahasa dan aksara daerah untuk berkomunikasi secara tertulis di daerah-daerah. Dan ketika berkomunikasi antar daerah, bangsa kita menggunakan bahasa Melayu pasar dan aksara Pegon atau aksara Jawi. Aksara Pegon dan Aksara Jawi selama berabad-abad menjadi aksara resmi ratusan Kesultanan di Kepulauan Nusantara, Melayu, hingga Filipina. Bahkan pemerintah Kolonial Belanda juga menggunakan aksara ini dalam dokumen-dokumen resminya. Puluhan ribu kitab dari berbagai disiplin keilmuan dikarang dalam berbagai bahasa mulai dari Sunda, Jawa, Lampung, Madura, Banjar, hingga Melayu. Mayoritas kita...

Mengapa Pipis Bayi Perempuan Harus Disiram dan Laki Cukup Diperciki?

Fikih Islam mengenal tiga klasifikasi najis berdasar tingkatan berat-ringannya. Yang paling berat adalah najis mughaladzah. Najis ini adalah seluruh bagian tubuh anjing dan babi beserta segala turunannya. Saking beratnya, cara mensucikan najis ini adalah dengan membasuhnya sampai hilang wujud, baru ditambah tujuh basuhan yang salah satunya dicampur dengan debu. Level yang paling ringan adalah najis mukhafafah . Najis ini hanya ada satu, yakni air seni bayi laki-laki yang belum berusia dua tahun dan hanya mengonsumsi ASI, tak pernah mengonsumsi makanan lain sebagai asupan gizi. Najis ini cukup diperciki dan seketika langsung menjadi suci. Di level tengah ada najis mutawasithah . Ini mencakup semua najis yang tidak masuk dalam klasifikasi ringan atau berat. Cara mensucikannya adalah dengan membasuh najis dengan air mengalir sampai bersih. Bagaimana dengan hukum air seni bayi perempuan? Dari penjelasan ringan di atas, hukum pipis bayi perempuan masuk ke dalam klasifikasi...