Skip to main content

Media Bersuci dalam Fikih (1)


Bersuci dalam fikih membutuhkan media yang digunakan sebagai alat untuk bersih-bersih. Media di sini adalah alat yang oleh syariat diberi status sebagai alat bersuci. Lagi-lagi kata kuncinya adalah status yang diberikan oleh syariat. Sehingga tidak mesti benda yang digunakan untuk bersuci adalah benda yang benar-benar bersih jika dilihat menggunakan kaca mata non-syariat.

Ada lima media yang bisa digunakan untuk bersuci. Lima media tersebut adalah air, debu, batu, proses penyamakan, dan proses arak menjadi cuka. Masing-masing memiliki syarat tertentu yang harus dipenuhi. Kelimanya juga memiliki peruntukan yang khusus dalam bersuci. Air digunakan untuk berwudhu, mandi, dan istinja. Debu untuk tayamum sebagai ganti mandi atau wudhu. Batu untuk beristinja saja. Proses penyamakan untuk menyamak kulit bangkai. Proses menjadi cuka untuk arak.


Air untuk Bersuci
Air Mutlak.

Air adalah media primer yang bisa digunakan untuk nyaris semua proses bersuci, baik bersuci dari hadats (wudhu dan mandi) ataupun bersuci dari najis (istinja, mencuci, dan yang lain). Air memang tercipta dengan memiliki sifat yang mampu melarutkan, meluruhkan, dan membuang kotoran. Ia juga bersifat menyegarkan sehingga bisa digunakan untuk mengembalikan kebugaran tubuh sehingga bisa digunakan untuk mandi.

Meskipun begitu, tidak semua air bisa digunakan untuk bersuci. Dalam koridor syariat, hanya air mutlak yang bisa dan boleh digunakan. Lalu air mutlak itu semacam apa? Dalam pengertian fikih, air mutlak adalah air yang masih memiliki seluruh sifat asal sesuai penciptaannya dari mana pun ia berasal. Air tersebut belum bercampur dengan benda lain sehingga berubah sifat dan penyebutannya.

Contohnya adalah air yang bersumber dari sumur, sungai, danau, laut, embun, gletser, dan air payau. Meskipun air-air ini berbeda warna, aroma, dan rasa dengan air pada umumnya, sepanjang sifat-sifat tersebut adalah sifat bawaan yang terdapat pada air di sumbernya, maka air tersebut masih dianggap air mutlak.

Berbeda ketika perubahan sifat ini disebabkan oleh adanya benda asing yang mencampuri. Jika yang mencampuri ini adalah benda suci sehingga menyebabkan penyebutan air berubah, maka ia sudah tidak lagi disebut air mutlak. Misalnya air yang tercampur teh atau kopi sehingga disebut air teh atau air kopi. Air ini masih suci dan bisa dikonsumsi tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci dan tidak bisa mensucikan.

Jika air tercampur benda najis sehingga sifatnya berubah mengikuti sifat najis tersebut, maka air ini disebut air mutanajis. Ini berlaku jika airnya lebih dari dua kulah (volume 216.000 cc). Jika air tersebut kurang dari dua kulah 216.000 cc, maka ketika ada najis yang masuk, ia langsung diberi status mutanajis meskipun sifatnya tidak ada yang berubah. Air mutanajis semacam ini tidak bisa dimanfaatkan untuk bersuci.


Debu untuk Bersuci

Debu bahkan ada di Mars. flickr.com

Debu bisa digunakan untuk bersuci, meskipun secara kasat mata ia adalah benda kotor. Status debu sebagai media bersuci ini adalah sebuah kekhususan yang hanya diberikan kepada syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Umat-umat terdahulu hanya bisa menggunakan air untuk bersuci. Karena karakternya yang unik, debu di sini hanya bisa digunakan untuk media bertayamum sebagai ganti mandi atau wudhu dalam kondisi darurat.

