Skip to main content

Musafir yang Boleh Meninggalkan Puasa



Dalam pembahasan sebelumnya, seorang yang bepergian mendapatkan dispensasi (rukhsoh) dalam wujud adanya alternatif untuk meninggalkan kewajiban puasa. Tetapi apakah semua orang yang keluar rumah sudah bisa mendapatkan dispensasi tersebut? Tentu saja tidak. Dalam fikih Islam, kemudahan lahir sebagai alternatif atas adanya kesulitan-kesulitan tertentu dalam beribadah.

Karena kesulitan mencari air, diperbolehkan untuk bersuci menggunakan debu atau yang biasa disebut sebagai tayamum. Dalam konteks puasa juga demikian. Hanya musafir dengan kriteria tertentu yang diperbolehkan meninggalkan puasa. Tentu saja meninggalkan di sini tidak benar-benar meninggalkan. Karena ia juga masih berkewajiban untuk menggantinya pada hari lain selepas Ramadhan lewat. Apa saja kriterianya?

Pertama, jarak perjalanan minimal 85 km. Kurang dari angka ini seseorang tidak mendapatkan dispensasi ibadah puasa. Jarak ini merupakan jarak yang sama di mana seorang musafir diperkenankan untuk menjamak (menggabungkan) atau mengqashar (diskon rekaat) salat. Jarak yang cukup jauh ini dihitung berdasar pada jarak yang ditempuh, bukan garis lurus antara tempat start dan finish.

Ketentuan ini sebagai salah satu benteng agar dispensasi tidak digunakan untuk bermain-main dalam agama. Maka tidak ada dispensasi bagi mereka yang bepergian hanya 10 km saja apalagi kalau hanya ke kampung sebelah. Karena kemudahanan diberikan sebagai alternatif bagi mereka yang kerepotan. Dan senyaman apa pun sebuah perjalanan, kerepotan akan selalu hadir menjelang. Mengapa? Karena musafir selalu berhadapan dengan wilayah asing dan ketidakpastian.

Kedua, ia harus berangkat dini hari sebelum fajar shadiq menjelang. Dan ketika fajar menjelang atau azan subuh kedua berkumandang, ia harus sudah berada di luar kampungnya. Jika ia masih berada di kampungnya, maka ia memulai hari tersebut sebagai seorang mukim, dan ia akan tetap disebut sebagai mukim sehingga tidak mendapatkan dispensasi puasa. Hal ini juga digunakan untuk mengantisipasi agar dispensasi tidak digunakan untuk menyeleweng dari hukum syariat.

Ketiga, bepergian tidak dalam rangka untuk maksiat (ma’siyat li as-safar), atau maksiat di dalam perjalanan (ma’shiyat fi as-safar). Beda keduanya begini. Yang pertama adalah bepergian dalam rangka maksiat. Sedangkan yang kedua adalah maksiat yang dilaksanakan di jalan.

Bepergian yang mendapat dispensasi puasa Ramadhan haruslah bepergian yang diperbolehkan (mubah), sunah, atau wajib. Bepergian mubah misalnya refreshing atau berlibur. Bepergian sunnah seperti silaturrahmi, umroh, atau mudik lebaran. Bepergian wajib seperti ibadah haji, melunasi hutang, atau menepati janji.

Keempat, memiliki tujuan yang jelas. Orang yang kabur dari rumah tidak mendapatkan dispensasi puasa Ramadhan karena ia melakukan maksiat. Ketentuan ini hadir, lagi-lagi untuk mengantisipasi agar dispensasi tidak digunakan untuk kepentingan yang tidak baik.

Kelima, berkeyakinan bahwa selepas Ramadhan ia bisa melunasi puasa yang ia tinggalkan. Jika ia berkeyakinan bahwa setelah Ramadhan ia akan meninggalkan dunia arau sakit parah sehingga tidak mungkin bisa mengganti puasa yang ditinggalkan, maka ia tidak mendapatkan dispensasi.

Keenam, tidak senantiasa bepergian. Dispensasi diberikan kepada orang yang tidak setiap hari melakukan perjalanan. Seorang sopir atau pengembara, misalnya, setiap hari berada di jalan. Bagi keduanya, jalanan bukanlah hal istimewa, karena memang itu adalah yang ia hadapi setiap hari. Kerepotan bepergian tidak lagi terasa bagi dia karena ia sudah terbiasa. Maka bagi dia tidak ada dispensasi untuk tidak berpuasa selama Ramadhan.

Akan tetapi jika memang ia kerepotan dalam perjalanan, maka ia tetap diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Tetapi bukan atas nama sebagai seorang musafir, melainkan atas dasar tidak kuat untuk berpuasa. Isunya adalah ithaqah. Maka, ia harus segera menjadwalkan puasa yang ia tinggalkan untuk dilunasi pada hari yang lain di luar Ramadhan.

Demikian semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam.

===========

Materi ini disampaikan pada program Kodama Berbagi di Radio Istakalisa 96.2 FM tanggal 19 Juni 2016 pukul 16.00-17.00 WIB. 

