Skip to main content

Memantik Tradisi Menulis di Pesantren


Beberapa dekade belakangan, tradisi menulis di dunia pesantren mulai meredup. Ini bisa dilihat dari minimnya—untuk tak menyebut tidak ada—tulisan yang dilahirkan dari rahim pesantren, baik tema keagamaan, sosial, bahkan karya fiksi.

Kelesuan ini juga merambah pada tradisi dokumentasi, khususnya arsip. Kita tahu, ribuan pesantren didirikan beratus tahun lalu. Namun, tak banyak yang punya catatan akan pendiri dan proses pendiriannya. Hingga, santri era sekarang jarang yang kenal sang Kyai pendiri pesantren; kapan, bagaimana, serta mengapa pesantren tempat ia mengaji didirikan?

Lesunya tradisi menulis dan dokumentasi arsip ini menyeret beragam hal. Yang paling nyata adalah bingungnya pesantren dalam menentukan arah gerak: antara salaf atau kurikulum modern, misalnya. Boleh dikata, ini terjadi lantaran ketiadaan referensi. Hingga oleh kalangan luar, pesantren acap disebut gagap menghadapi perkembangan jaman yang tak terperkirakan.



Kasus nyata, banyak pesantren yang karena berbagai hal, termasuk desakan masyarakat, menerima ‘santri kurikulum’ yang nyambi sekolah formal: SD, SLTP, dan SLTA. Akhirnya, santri terpolarisasi ke dua kutub: “santri salaf” dan “santri kurikulum”.  Kadang, keduanya berseberangan lantaran beda paradigma, orientasi, dan yang sederhana misalnya, perbedaan waktu liburan. Konflikpun terbangun.

Sekiranya ada arsip yang menyebutkan apa, bagaimana, kapan, dan atas tujuan apa suatu pesantren didirikan, pengelola pesantren era sekarang insya Allah amat terbantu. Karenanya, gagap dan bingung menyambut jaman tak perlu terjadi. Dan masyarakat luas makin kenal dekat dengan pesantren. Bahkan, daerah lain, utamanya luar Jawa bisa lebih mudah menjalankan proses percontohan pesantren.

Salah persepsi
Dalam konteks keorganisasian, kiranya “kasus NU” bisa dikemukakan. Ketika LTN (Lajnah Ta’lif wan Nasyr) Jawa Timur berniat mengumpulkan dan menerbitkan semua hasil keputusan Muktamar NU, ada beberapa naskah yang hingga cetakan kedua kompilasi itu diterbitkan (Januari 2005), belum juga ditemukan. Dengan agak mangkel, LTN akhirnya menerbitkan buku itu apa adanya.

Jikalau naskah-naskah itu ditemukan, tentu kita tidak perlu berdebat panjang lebar tentang suatu masalah yang mungkin saja telah diambil putusannya dalam muktamar yang hilang arsipnya itu. Waktu dan tenaga bisa dimanfaatkan untuk hal lain yang lebih bermanfaat bagi masyarakat luas.

Di sisi lain, minim tulisan orang NU mengenai isu sosial keagamaan. Maka tidak heran jika NU oleh publik luas lebih dikenal sebagai ormas-politik, ketimbang ormas-keagamaan, meski telah ditegaskan bahwa NU kembali ke khittah pada muktamar Situbondo 1985.  Apalagi, setelah ORBA runtuh, kebanyakan tokoh NU —juga tokoh pesantren— lebih asyik mengungkit khittah NU lantaran hendak tampil ke pentas politik.

Maka tak perlu kaget melihat orang-orang—termasuk orang NU— yang bengong dan menolak anak muda NU yang progresif. Wajar, lantaran asyik dengan politik, kebanyakan orang NU mulai lupa bahwa nilai progresifitas itu dikandung oleh NU.

Progresifitas ini ditunjukkan oleh beberapa putusan NU, laiknya penerimaan asas tunggal Pancasila (artinya, tidak berasaskan Islam), pengakuan presiden Soekarno sebagai Waliyul A’zam ad-Dharuriyah bis-Syaukah (berarti bukan Khilafah), resolusi jihad melawan penjajah oleh KH Hasyim As’ari (artinya, tak hanya jihad melawan kaum kafir), dan seterusnya. NU amat progresif. Tapi tak banyak terekspos.

Akibat lain, kebanyakan kajian mengenai NU dan pesantren justru ditulis oleh orang luar, laiknya Greg Barton, profesor asal Australia. Sementara, kajian kitab kuning dan pesantren ditulis oleh Martin van Bruinnesen, profesor Perancis. Karena kebanyakan penulis dari luar, maka reduksi amat mungkin terjadi. Pun, pengkaji generasi kini sulit mendapatkan rujukan mengenai NU dan pesantren tulisan orang dalam sendiri yang memadai.