Debu bisa digunakan ketika air tidak tersedia atau hanya cukup untuk keperluan minum. Ia juga bisa digunakan dalam kondisi di mana seseorang oleh dokter yang adil divonis tidak boleh bersentuhan dengan air untuk area tubuh tertentu akibat luka atau penyakit tertentu. Jika area yang tak boleh tersentuh air adalah area yang wajib dibasuh saat berwudhu, maka wudhunya bisa diganti dengan tayamum untuk area tersebut.

Meski begitu, tidak semua debu bisa dipergunakan untuk bersuci. Hanya debu halus yang suci dari najis dan kering yang boleh digunakan. Debu kasar tidak boleh digunakan karena berpotensi merusak kulit. Debu yang mengandung senyawa yang berbahaya tidak boleh digunakan. Debu yang basah tidak boleh digunakan karena akan mengotori. Satu lagi, debu yang basah mengindikasikan bahwa ada air di situ.

Mengapa harus debu sebagai alternatif air untuk bersuci? Pertama, karena syariat menetapkan debu sebagai media bersuci. Kedua, debu terdapat di nyaris semua tempat di permukaan bumi ini. Melimpahnya debu ini memudahkan bagi siapa saja untuk mendapatkannya di saat mereka kesulitan air.


Batu untuk Bersuci

Batu untuk istinja

Penggunaan batu sebagai media bersuci juga merupakan salah satu kekhususan yang diberikan kepada syariat Nabi Muhammad. Umat terdahulu tidak bisa menggunakan batu untuk bersuci. Kendati demikian, batu dalam syarat Islam hanya bisa digunakan untuk bersuci dalam rangka istinja. Ia bisa berdiri secara mandiri atau dibarengkan dengan air.

Istinja adalah membersihkan bekas kotoran yang masih tersisa di sekitar lubang anus, farji, atau zakar. Ketentuannya adalah kotoran tersebut tidak sampai keluar dari area kelamin. Jika ada kotoran dalam bentuk air seni, tinja, atau yang lainnya yang keluar dari area kelamin, maka batu tidak bisa digunakan untuk bersuci. Dalam kasus semacam ini, air menjadi pilihan yang bersifat mutlak.

Tidak semua batu bisa dipergunakan untuk bersuci, tepatnya beristinja. Meski begitu ia tidak harus berwujud batu betulan. Dalam pengertian yang luas, batu di sini adalah segala benda yang memenuhi empat syarat: (i) benda padat, (ii) suci dan tidak najis, (iii) mampu mengangkat kotoran, dan (iv) tidak termasuk benda yang dihormati.

Yang dimaksud benda padat adalah benda tersebut tidak berbentuk cairan atau gel. Maka pengertian ini memasukkan tissu, kertas, logam, kain, plastik, kayu, daun, dan sebangsanya. Suci dalam pengertian tidak terdapat najis pada benda tersebut dan benda tersebut tidak termasuk najis dalam pandangan syariat. Maka kotoran sapi yang mengeras tidak bisa digunakan untuk beristinja. Tisu yang terkena air seni tidak bisa digunakan untuk istinja.

Mampu mengangkat kotoran adalah syarat ketiga. Artinya benda tersebut harus mampu membersihkan kotoran yang tersisa. Jika benda tersebut menyisakan kotoran atau malah meninggalkan kotoran maka benda tersebut tidak bisa digunakan. Misalnya tisu yang sudah rapuh sehingga hancur ketika digunakan.

Sedangkan syarat yang terakhir adalah benda tersebut tidak termasuk benda yang dihormati. Pertanyaannya kemudian adalah, benda yang dihormati itu apa saja? Para ulama menyebut: mushaf al-Quran, kitab hadits, kitab samawi, kitab fikih, kitab tauhid, tafsir, seluruh benda yang memuat ilmu pengetahuan, apalagi ilmu agama. Maka selain benda-benda ini masuk dalam klasifikasi tidak dihormati dan bisa digunakan untuk beristinja.[]



Pemantik diskusi di kelas Fikih Ibadah STIQ An-Nur Yogyakarta.

