Skip to main content

Humanisasi perilaku sadis

Pembunuhan berencana dengan mutilasi kerap terjadi akhir-akhir ini. Di Jawa Tengah sendiri, ada kasus mutilasi di Hotel Handayani II Kopeng, Kab. Semarang dan mutilasi di Jati Barang. Mutilasi seolah menjadi tren di dunia kriminalitas. Dan bila diamati lebih lanjut, hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran media massa sebagai pewarta.


Dunia jurnalistik mengenal pemeo anjing menggigit orang bukan berita, orang menggigit anjing, baru berita". Lalu, bad news is good news . Opini ini ditambah dengan logika pasar yang dipertuhankan dan dipersonifikasikan menjadi rating dan oplah.


Logika pasar berkata, segala yang menarik perhatian publik selalu diekspos. Tak heran, kriminalitas sadistik belakangan kian sering menghiasi media: elektronik maupun cetak. Ini tak lepas dari faktor unik, menarik, dan penting yang melekat pada kasus mutilasi.


Sebagai salah satu produsen wacana ( discourse ), media massa berperan penting dalam pembentukan yang disebut Emile Durkheim sebagai kesadaran kolektif ( collective consciousnesss ). Proses pembiasaan media akan ekspos berita sadistik itu kemudian menjalar kepada keterbiasaan publik menerima berita sadistik.


Kemudian, meningkat menjadi keterbiasaan menerima entitas mutilasi, sebagai perilaku yang tidak mengerikan, biasa saja. Diamdiam, proses ini terus terjadi di sekitar kita, tanpa kita sadari. Yang paling menakutkan adalah kala proses humanisasi mutilasi ini berjalan seiring etika-norma publik yang kian tumpul. Akibatnya, proses imitasi perilaku sadistik bakal mentradisi dari waktu ke waktu sebagaimana kita lihat akhir-akhir ini.


Permainan bahasa
Mulanya adalah permainan bahasa.Media massa memiliki konsep tersendiri yang ada dalam benak dewan redaksi. Konsep ini ( signifie ) kemudian dikomunikasikan kepada khalayak dengan beragam tanda ( signifiant ), baik dalam citra akustik, grafik diam, dan grafik interaktif. Konsep ini dikirimkan oleh media massa (komunikator) untuk diterima oleh khalayak (komunikan).


Seharusnya, terjadi proses timbal balik. Tetapi, media massa menghegemoni proses komunikasi ini. Khalayak tak punya akses yang cukup guna meningkatkan statusnya menjadi mitra komunikasi yang setara dan seimbang. Media massa acap mendasarkan diri pada oplah dan rating sebagai penjelmaan khalayak (baca: pasar).


Maka benar kata Kristiawan, media telah melakukan proses mistifikasi atas publik ke dalam institusi rating dan oplah. Padahal, rating dan publik masing-masing merupakan diri otonom. Publik telah dinegasikan eksistensinya. Kini, dalam pandangan de-Saussure, publik hanya (bisa) menerima citra grafis dan akustik itu lalu diterjemahkan menjadi konsep yang ada dalam benak mereka.


Yang disampaikan media tak terbatas pada citra grafis yang terpenjara dalam kata-kata sadistik seperti mutilasi, membunuh, memotong tubuh, dan seterusnya. Media massa, terutama televisi juga menyertakan citra grafik dalam bahasa tubuh ( body language ), tepatnya rekonstruksi pembunuhan. Citra ini lebih mudah membentuk keseragaman konsep dalam benak pemirsa.


Di sisi lain, meminjam ungkapan Gadamer, kala sudah menjadi tanda ( signifiant ), media massa sebagai the author sudah mati. Ia tidak memiliki kuasa apapun atas berita dan tayangan yang ia sajikan. Di tangan khalayaklah, pemaknaan atas berita itu berada sepenuhnya. Karenanya, pemaknaan ini tergantung kepada konteks dan kemampuan analisis publik yang beragam.