Comments

Quinoa Recipes said…
Grreat blog

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Ringkasan Hasil-hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang

بسم الله الرحمن الرحيم A. KOMISI BAHTSUL MASA`IL DINIYAH WAQI’IYYAH 1. Hukum mengingkari janji bagi pemimpin pemerintahan. Pertanyaan: 1) Bagaimana status hukum janji yang disampaikan oleh pemimpin pada saat pencalonan untuk menjadi pejabat publik, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif? 2) Bagaimana hukum mengingkari janji-janji tersebut? 3) Bagaimana hukum tidak menaati pemimpin yang tidak menepati janji? Jawaban: 1) Status janji yang disampaikan oleh calon pemimpin pemerintahan/pejabat publik, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dalam istilah Fiqh, ada yang masuk dalam kategori al-wa’du (memberikan harapan baik) dan ada yang masuk dalam kategori al-‘ahdu (memberi komitmen). Adapun hukumnya diperinci sebagai berikut: Apabila janji itu berkaitan dengan tugas jabatannya sebagai pemimpin rakyat, baik yang berkaitan dengan program maupun pengalokasian dana pemerintah, sedang ia menduga kuat bakal mampu merealisasikannya maka hukumnya mubah (boleh). Sebaliknya,...

Cara Menulis Artikel Opini yang Baik

Menulis artikel yang baik itu penting. Lalu bagaimana cara menuliskannya? Opini itu hampir sama seperti artikel di jurnal, tetapi gaya bahasanya bisa lebih santai dan tidak terlalu formal. Tema dan judul artikel tidak harus dan tidak selalu identik sama persis. Tema itu adalah topik besar, sedangkan judul artikel memuat gagasan utama artikel tersebut. Keduanya bisa sama, bisa saja judul memuat salah satu kasus dalam payung besar tema tersebut. Setelah menentukan tema, baru masuk ke artikelnya. Artikel opini yang baik dimulai dari pengantar, problem, kemudian pembahasan atau tawaran solusi atau gagasan, dan terakhir penutup atau kesimpulan. Semuanya ditulis secara runtut. Pengantar bisa dimulai dengan menulis data atau fakta yang mengejutkan pembaca sehingga pembaca tertarik. Problem ditulis berdasarkan data dan fakta di lapangan ataupun fakta literatur yang meyakinkan bahwa problem ini penting didiskusikan dan dicarikan solusinya. Pembahasan dilakukan dengan menggunakan teori atau pend...

Doa Memulai Pengajian Al-Quran, Ilahana Yassir Lana

Berikut ini adalah doa yang biasa dibaca sebelum memulai mengaji al-Quran.  Ilaahana yassir lanaa umuuronaaa 2 x Min diininaaa wa dun-yaanaaa 2 x Yaa fattaahu yaa aliim 2 x Iftah quluubanaa 'alaa tilaawatil qur'aan 2 x Waftah quluubanaa alaa ta'allumil 'uluum 2x

Media Bersuci dalam Fikih (2-habis)

Pada tulisan sebelumnya kita sudah membincang tiga mediabersuci yakni air, debu, dan batu dengan berbagai kriteria dan prosedurpemanfaatannya . Ketiga yang pertama tadi merupakan media yang lazim digunakan oleh hampir seluruh umat Islam. Sementara itu, dua media bersuci yang akan dibahas dalam artikel ini relatif jarang digunakan. Kedua terakhir ini bukanlah sebuah benda, melainkan proses. Ada dua proses yang bisa membuat satu benda najis menjadi suci yakni penyamakan dan perubahan khamr menjadi cuka. Penyamakan Secara prinsip syariat, seluruh bangkai diberi status najis. Bangkai adalah seluruh binatang yang halal dimakan tapi mati tanpa melalui prosedur penyembelihan secara syar’iy. Ketentuan ini mencakup pula binatang yang haram dimakan meskipun disembelih secara syari. Ketentuan ini mengecualikan dua jenis binatang: (i) binatang yang hanya bisa hidup di air dan (ii) binatang darat yang dalam tubuhnya tidak terdapat darah merah yang kasat mata dan mengalir. Maka bangk...

Cikal Bakal Turots Community di IAIN Metro

Sejak tahun 2019 saya diminta kampus untuk mencari mahasiswa untuk dikirim dalam delegasi Musabaqah Qiroatul Kutub (MQK). Dan sejak saat itu saya selalu kesulitan untuk mendapatkannya. Jangankan membaca kitab kuning, membaca al-Quran saja masih banyak mahasiswa yang kesulitan. Haha... Di tahun 2020 saya mencari santri di PP Riyadlotul Ulum untuk saya ikutkan. Alhamdulillah bisa berpartisipasi meskipun tidak mendapatkan juara. Di awal tahun 2021 saya kembali diminta untuk mencari peserta lomba baca kitab kuning untuk event Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) PTKIN se-Sumatera di UIN Imam Bonjol, Padang pada bulan Juni. Dari belasan mahasiswa, terpilihlah Rouf, santri PP Mambaul Huda. Beberapa kali ia main ke rumah untuk belajar membaca kitab Bidayat al-Mujtahid.  Alhamdulillah Rouf masuk babak penyisihan namun tersingkir di babak semi final. Di bulan Oktober tahun yang sama, IAIN Metro mau mengirimkan peserta OASE di Banda Aceh. Lagi-lagi saya diminta mencari anak untuk diikutkan....

Belajar Tajwid Hukum Bacaan Ra Tafkhim dan Tarqiq

via IFTTT