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Ringkasan Hasil-hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang

بسم الله الرحمن الرحيم A. KOMISI BAHTSUL MASA`IL DINIYAH WAQI’IYYAH 1. Hukum mengingkari janji bagi pemimpin pemerintahan. Pertanyaan: 1) Bagaimana status hukum janji yang disampaikan oleh pemimpin pada saat pencalonan untuk menjadi pejabat publik, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif? 2) Bagaimana hukum mengingkari janji-janji tersebut? 3) Bagaimana hukum tidak menaati pemimpin yang tidak menepati janji? Jawaban: 1) Status janji yang disampaikan oleh calon pemimpin pemerintahan/pejabat publik, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dalam istilah Fiqh, ada yang masuk dalam kategori al-wa’du (memberikan harapan baik) dan ada yang masuk dalam kategori al-‘ahdu (memberi komitmen). Adapun hukumnya diperinci sebagai berikut: Apabila janji itu berkaitan dengan tugas jabatannya sebagai pemimpin rakyat, baik yang berkaitan dengan program maupun pengalokasian dana pemerintah, sedang ia menduga kuat bakal mampu merealisasikannya maka hukumnya mubah (boleh). Sebaliknya,...

Perbedaan antara Prodi Ekonomi Syariah dan Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HESy) Muamalah

Muhamad Nasrudin, MH Banyak mahasiswa yang kesulitan dalam merumuskan permasalahan bidang hukum ekonomi syariah, terutama saat hendak mengajukan proposal skripsi ke Jurusan.  Salah satu kesulitan yang dihadapi mahasiswa adalah pemilahan antara hukum ekonomi syariah dengan ekonomi syariah. Banyak draf proposal yang diajukan justru berada pada bidang keilmuan ekonomi syariah, alih-alih hukum ekonomi syariah. Memang kedua bidang keilmuan tersebut berimpitan. Bahkan, objek yang dikaji oleh kedua bidang keilmuan tadi adalah objek yang sama, yakni konsepsi dan praktik ekonomi syariah. Kita bisa menyebutkan, misalnya: jual beli, kerja sama, sewa-menyewa, hutang-piutang, saham, obligasi, perbankan, pasar modal, asuransi, dan sebagaimana. Nah, lalu apa beda di antara ekonomi syariah dan hukum ekonomi syariah? Kuy kita bahas. Pertama, rumpun keilmuan . Ekonomi syariah berasal dari rumpun keilmuan ekonomi. Oleh sebab itu, instrumen analisis dalam riset-riset ekonomi syariah adalah instrumen e...

Mengapa Pipis Bayi Perempuan Harus Disiram dan Laki Cukup Diperciki?

Fikih Islam mengenal tiga klasifikasi najis berdasar tingkatan berat-ringannya. Yang paling berat adalah najis mughaladzah. Najis ini adalah seluruh bagian tubuh anjing dan babi beserta segala turunannya. Saking beratnya, cara mensucikan najis ini adalah dengan membasuhnya sampai hilang wujud, baru ditambah tujuh basuhan yang salah satunya dicampur dengan debu. Level yang paling ringan adalah najis mukhafafah . Najis ini hanya ada satu, yakni air seni bayi laki-laki yang belum berusia dua tahun dan hanya mengonsumsi ASI, tak pernah mengonsumsi makanan lain sebagai asupan gizi. Najis ini cukup diperciki dan seketika langsung menjadi suci. Di level tengah ada najis mutawasithah . Ini mencakup semua najis yang tidak masuk dalam klasifikasi ringan atau berat. Cara mensucikannya adalah dengan membasuh najis dengan air mengalir sampai bersih. Bagaimana dengan hukum air seni bayi perempuan? Dari penjelasan ringan di atas, hukum pipis bayi perempuan masuk ke dalam klasifikasi...