Dengan demikian, kita sebetulnya tidak perlu terlalu khawatir akan efek negatif berita kriminal tersebut. Asumsinya, penikmat media di Indonesia adalah orangorang yang berpendidikan dan religius. Aspek kognitif dan relijiusitas inilah yang bakal memegang peranan penting dalam rekonstruksi konsep mutilasi dalam benak pemirsa.


Sampai sini, kita perlu merenung kembali. Betapa pembunuhan bermodus mutilasi belakangan ini kian marak. Ironisnya, justru dilakukan oleh orang dekat. Pertanyaannya, apakah pendidikan dan relijiusitas sudah kehilangan peran dalam rekostruksi konsep mutilasi hingga menjadi tren?


Dalam kaca mata psikoanalisis Freudian, sebagian besar sikap dan tindakan manusia didasarkan bukan kepada alam sadar, di mana kemampuan kognitif dan relijiusitas banyak berperan. Sebaliknya, justru didasarkan kepada pengetahuan bawah sadar. Artinya, perilaku sadistik menyusup ke alam bawah sadar manusia Indonesia, berbarengan dengan proses humanisasi terma-terma tersebut.


Kesadaran kolektif (tepatnya, kesadaran semu, fals conscious- ness ) kemudian terbentuk. Bahwa perilaku mutilasi bisa dinikmati dalam sajian media. Bahwa mutilasi boleh dilakukan demi tujuan tertentu: menghilangkan jejak dan bukti; menyusahkan penyidik dalam identifikasi; dsb.


Jelas sudah, tata etika dan norma publik sedemikian rapuh dan luntur perlahan. Yang lebih dikhawatirkan, dalam pertarungan wacana ini, ada semacam kesepakatan bersama secara diam-diam untuk menurunkan parameter moral humanis dan menempatkannya di bawah praktik-praktik sadistik tersebut. Proses ini sedang terjadi.


Penelitian American Psychological Assosiation pada 1995, sebagaimana dikutip Sophie Jehel, membuktikan bahwa memperlihatkan secara berulang tayangan kekerasan menyebabkan ketidakpekaan terhadap kekerasan dan penderitaan korban.


Konsep differant (keberbedaan) dan negasi yang diperkenalkan Derrida menjadi dipertanyakan. Ada benarnya tatkala mutilasi, memotong tubuh dan seterusnya mengalami proses pembedaan dari praktik pembunuhan biasa. Tapi, rupanya nilai moral sudah diistirahatkan. Mutilasi lama-kelamaan dianggap biasa dan lazim dalam spektrum kriminalitas. Mengerikan.


Etika publik media
Media selama ini hanya bermain pada wilayah etika teknik jurnalistik. Bagaimana menyampaikan berita secara akurat, berimbang ( cover both side ), adil ( fair ), dst. Tetapi, etika moral publik jarang diperhatikan. Ungkapan R Kristiawan ini sulit dibantah.


Sementara, praktisi media menyatakan, mereka hanya menuruti hasrat pasar (baca: rating dan oplah). Di mata media, publik itu cerdas, mampu memilah yang baik dan tidak. Media hanya bertugas menyampaikan fakta secara benar, berimbang, dan tanpa kebohongan. Tapi fungsi informasi saja tidak cukup. Media telah menafikan fungsi edukasi dan kontrol sosial.


Media harus bertanggung jawab atas pencerdasan masyarakat. Media juga wajib mengontrol perilaku menyimpang di kalangan masyarakat. Karenanya, penyampaian berita sadistik, selayaknya selektif dan diimbangi dengan nilai etika dan moralitas. Media tidak cukup hanya menampilkan pelaku, polisi, dan kriminolog dalam reka ulang kriminalitas. Media harus menampilkan agamawan untuk menyaring pemberitaan tersebut.


Peran aktif media massa, di sini menjadi niscaya saat negara sebagai salah satu aktor perang wacana sudah membatasi kuasanya dengan UU Pers No 49/1999 dan UU Penyiaran No 32/2002. Gunting sensor pemerintah dilucuti. Media harus mampu memilah kelayakan berita dengan mempertimbangkan etika publik.


