Skip to main content

Menguliti Tradisi Tasawuf (3)

Pupuk Tasawuf dari Tradisi non-Islam

Melihat praktik yang dijalankan kaum sufi, ada sementara kalangan yang meng­identikkan tasawuf dengan perilaku sejenis dalam tradisi lain di luar Islam. Karena pada kenyataannya, asketisme hampir bisa ditemui dalam semua tradisi agama, samâwîy maupun ardhîy.[1] Wajar hal ini terjadi, lantaran setiap ‘agama’ [dengan a kecil] mempercayai kekuatan gaib yang kudus, di mana manusia tunduk dan akal tak sanggup menjamahnya. Begitu domi­nan­nya kekuatan itu, hingga manusia perlu mendekatkan diri dan menjaganya agar tidak murka, dengan membersihkan dan menjaga diri.[2] Tradisi-tradisi itu tampaknya independen, tidak ada sangkut-paut satu dengan lainya.

Namun, bisa jadi, ada kerja saling mempengaruhi, setidaknya ada benang merah di antara tradisi-tradisi asketisme. Hingga tak jarang, beberapa peneliti menyatakan bahwa banyak ajaran non-Islam yang turut bermain dalam proses perkembangan tasawuf. Di antara bebe­rapa tradisi yang menjadi titik perhatian adalah gnostisisme. Term ini dimaknai oleh Mahmud sebagai “ma’rifah”. Ia, tampak mempersamakan antara gnosis dalam tradisi non-Islam dengan ma’rifat dalam term tasawuf.[3] Gnosis atau ma’rifah, menurut Mahmud, merupakan pencapaian sese­orang pada puncak pengetahuan tertinggi. Pengetahuan ini tidak bisa didapat melalui akal demonstratif (burhan) dan pengujian empirik melalui media apapun, melainkan hanya bisa dengan tersingkapnya hijab.[4] Gnosis bisa dijadikan benang merah yang menya­tukan semua tradisi ‘agama’ dan kepercaya­an (?) yang pernah ada di muka bumi ini.


Mahmud lantas yang membagi keha­diran gnosis berdasarkan asalnya: Barat dan Timur. Keduanya, meski bernafas senada, punya corak yang berbeda, terutama dalam bentuk pengaruh yang diberikan pada tasawuf Islam. Gnosis timur, oleh Mahmud diidentifikasikan berasal dari daerah Mesir, Persia, India, dan Yahudi[5]. Mahmud tampak­nya mengabaikan tradisi China dengan Tao dan Konfuchunya. Sedang Nicholson dalam The Mystics of Islam melupakan tradisi Persia.[6] Sementara, pengaruh gnosis Barat yang utama adalah filsafat mistik, seperti filsafat Neo-Platonius dan mistik Pytha­goras. Filsafat Neo-Platinus adalah filsafat emanasi (pancaran).[7] Roh manusia adalah pancaran dzat Tuhan. Ia akan kembali kepada Tuhan. Untuk itu, ia harus member­sihkan diri karena dirinya telah kotor oleh alam materi. Sedang mistik Pytagoras meyakini, roh manusia itu kekal dan terpenjara dalam tubuh. Saat itu, roh menjadi kotor. Dan ia butuh untuk membersihkan diri.




Kristen dengan tradisi kerahibannya (tidak menikah), juga dituding Nicholson punya pengaruh terhadap tasawuf,[8] meski secara tegas dinyatakan, Islam tidak mengenal kerahiban, ruhbâniyah fid dîn. Demikian halnya dengan tradisi Budha dengan Nirvana yang mirip fana’ dan baqa’. Serta Hindu dengan penyatuan antara Atman dan Brahmannya,[9] juga mengenai moksa. Namun, kebanyakan pemikir muslim ramai-ramai membantah klaim di atas. Dengan berbagai dalih, mereka meyakinkan bahwa tasawuf Islam me­mang murni berasal dari dalam Islam, tak ada kaitan apalagi pengaruh dari tradisi non-Islam.[10] Meski demikian, dalam dinamika keilmuan, seharusnya dialog menjadi key word. Karena pada dasarnya, pengaruh tidak selamanya bernilai negatif. Harus ada pembacaan yang lebih dewasa.



[1] Lihat Dr Abdul Qadir Mahmud, al Falsafah as Shuufiyah fi al Islâm; Mashâdiruhâ, wa Nadhâriyatuhâ, wa Makânuhâ, min ad Dîn wal Hayât, (Dar al Fikr al Araby, t. th.), hlm. 2. Dalam buku itu, Mahmud memberi porsi lebih dari 40 halaman hanya untuk mengulas pengaruh non-Islam terhadap ajaran tasawuf.
[2] Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, (Jakarta: UI Press, 2001), hlm. 4.
[3] Padahal, sebatas pengetahuan penulis, gnosis tidak bisa begitu saja disamakan dengan ma’rifah. Ada sekat-sekat linguistik dan budaya yang menyebabkan keduanya tidak bisa saling mensubstitusi. Husnudzon-nya, Mahmud sekadar memudahkan pembaca.
Gnosis sendiri bisa dimaknai sebagai potensi seseorang yang ketika melihat ‘yang lain’, dirinya bisa mencitrakan diri sebagai ‘yang lain’ itu. Saat melihat matahari, maka diri ini adalah citra matahari. Saat melihat Tuhan, maka diri adalah citra Tuhan. Sedangkan Ma’rifah adalah pengetahuan yang didapat dari tersingkapnya hijab. Namun, karena potensi gnosis ada dalam semua tradisi agama, baik samawi (prophetic, konfrontatif) dan ardhi (interioritas), Mahmud mengambil definisi yang umum.
[4] Ibid., hlm. 4.
[5] Pembagian ini rupanya lebih menekankan pada dimensi geografis. Terbukti dengan masuknya Yahudi dalam klasifikasi gnosis timur. Padahal, secara antroposentris, akan lebih menarik bila tradisi gnosis ini dibagi ke dua narasi besar: tradisi gnosis agama ardhi dan samawy.
[6] Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam, (London: Routledge, Kegan Paul, 1914), hlm. 9.
[7] Kelak, filsafat emanasi ini akan dikembangkan oleh filsuf muslim, al Farabi. Ia menyatakna bahwa dzat Tuhan memancar dan menghasilkan akal pertama. Akal pertama memikirkan Tuhan, maka jadilah akal kedua, akal pertama memikirkan dirinya sendiri, jadilah langit. Demikian seterusnya..
[8] Untuk menguatkan persangkaan ini, ia menyatakan bahwa dalam biografi para sufi, acap ditemui pujian atas Nabi Isa AS (Jesus) dan beberapa kutipan Bibel. Ia mencantumkan percakapan antara Sufi Syiria, Ahmad bin al Hawary, yang menyebutkan seruan Bibel yang terkuat. Yakni, mencintai Tuhan. Lihat, Nicholson, ibid., hlm. 11-12
[9] Harun Nasution, Filsafat dan Mistis dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 49.
[10] Beberapa tokoh yang bisa disebutkan di sini adalah, HAMKA, Tasauf: Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas), hlm. 51-59. Baca juga Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, ibid., hlm. 19-21.

