Skip to main content

Menggugat keadilan dalam poligami

DALAM perkawinan kebahagiaan adalah tujuan utama. Namun, kata pepatah, jalan tak selamanya bertabur bunga. Ada kalanya bertabur kerikil tajam, duri di jalan. Salah satu problem yang kadang dihadapi adalah belum adanya keturunan. Dunia terasa hambar. Karena anak tak sekedar calon penerus gen. Ia adalah cahaya dan perekat keluarga. Sebuah artikel anonim yang penulis temukan di mesin Google menuturkan.


"Bila sang buah hati belum hadir, cintailah pasanganmu 100 persen". Ini teorinya. Tapi, boleh jadi hasrat menimang putera jauh lebih hebat. Hingga tak jarang, biduk keluarga retak dan terancam kelangsungannya. Problem ini menjadi salah satu dari tiga alasan pengadilan membuka pintu poligami dalam UU No. 1/1971 tentang Perkawinan (UUP) pasal 4 ayat (2). Problem lain adalah istri tidak dapat menjalankan kewajiban; dan istri mendapat cacat badan atau penyakit lain yang tidak bisa disembuhkan. Poligami ini demi keutuhan rumah tangga.

Syarat adil
Seorang lelaki yang hendak mengajukan izin poligami ke pengadian ditantang oleh tiga buah syarat dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan. (i) Perjanjian (baca: persetujuan) istri yang hendak dimadu. (ii) Kepastian kemampuan finansial suami untuk menanggung kebutuhan semua istri dan anak. (iii) Dan, ada jaminan akan berlaku adil kepada semua istri dan anak.

Persetujuan istri amat dibutuhkan. Agar ke depan lembaga perkawinan baru tidak mengganggu, bahkan meruntuhkan lembaga perkawinan yang telah ada, meski tidak ada jaminan 100 persen untuk itu. Secara keperdataan, hal ini mudah dibuktikan dengan surat pernyataan di atas materai cukup. Kemapuan finansial tak kalah penting. Jangan sampai perkawinan baru justru melahirkan kelaparan dan kemiskinan baru. Tapi, pada kasus tertentu, kemampuan finansial yang lebih dari cukup justru bisa menjadi pemicu poligami. Apalagi, secara keperdataan, syarat ini mudah dibuktikan.

Yang paling sulit dibuktikan di muka pengadilan adalah jaminan keadilan dalam perkawinan. Karena, tiada ukuran keadilan yang jelas di sini. Pun, UUP tidak berbicara lebih lanjut, keadilan macam apa yang dipersyaratkan.

Sehingga, multitafsir jelas terjadi saat memahami klausula ini. Boleh jadi, keadilan yang diterapkan adalah keadilan versi suami (subjektif). Bisa dipastikan, seorang suami akan merasa dirinya berlaku adil kepada semua istri dan anak, bahkan yang akan dilahirkan. Pada detik lain, boleh juga keadilan di sini adalah keadilan objektif: versi isteri dan anak. Karenanya, selayaknya di sini ditegaskan: keadilan objektif.

Namun demikian, syarat ini masih menyisakan problem, karena keadilan yang bersifat abstrak harus ditegakkan dan dibuktikan secara keperdataan. Kiranya perlu Surat Perjanjian bermaterai cukup, bahwa si suami akan selalu berlaku adil. Bila tidak, ia bersedia diajukan ke muka pengadilan untuk mendapatkan sanksi ( takzir ). Tapi, apa cantolan hukumnya? Penipuankah? Penggelapankah? UU Perkawinan tidak menyinggungnya. Apalagi, wewenang absolut peradilan Agama bagi kaum muslim hanya kasus keperdataan Islam, tiada kasus pidana. Hal ini juga tidak termasuk alasan perceraian dalam UUP, meski hakim dapat memaksa untuk memasukkannya pada UUP pasal 39 ayat (2), bahwa antara suami-istri tidak dapat (di)-rukun-(kan).

Fitrah keadilan
Problem di atas terjadi lantaran keadilan hanya dijadikan syarat mengajukan permohonan poligami ke pengadilan. Keadilan menjadi bagian yang terpisahkan secara materiil dari institusi poligami. Hanya sebatas syarat formil pengajuan permohonan poligami semata. Mari kita merujuk tujuan besar ( main goal ) pernikahan, yakni "...untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa" (pasal 1 UUP). Dari sini, jelas sudah bahwa penempatan keadilan sebagai syarat formil poligami justru mencederai semangat asali UUP sendiri.

Jelas sudah! Ini bertolak belakang dengan maqaashid syariah (tujuan syariah) lembaga pernikahan: yakni hifdz nasl (menjaga keturunan), hifdz nafs (menjaga jiwa), dan hifdz "irdh (menjaga harga diri). Karenanya, harus ada perubahan paradigma memandang keadilan dalam poligami. Terma Keadilan harus dinobatkan sebagai syarat sah dan rukun (bagian yang tak terpisahkan) dalam poligami.