SOLUSI HUKUM ISLAM (MAKHARIJ FIQHIYYAH) SEBAGAI PENDORONG ARUS BARU EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA

SOLUSI HUKUM ISLAM (MAKHARIJ FIQHIYYAH) SEBAGAI PENDORONG ARUS BARU EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA (Kontribusi Fatwa DSN-MUI dalam Peraturan Perundang-undangan RI) ORASI ILMIAH Disampaikan dalam Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Muamalat Syariah Prof. Dr. (H.C.) K.H. Ma’ruf Amin di UIN Maliki Malang Disadari atau tidak, ekonomi syariah merupakan sektor yang sangat potensial sebagai variabel menciptakan kesejahteraan di Indonesia dan mempunyai efek berantai yang sangat positif bagi bergeraknya sektor lainnya. Indonesia merupakan pasar potensial bagi tumbuh kembangnya ekonomi syariah. Saat ini kondisi perekonomian Indonesia dinilai bagus. Gross Domestic Product (GDP) Indonesia diproyeksikan masuk lima besar dunia dalam beberapa tahun ke depan. Sumber Daya Alam di Indonesia masihsangat potensial untuk terus dikembangkan. Penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 220 juta, sekitar 87 persennya memeluk agama Islam. Kelas menengah muslim mengalami p...

Menimbang otoritas fatwa MUI

Dalam literatur hukum Islam ( Fiqh, Syari’ah ), kita mengenal beberapa terma yang berkaitan dengan proses pengambilan hukum. Di antaranya adalah fatwa, qadha’ , dan ijtihad . Ketiga terma ini, meski samasama berorientasi pada pemenuhan kebutuhan publik akan hukum, memiliki cara kerja, otoritas, dan kekuatan hukum yang berbeda. Ijtihad dapat dikatakan sebagai kata umum yang mencakup dua pengertian sebelumnya. Ahmad al- Fayumi memberi gambaran ijtihad sebagai upaya seorang mujtahid untuk menemukan (hukum) hingga sampai ke akar-akarnya. (al-Fayumi: 112). Sementara, qadha’ merupakan tindakan hakim ( qadhi ) yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara di meja hijau. Hakim harus memberikan putusan seadil mungkin. Putusan ini bersifat mengikat dan memaksa semua pihak yang berperkara. Dalam qadha’, para pihak tidak memiliki alternatif lain, selain yang telah diputuskan oleh hakim, baik dalam bentuk sanksi, hukuman, maupun penetapan. Bila ada pihak yang berperkara dan kemudia...

Workshop Aksara Pegon Taman Litera

Tahukah Anda? Tulisan yang sedang Anda baca ini adalah bahasa Indonesia yang ditulis menggunakan Aksara Latin atau Abjad Rumi. Lalu tahukah Anda? Aksara Latin belum lama kita gunakan dalam keseharian. Setidaknya aksara latin baru populer sejak Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan Kebijakan Politik Etis pada awal abad ke-20. Sebelum itu, berabad-abad lamanya bangsa kita menggunakan bahasa dan aksara daerah untuk berkomunikasi secara tertulis di daerah-daerah. Dan ketika berkomunikasi antar daerah, bangsa kita menggunakan bahasa Melayu pasar dan aksara Pegon atau aksara Jawi. Aksara Pegon dan Aksara Jawi selama berabad-abad menjadi aksara resmi ratusan Kesultanan di Kepulauan Nusantara, Melayu, hingga Filipina. Bahkan pemerintah Kolonial Belanda juga menggunakan aksara ini dalam dokumen-dokumen resminya. Puluhan ribu kitab dari berbagai disiplin keilmuan dikarang dalam berbagai bahasa mulai dari Sunda, Jawa, Lampung, Madura, Banjar, hingga Melayu. Mayoritas kita...