Sementara itu, KPI sebagai lembaga pengawas, mestinya lebih aktif berperan. Tindakan KPI yang menyemprit beberapa program TV yang mengandung adegan tak pantas perlu didukung, selama tidak menghambat hak publik untuk mendapatkan informasi secara akurat, tepat, adil, dam berimbang. Diharapkan, masyarakat kian cerdas: mental dan spiritual. Amin.

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Ringkasan Hasil-hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang

بسم الله الرحمن الرحيم A. KOMISI BAHTSUL MASA`IL DINIYAH WAQI’IYYAH 1. Hukum mengingkari janji bagi pemimpin pemerintahan. Pertanyaan: 1) Bagaimana status hukum janji yang disampaikan oleh pemimpin pada saat pencalonan untuk menjadi pejabat publik, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif? 2) Bagaimana hukum mengingkari janji-janji tersebut? 3) Bagaimana hukum tidak menaati pemimpin yang tidak menepati janji? Jawaban: 1) Status janji yang disampaikan oleh calon pemimpin pemerintahan/pejabat publik, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dalam istilah Fiqh, ada yang masuk dalam kategori al-wa’du (memberikan harapan baik) dan ada yang masuk dalam kategori al-‘ahdu (memberi komitmen). Adapun hukumnya diperinci sebagai berikut: Apabila janji itu berkaitan dengan tugas jabatannya sebagai pemimpin rakyat, baik yang berkaitan dengan program maupun pengalokasian dana pemerintah, sedang ia menduga kuat bakal mampu merealisasikannya maka hukumnya mubah (boleh). Sebaliknya,...

Napak Tilas Leluhur ke Mangunranan (4): Sayang Dirsan di antara Mangunranan dan Pekutan

  Makam Sayang Dirsan Kakung Setelah bertemu Lek Syapingi Mbah Muhyidin segera mengutarakan maksud. Bahwa saya ingin diantarkan untuk berziarah ke makam Mbah Buyut Madirsan. Saya tanya, " Lek Sapingi benjang saget ?"  "Wah, besok saya dodos pari. Tadi belum selesai." "Kalau sekarang pripun?" " Yo ra popo." Saya terus pamit mengantarkan Mbah Muhyidin pulang dan segera kembali ke rumah Lek Sapingi.  Bersama Lek Sapingi saya kembali ke pemakaman desa Mangunranan yang tadi.  Rupanya Mbah Buyut Madirsan dimakamkan hanya berselang 15 meter, timur pusara Mbah Buyut Sardini. Nisannya sudah sepuh. Makam Mbah Kakung nisannya utuh.  Sedangkan nisan Mbah Putri tampak seperti dipangkas agar ada tanda cekungan untuk menandai bahwa yang sumare adalah seorang perempuan.   Makam Sayang Dirsan Putri. * * *  "Iki sekare Sayang Dirsan Kakung. Iki Sayang Dirsan Putri", kata Lek Syapingi menunjukkan nisan sepuh.  Saya agak kaget kok dipanggil "Sayang Di...

SOLUSI HUKUM ISLAM (MAKHARIJ FIQHIYYAH) SEBAGAI PENDORONG ARUS BARU EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA

SOLUSI HUKUM ISLAM (MAKHARIJ FIQHIYYAH) SEBAGAI PENDORONG ARUS BARU EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA (Kontribusi Fatwa DSN-MUI dalam Peraturan Perundang-undangan RI) ORASI ILMIAH Disampaikan dalam Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Muamalat Syariah Prof. Dr. (H.C.) K.H. Ma’ruf Amin di UIN Maliki Malang Disadari atau tidak, ekonomi syariah merupakan sektor yang sangat potensial sebagai variabel menciptakan kesejahteraan di Indonesia dan mempunyai efek berantai yang sangat positif bagi bergeraknya sektor lainnya. Indonesia merupakan pasar potensial bagi tumbuh kembangnya ekonomi syariah. Saat ini kondisi perekonomian Indonesia dinilai bagus. Gross Domestic Product (GDP) Indonesia diproyeksikan masuk lima besar dunia dalam beberapa tahun ke depan. Sumber Daya Alam di Indonesia masihsangat potensial untuk terus dikembangkan. Penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 220 juta, sekitar 87 persennya memeluk agama Islam. Kelas menengah muslim mengalami p...