Tanpa keadilan, poligami tidak sah, menurut agama maupun hukum positif. Jika di suatu waktu dalam perjalanan perkawinan, ditemukan indikasi pudarnya keadilan seorang suami, maka pernikahan poligami dapat dibatalkan oleh dan di muka pengadilan. Dengan demikian, diharapkan poligami benar-benar menjadi pintu keluar terakhir sebelum perceraian dalam penyelesaian beberapa problem keluarga seperti disebut di muka.

Penobatan keadilan sebagai syarat sah ini penting, mengingat ringannya syarat poligami acap kali dijadikan celah bagi para lelaki tak bertanggung jawab hanya untuk memenuhi nafsunya.

Lalu, bagaimana dengan landasan yuridisnya? UUP pasal 29 ayat (1) memberi jalan dengan membolehkan pembuatan perjanjian sebelum perkawinan selama tidak melanggar hukum, norma, dan kesusilaan (ayat [2]). Dalam perjanjian ini dapat dimasukkan klausul bahwa jika Keadilan suami mulai pudar, istri atau anak yang ter-dzolimi dapat mengajukan permohonan cerai ke meja hijau.

Atau, klausula janji adil ini bisa dimasukkan ke dalam kausa ta"liq talak. Sehingga, sewaktu-waktu si suami berlaku tidak adil, maka talak pertama jatuh dengan sendirinya. Tentunya, talak ini jatuh setelah Pengadilan berwenang, membuktikan ketidakadilan suami. Dalam kasus poligami, atas dasar rasa keadilan -dan membuat yurisprudensi -, hakim yang memeriksa pengajuan poligami dapat memaksakan pembuatan perjanjian tersebut kepada suami. Sekaligus, hakim memerintahkan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) untuk mencatat dan mengesahkan perjanjian tersebut.

Dengan demikian, seorang suami akan jauh lebih hati-hati ketika akan dan saat menjalani perkawinan dalam bingkai poligami. Dan, keluarga sa"adah (bahagia), sakinah (harmonis), mawaddah (penuh cinta), wa rohmah (penuh kasih), dapat mewujud. Semoga. Alllahu a"lam.

Source: Koran Sore Wawasan edisi Jumat, 22 Agustus 2008

Comments

ariefmas said…
blog anda ini saya link di wordpress.

trima kasih. mdh2an bkenan....

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Perbedaan antara Prodi Ekonomi Syariah dan Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HESy) Muamalah

Muhamad Nasrudin, MH Banyak mahasiswa yang kesulitan dalam merumuskan permasalahan bidang hukum ekonomi syariah, terutama saat hendak mengajukan proposal skripsi ke Jurusan.  Salah satu kesulitan yang dihadapi mahasiswa adalah pemilahan antara hukum ekonomi syariah dengan ekonomi syariah. Banyak draf proposal yang diajukan justru berada pada bidang keilmuan ekonomi syariah, alih-alih hukum ekonomi syariah. Memang kedua bidang keilmuan tersebut berimpitan. Bahkan, objek yang dikaji oleh kedua bidang keilmuan tadi adalah objek yang sama, yakni konsepsi dan praktik ekonomi syariah. Kita bisa menyebutkan, misalnya: jual beli, kerja sama, sewa-menyewa, hutang-piutang, saham, obligasi, perbankan, pasar modal, asuransi, dan sebagaimana. Nah, lalu apa beda di antara ekonomi syariah dan hukum ekonomi syariah? Kuy kita bahas. Pertama, rumpun keilmuan . Ekonomi syariah berasal dari rumpun keilmuan ekonomi. Oleh sebab itu, instrumen analisis dalam riset-riset ekonomi syariah adalah instrumen e...

Aku Ingin Jogja (Kembali) Berhati Nyaman

Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu Nikmati bersama suasana Jogja. Kla Project,  Yogyakarta. Lirik lagu legendaris ini sering terngiang di telinga. Dahulu sekali, sekitar lima belas tahun lalu, saat itu saya masih sekolah di kampung halaman di Lampung Tengah. Saya sempat membayangkan bagaimana ya kalau saya bisa sekolah di Jawa, pasti keren. Apalagi bisa sekolah di Jogja, gudangnya orang pinter. Punya banyak teman yang pinter-pinter. Bisa jalan-jalan. Ah asyiknya.... Empat tahun kemudian, saya berkesempatan melanjutkan studi di Fak. Syariah IAIN Walisongo Semarang. Senang sekali rasanya bisa menjadi mahasiswa dan bisa studi lanjut di Jawa. Bagi warga kampung kami, itu sangat keren. Saat itu, selesai mengikuti orientasi mahasiswa baru diwajibkan untuk ikut  study tour . Dan.. yolla. Tujuannya adalah Jogja. Septe...