Comments

Popular posts from this blog

Mars dan Hymne IAIN Metro

Mars IAIN Metro Jayalah IAIN Metro Tegap menuju masa depan Tak gentar bersaing tunjukkan kearifan Di bumi persada Kembangkan ajaran Islam Tekuni ilmu dan teknologi Peduli harmoni menjadi jati diri Cita-cita mandiri Marilah seluruh civitas akademika Membaca dan berkarya Menjadi generasi intelektual bangsa Berakhlak mulia Majulah IAIN Metro Majulah civitas akademika Membangun generasi bertakwa pada Ilahi Berkhidmat untuk negeri 2x Jayalah jayalah IAIN Metro ***** HYMNE IAIN Metro Di gerbang Sumatera Lampung tercinta IAIN Metro berada Tempat kami berjuang Tempat kami mengabdi Berbakti pada Ilahi Melangkah dengan Iman dan Taqwa Mengabdi pada bangsa dan negara Di bumi pertiwi kami berpijak Bernaung atas RidhoNYA Syukur dan harapan slalu kami panjatkan Untuk kejayaan Islam rahmat alam semesta Ilmu dan iman menjadi landasan Membangun generasi Indonesia Jaya

Perbedaan antara Prodi Ekonomi Syariah dan Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HESy) Muamalah

Muhamad Nasrudin, MH Banyak mahasiswa yang kesulitan dalam merumuskan permasalahan bidang hukum ekonomi syariah, terutama saat hendak mengajukan proposal skripsi ke Jurusan.  Salah satu kesulitan yang dihadapi mahasiswa adalah pemilahan antara hukum ekonomi syariah dengan ekonomi syariah. Banyak draf proposal yang diajukan justru berada pada bidang keilmuan ekonomi syariah, alih-alih hukum ekonomi syariah. Memang kedua bidang keilmuan tersebut berimpitan. Bahkan, objek yang dikaji oleh kedua bidang keilmuan tadi adalah objek yang sama, yakni konsepsi dan praktik ekonomi syariah. Kita bisa menyebutkan, misalnya: jual beli, kerja sama, sewa-menyewa, hutang-piutang, saham, obligasi, perbankan, pasar modal, asuransi, dan sebagaimana. Nah, lalu apa beda di antara ekonomi syariah dan hukum ekonomi syariah? Kuy kita bahas. Pertama, rumpun keilmuan . Ekonomi syariah berasal dari rumpun keilmuan ekonomi. Oleh sebab itu, instrumen analisis dalam riset-riset ekonomi syariah adalah instrumen ekono

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel

Doa Memulai Pengajian Al-Quran, Ilahana Yassir Lana

Berikut ini adalah doa yang biasa dibaca sebelum memulai mengaji al-Quran.  Ilaahana yassir lanaa umuuronaaa 2 x Min diininaaa wa dun-yaanaaa 2 x Yaa fattaahu yaa aliim 2 x Iftah quluubanaa 'alaa tilaawatil qur'aan 2 x Waftah quluubanaa alaa ta'allumil 'uluum 2x

Mengapa Pipis Bayi Perempuan Harus Disiram dan Laki Cukup Diperciki?

Fikih Islam mengenal tiga klasifikasi najis berdasar tingkatan berat-ringannya. Yang paling berat adalah najis mughaladzah. Najis ini adalah seluruh bagian tubuh anjing dan babi beserta segala turunannya. Saking beratnya, cara mensucikan najis ini adalah dengan membasuhnya sampai hilang wujud, baru ditambah tujuh basuhan yang salah satunya dicampur dengan debu. Level yang paling ringan adalah najis mukhafafah . Najis ini hanya ada satu, yakni air seni bayi laki-laki yang belum berusia dua tahun dan hanya mengonsumsi ASI, tak pernah mengonsumsi makanan lain sebagai asupan gizi. Najis ini cukup diperciki dan seketika langsung menjadi suci. Di level tengah ada najis mutawasithah . Ini mencakup semua najis yang tidak masuk dalam klasifikasi ringan atau berat. Cara mensucikannya adalah dengan membasuh najis dengan air mengalir sampai bersih. Bagaimana dengan hukum air seni bayi perempuan? Dari penjelasan ringan di atas, hukum pipis bayi perempuan masuk ke dalam klasifikasi