Medan bahasa
Pada penggalan tulisan bagian pertama, kita
bisa membaca dengan jelas kutipan manuskrip Tabyin al-Islah, sebuah
kitab yang ditulis Kyai Rifa'i Kalisalak. Ada empat terma yang penulis sengaja
membubuhinya dengan garis bawah: alim fasik, penghulu, kefasikan, dan
pe[me]rintahan. Keempat titik ini memainkan peran teramat penting dalam medan
perang bahasa dan diskursus, waktu itu.
Ihwal ini,
kita tiada bisa menceraikan dari hegemoni dan dominasi negara asing (baca:
kolonial) atas Nusantara. Baik secara fisik dengan barisan tentara dan dentuman
meriam serta senapan; pengetahuan dengan penguasaan wacana; politik dengan
penaklukan raja-raja kecil; dan bahkan pengetahuan agama dengan hadirnya sistem
Kapengulon besera seperangkat penghulu yang mengitarinya.
Kesemua itu
menjadikan pola relasi kolonial dengan (pribumi) Nusantara menjadi benar-benar
timpang, tak berimbang. Kolonial meminjam tangan para penguasa lokal, mulai
dari Bupati dan ajudannya, hingga kepala desa untuk meredam gejolak rakyak
kecil. Lalu dengan tenang mengeruk hasil bumi Nusantara. Dan penguasa lokal
merasa perlu menggandeng para ulama, sebagai (ideological aparatus)
untuk turut bermain pada wilayah ide.
Merekalah
“ulama penguasa” atau “Alim Fasik”. Demikian Kyai Rifa'i menyebut penghulu yang
menghambakan dirinya pada penguasa. Tiada yang menyangsikan, penghulu adalah
seorang ‘alim, punya bekal pengetahuan agama yang cukup, bahkan di atas
rerata masyarakat Nusantara. Merekalah elit agama di lingkungan naturalnya.
Dalam dunia
politik, di mana penghulu berkecimpung (menghambakan diri), ia menjelma elite
agama. Sedang di dunia ulama, ia menjelma elit politik. Suatu keistimewaan
memang, yang justru menjadikan ia menjadi unik, tapi justru menjadi bahan
cercaan bagi komunitas agamawan, tak terkecuali Kyai Rifa'i yang melihat
kedekatan itu sebagai pelacuran agama demi segepok harta haram!
Bagi penghulu,
kuasa agama menjadi bekal untuk menuntaskan hasratnya. Namun bagi Kyai Rifa'i,
kuasa agama adalah bekal untuk melawan. Ia sadar, ia tak punya kuasa politik, tak
punya kuasa ekonomi, tak ada kuasa fisik, dan pastinya tiada senjata. Tapi ia
sadar betul, ia punya hati nurani dan kuasa pengetahuan. Posisinya sebagai elit
agama di kalangan masyarakat awam membuatnya punya pengaruh untuk memainkan
peran dalam melakukan perlawanan.
Di sini, ada
garis demarkasi afiliasi: Kyai Rifa'i berpihak pada rakyat, dan penghulu
berpihak kepada penguasa. Keberpihakan ini membawa konsekuensi berbeda. Di mata
rakyat jelata, Kyai Rifa'i adalah pahlawan yang mampu membakar semangat rakyat
untuk meneriakkan “Pergi!” kepada Kolonial. Sebaliknya, di mata penguasa kala
itu, ia adalah segepok duri yang membahayakan dan karenanya patut disingkirkan.
Comments