Prinsip Dasar Wasiat dalam Waris Islam

Wasiat dan waris adalah dua hal yang bertalian. Keduanya sama-sama melibatkan orang yang meninggal dunia dan harta peninggalannya. Wasiat sebetulnya identik dengan hibah atau hadiah, tetapi ada perbedaan mendasar. Hibah dan hadiah adalah pemberian yang ditunaikan saat itu juga.  Sementara itu, wasiat adalah pemberian sesuatu kepada seseorang atau lembaga yang eksekusinya dilakukan setelah si pewasiat meninggal dunia. Dan ketika wasiat ini terkait dengan harta si mayit, maka ia bertalian dengan hukum waris. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini. Pertama, bahwa wasiat adalah hak si mayit atas harta yang ia miliki. Artinya, wasiat ini tidak bisa diabaikan atau dibatalkan oleh siapa pun, sepanjang tidak ada alasan syar'i.  Jika misalnya, harta yang diwasiatkan ternyata tidak pernah dan tidak akan ada, atau tujuan wasiat untuk hal yang bertentangan dengan syariat, maka wasiat ini bisa dibatalkan. Kedua, bahwa bagian atau nisbah waris ...

Prinsip Dasar Waris Islam yang Sering Dilupakan

Ada tiga prinsip dasar yang harus dipahami dalam waris Islam, yang sayangnya sering dilupakan. Ketiganya adalah: tauhid, hakikat manusia, dan hakikat harta. Tauhid artinya mengesakan. Artinya, Allah adalah segalanya, tiada yang lain selain Allah. Dialah pemilik segalanya. Dialah asal segala sesuatu dan muara segala sesuatu. Al-Awwal wa al-Akhir. Selanjutnya, hakikat manusia. Manusia terdiri atas tiga bagian: nafs (jiwa), jasad, dan ruh. Nafs adalah jiwa manusia yang berasal dari alam malakut. Jasad berasal dari saripati bumi. Dan ruh adalah pengikat bagi kedua hal tersebut. Ketika ajal seseorang telah tiba, Allah mencabut ruh yang mengikat. Sehingga nafs dan jasad tercerai berai. Jasad kembali kepada bumi, terurai di dalam tanah. Kemudian jiwa (nafs) berpindah ke alam barzah, untuk kembali kepada Allah. Sebab itulah, ketika ada orang yang meninggal dunia, kita mengucapkan tarji', Inna lillah wa Inna ilaihi raji'un. Kita semua adalah milik Allah, dan kita semua akan ...

Media Bersuci dalam Fikih (2-habis)

Pada tulisan sebelumnya kita sudah membincang tiga mediabersuci yakni air, debu, dan batu dengan berbagai kriteria dan prosedurpemanfaatannya . Ketiga yang pertama tadi merupakan media yang lazim digunakan oleh hampir seluruh umat Islam. Sementara itu, dua media bersuci yang akan dibahas dalam artikel ini relatif jarang digunakan. Kedua terakhir ini bukanlah sebuah benda, melainkan proses. Ada dua proses yang bisa membuat satu benda najis menjadi suci yakni penyamakan dan perubahan khamr menjadi cuka. Penyamakan Secara prinsip syariat, seluruh bangkai diberi status najis. Bangkai adalah seluruh binatang yang halal dimakan tapi mati tanpa melalui prosedur penyembelihan secara syar’iy. Ketentuan ini mencakup pula binatang yang haram dimakan meskipun disembelih secara syari. Ketentuan ini mengecualikan dua jenis binatang: (i) binatang yang hanya bisa hidup di air dan (ii) binatang darat yang dalam tubuhnya tidak terdapat darah merah yang kasat mata dan mengalir. Maka bangk...

Mengembangkan Publikasi Ilmiah di Fakultas Syariah IAIN Metro

  Oleh Muhamad Nasrudin, MH Kemarin Pak Dekan Husnul meminta saya untuk melakukan evaluasi terhadap penerbitan di Fakultas Syariah. Ya jadinya saya buat evaluasi ringan. Begini kira-kira: Sampai saat ini, Fakultas Syariah hanya punya satu jurnal akademik, yakni Istinbath, Jurnal Hukum . Hingga kini jurnal ini sudah terakreditasi Sinta 3, dulu terakreditasi B sih sebelum zaman Sinta.  Tapi semenjak ditinggal pengelola yang keren, Mas Sakirman untuk studi lanjut S3 di UIN Semarang, perkembangan jurnal ini jadi kurang progresif. Meskipun bisa dikembangkan, Istinbath Jurnal Hukum sepertinya agak susah karena berbagai hal.  Kata istinbath yang menjadi judul jurnal ini berasal dari rumpun hukum Islam, tapi tagline “Jurnal Hukum” membuka peluang untuk masuknya berbagai artikel dari bidang ilmu hukum. Jadinya gado-gado, kurang spesifik. Jadi kalau mau dikembangkan, agak susah. Perlu kerja keras untuk repositioning jurnal ini. Hehe...   Pengembangan Publikasi...