Kondisi ini jelas memperihatinkan. Terlebih, pesantren —pusat penggodogan calon pemimpin masyarakat dan juga basis NU—ternyata belum bisa memberikan andil banyak dalam pengembangan tradisi menulis dan domumentasi. Padahal, menulis merupakan salah satu cara transformasi pengetahuan dan ide yang amat penting. Bahkan, menjadi parameter beradab tidaknya suatu masyarakat.

Kyai Penulis
Jika kita tengok sejarah, banyak ulama pesantren yang punya tradisi menulis handal. Kita kenal Syeikh Nawawi Banten dengan lebih dari 60 karya berbahasa Arab; Kyai Sholeh Ndarat Semarang dengan puluhan karya berbahasa Jawa-Arab pegon; KH Ahmad Muthohar Mranggen dengan puluhan kitab terjemahannya; demikian halnya KH Bisyri Musthofa Rembang; serta Syeikh Ihsan Jampes dengan magnum opus Sirajuth Thalibin-nya yang jadi kitab wajib setiap mahasiswa al Azhar, Mesir; dan masih banyak lagi hingga tak cukup bila ditulis di sini.

Lebih jauh, banyak ulama yang hingga kini masih dikenal dan dikaji pemikirannya lewat warisan kitab-kitab mereka. Andai Hujjatul Islam al Ghazali, yang lahir pada 450 H, tidak pernah menuliskan pemikirannya, tentu kita tak akan pernah mengenal sosok ulama yang amat brilian dan berpengaruh itu. Bahkan, Imam Bukhari begitu dikenal, tidak saja oleh umat Islam, lantaran hadits-hadits yang ia kumpul-tuliskan.

Dan, hingga kini, ulama itu masih beroleh pahala dari sisi Allah sembari membagi ilmu kepada jutaan generasi beratus tahun setelahnya. Maka, benar apa yang ditulis Imam al Zarnuji —yang juga kita kenal lewat tulisannya— dalam Ta’lim al Muta’alim, bahwa orang alim itu meski sudah mati jasadnya, sejatinya ia masih hidup. Sedang orang bodoh, ia sudah mati saat tubuhnya masih bernyawa.

Dari sini, tak ada jalan lain, selain mulai menulis. Tradisi intelektual di pesantren—sorogan, bandongan, muthala’ah, maupun bahtsul masâil —harus dikembangkan seraya diimbangi dengan tradisi intelektual lain, menulis. Syeikh Muhammad Abu Bakar Syatha tatkala membacakan kitab kepada santrinya, beliau memberikan komentar dan menjawab pertanyaan santri. Dan ketika komentar itu dibukukan, jadilah kitab I’ânatuth Thâlibîn, yang amat terkenal dan sering kita rujuk hingga kini.

Upaya beberapa pesantren yang mulai menerbitkan berbagai publikasi, baik kumpulan hasil Bahtsul Masail laiknya pesantren Sirajuth Thalibin Brabo bersama banyak pesantren lain; buku, atau taqriran kitab seperti pesantren Lirboyo dan Ploso Kediri; majalah dan website seperti pesantren Sidogiri, Jawa Timur; Penerbit Khalista Surabaya dan LKiS Jogjakarta dengan buku-buku pesantrennya merupakan langkah nyata bagi masa depan lebih baik.

Pun, beberapa tokoh NU yang produktif menulis layak diapresiasi dan diikuti jejaknya. Di antaranya, KH A. Musthofa Bisri, KH. Kholil Bisri, KH Muhyiddin Abdus Somad, KH A. Sunarto dengan terjemahannya, atau Acep Zamzam Noer dengan puisi-puisinya. Serta banyak lagi yang tak mungkin ditulis di sini. Karenanya, kembali kepada kita, akankah hilang digilas sejarah, atau mengada dalam keabadian tulisan? Wallâhu a’lam[]

*) M. Nasrudin
Alumni Pesantren Sirajuth Thalibin, Brabo, Grobogan, Jateng. Bergiat di IPNU Kota Semarang.

dilansir di majalah Tradisi Ulama entah edisi berapa, kalau tidak salah tahun 2008.