Menimbang otoritas fatwa MUI

Dalam literatur hukum Islam ( Fiqh, Syari’ah ), kita mengenal beberapa terma yang berkaitan dengan proses pengambilan hukum. Di antaranya adalah fatwa, qadha’ , dan ijtihad . Ketiga terma ini, meski samasama berorientasi pada pemenuhan kebutuhan publik akan hukum, memiliki cara kerja, otoritas, dan kekuatan hukum yang berbeda. Ijtihad dapat dikatakan sebagai kata umum yang mencakup dua pengertian sebelumnya. Ahmad al- Fayumi memberi gambaran ijtihad sebagai upaya seorang mujtahid untuk menemukan (hukum) hingga sampai ke akar-akarnya. (al-Fayumi: 112). Sementara, qadha’ merupakan tindakan hakim ( qadhi ) yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara di meja hijau. Hakim harus memberikan putusan seadil mungkin. Putusan ini bersifat mengikat dan memaksa semua pihak yang berperkara. Dalam qadha’, para pihak tidak memiliki alternatif lain, selain yang telah diputuskan oleh hakim, baik dalam bentuk sanksi, hukuman, maupun penetapan. Bila ada pihak yang berperkara dan kemudia...

Perbedaan antara Prodi Ekonomi Syariah dan Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HESy) Muamalah

Muhamad Nasrudin, MH Banyak mahasiswa yang kesulitan dalam merumuskan permasalahan bidang hukum ekonomi syariah, terutama saat hendak mengajukan proposal skripsi ke Jurusan.  Salah satu kesulitan yang dihadapi mahasiswa adalah pemilahan antara hukum ekonomi syariah dengan ekonomi syariah. Banyak draf proposal yang diajukan justru berada pada bidang keilmuan ekonomi syariah, alih-alih hukum ekonomi syariah. Memang kedua bidang keilmuan tersebut berimpitan. Bahkan, objek yang dikaji oleh kedua bidang keilmuan tadi adalah objek yang sama, yakni konsepsi dan praktik ekonomi syariah. Kita bisa menyebutkan, misalnya: jual beli, kerja sama, sewa-menyewa, hutang-piutang, saham, obligasi, perbankan, pasar modal, asuransi, dan sebagaimana. Nah, lalu apa beda di antara ekonomi syariah dan hukum ekonomi syariah? Kuy kita bahas. Pertama, rumpun keilmuan . Ekonomi syariah berasal dari rumpun keilmuan ekonomi. Oleh sebab itu, instrumen analisis dalam riset-riset ekonomi syariah adalah instrumen e...

Mengapa Pipis Bayi Perempuan Harus Disiram dan Laki Cukup Diperciki?

Fikih Islam mengenal tiga klasifikasi najis berdasar tingkatan berat-ringannya. Yang paling berat adalah najis mughaladzah. Najis ini adalah seluruh bagian tubuh anjing dan babi beserta segala turunannya. Saking beratnya, cara mensucikan najis ini adalah dengan membasuhnya sampai hilang wujud, baru ditambah tujuh basuhan yang salah satunya dicampur dengan debu. Level yang paling ringan adalah najis mukhafafah . Najis ini hanya ada satu, yakni air seni bayi laki-laki yang belum berusia dua tahun dan hanya mengonsumsi ASI, tak pernah mengonsumsi makanan lain sebagai asupan gizi. Najis ini cukup diperciki dan seketika langsung menjadi suci. Di level tengah ada najis mutawasithah . Ini mencakup semua najis yang tidak masuk dalam klasifikasi ringan atau berat. Cara mensucikannya adalah dengan membasuh najis dengan air mengalir sampai bersih. Bagaimana dengan hukum air seni bayi perempuan? Dari penjelasan ringan di atas, hukum pipis bayi perempuan masuk ke dalam klasifikasi...