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Ringkasan Hasil-hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang

بسم الله الرحمن الرحيم A. KOMISI BAHTSUL MASA`IL DINIYAH WAQI’IYYAH 1. Hukum mengingkari janji bagi pemimpin pemerintahan. Pertanyaan: 1) Bagaimana status hukum janji yang disampaikan oleh pemimpin pada saat pencalonan untuk menjadi pejabat publik, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif? 2) Bagaimana hukum mengingkari janji-janji tersebut? 3) Bagaimana hukum tidak menaati pemimpin yang tidak menepati janji? Jawaban: 1) Status janji yang disampaikan oleh calon pemimpin pemerintahan/pejabat publik, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dalam istilah Fiqh, ada yang masuk dalam kategori al-wa’du (memberikan harapan baik) dan ada yang masuk dalam kategori al-‘ahdu (memberi komitmen). Adapun hukumnya diperinci sebagai berikut: Apabila janji itu berkaitan dengan tugas jabatannya sebagai pemimpin rakyat, baik yang berkaitan dengan program maupun pengalokasian dana pemerintah, sedang ia menduga kuat bakal mampu merealisasikannya maka hukumnya mubah (boleh). Sebaliknya,...

Mengulik Rahasia Ramadhan: Tiga Derajat Kualitas Puasa

Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin membongkar beberapa rahasia puasa di Bulan Ramadhan. Salah satunya adalah tentang derajat kualitas puasa. Al-Ghazali menjelaskan bahwa kualitas puasa kita bisa diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan. Pertama, puasa umum. Yakni, menjaga perut dan kemaluan dari pemenuhan atas syahwatnya. Menjaga perut artinya tidak makan dan minum. Menjaga kemaluan tentu saja dari aktivitas seksual. Hal ini dilakukan dari terbitnya fajar sampai terbenam matahari. Puasa jenis pertama ini adalah kualitas umum atau standar minimum. Ketika seorang muslim mampu menunaikan puasa dengan baik dan menjaga dari segala hal yang membatalkan puasa, maka ia sudah memenuhi puasa grade standar ini. Kedua, puasa khusus. Kualitas puasa jenis ini lebih istimewa. Puasa jenis ini dilakukan dengan menjaga pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan segala anggota badan dari dosa dan maksiat. Kita tahu bahwa seluruh anggota tubuh tersebut seringkali melakukan ...

Mufassir dan Ahli Fikih

Satu hal yang penting dicatat. Mufassir dan ahli fikih (fukaha) berbeda peran dalam tradisi keislaman. Mufassir berupaya mengurai lapis-lapis makna Kalam Tuhan. Sementara itu, ahli fikih berupaya menerapkan lapis-lapis makna Kalam Tuhan dalam rumusan-rumusan praktis yang bisa langsung diaplikasikan oleh umat. Dengan kata lain, tafsir adalah ilmu pengetahuan yang cenderung bersifat kognitif. Sementara fikih adalah ilmu pengetahuan yang cenderung bersifat psikomotorik-analitik. Dalam menghadapi problem kehidupan, tafsir berperan membukakan peta kehendak Tuhan beserta tujuan akhirnya. Fikihlah yang kemudian mengetok palu, memutuskan rute mana yang harus ditempuh untuk menuju tujuan akhir dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan kontekstual. Objek kajian tafsir adalah teks klasik-historis, maka mufassir harus menguasai ilmu-ilmu kebahasaan dan sejarah keislaman klasik beserta ragam periwayatannya. Sedangkan objek kajian fikih adalah perilaku mukallaf (muslim dewasa) dalam spektrum syaria...

Media Bersuci dalam Fikih (1)

Bersuci dalam fikih membutuhkan media yang digunakan sebagai alat untuk bersih-bersih. Media di sini adalah alat yang oleh syariat diberi status sebagai alat bersuci. Lagi-lagi kata kuncinya adalah status yang diberikan oleh syariat. Sehingga tidak mesti benda yang digunakan untuk bersuci adalah benda yang benar-benar bersih jika dilihat menggunakan kaca mata non-syariat. Ada lima media yang bisa digunakan untuk bersuci. Lima media tersebut adalah air, debu, batu, proses penyamakan, dan proses arak menjadi cuka. Masing-masing memiliki syarat tertentu yang harus dipenuhi. Kelimanya juga memiliki peruntukan yang khusus dalam bersuci. Air digunakan untuk berwudhu, mandi, dan istinja. Debu untuk tayamum sebagai ganti mandi atau wudhu. Batu untuk beristinja saja. Proses penyamakan untuk menyamak kulit bangkai. Proses menjadi cuka untuk arak. Air untuk Bersuci Air Mutlak. Air adalah media primer yang bisa digunakan untuk nyaris semua proses bersuci, baik bersuci dari hadats...

Aswaja: Dari Mazhab Menuju Manhaj

Aswaja: Sebuah Penelusuran Historis Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang bermuculan dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya aswajalah yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte. Hingga dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keislaman. Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi wafat. Kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali KW, pengganti Utsman untuk bertanggung jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal. Muawiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr b...

IBA 05 Dialog di Kantor dengan Bahasa Arab

via IFTTT