Delegasi Kematian
Bila memang kematian adalah hak prerogatif Tuhan, ada sedikit keunikan yang
ditampilkan. Betapa tidak? Tuhan sendiri justru memberikan peluang, bahkan
mewajibkan manusia untuk menghadirkan kematian, melenyapkan ruh sebagian
manusia yang lain. Pemberian peluang ini
dengan memperhatikan kriteria dan batasan-batasan tertentu. Tengok misalnya QS
2:178.
”Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita.” Al-Qur’an juga menuturkan, hukuman qishas
(balasan setimpal) sudah ada pada masa Musa AS yang tercantum dalam Taurat. QS
5:45 menuliskan, ”Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya
(at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun)
ada kisasnya.”
Amat jelas, Tuhan mewajibkan qishash
(pembalasan setimpal). Memotong tangan dihukum dengan dipotong tangannya.
Menghilangkan mata dihukum dengan dihilangkan matanya. Telinga dengan telinga.
Dan, membunuh dengan dibunuh. Tapi, ini tidak kaku, karena al-Quran memberikan
alternatif lain, bila keluarga korban memaafkan, hukuman itu bisa dihapus
dengan ganti penebusan seratus ekor unta jenis tertentu.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa menghadirkan kematian bukanlah hak
prerogatif yang dimonopoli oleh Tuhan. Ada beberapa bagian dalam hak ini yang
didelegasikan oleh Tuhan kepada manusia. Tentunya, manusia di sini, dipahami
dalam kerangka sebuah sistem hukum dan sistem kemasyarakatan (baca: negara).[1]
Manusia, dalam hal ini hakim berhak menjatuhkan vonis mati kepada
narapidana. Artinya, manusia (baca: hakim) memiliki hak untuk menghadirkan
kematian kepada manusia lain (narapidana) lantaran membunuh sengaja (qathl
‘amd)[2].
Tentunya, setelah pembunuhan itu terbukti dengan meyakinkan dan tanpa maaf dari
pihak keluarga.
Hak menghadirkan kematian —secara negatif/pasif—ini juga didelegasikan
kepada keluarga korban (victim). Ketika keluarga korban tidak memberikan
maaf, berarti mereka menggunakan haknya untuk menghadirkan kematian pada diri sang
napi. Sebaliknya, tatkala mereka memberikan permaafan, secara otomatis ia
menggunakan haknya atas penghadiran kematian secara negatif.
Yang lebih menarik lagi, Tuhan memberikan pemahaman bahwa pendelegasian hak
atas kematian itu juga merupakan bagian dari penjagaan dari kehidupan.
Bagaimana bisa? Ahmad Fanani dalam Asas-asas Hukum Pidana Islam meyakini
bahwa tidak ada perbuatan manusia yang independen dan murni dalam implikasinya:
selamanya positif, atau sebaliknya selamanya negatif.[3]
Yang membedakan adalah kadar implikasi yang ditimbulkan oleh perbuatan
tersebut. besar mana? Apakah besar sisi positif atau sebaliknya. Hal ini juga
dengan mempertimbangkan kehidupan manusia yang tidak sendiri, ia merupakan homo
hominni socious, manusia yang berinteraksi dengan yang-lain. Kebebasan
manusia dibatasi oleh kebebasan pihak lain.
Guna mengendalikan tindakan manusia agar tidak selalu menjurus kepada
tindakan yang lebih banyak negatifnya dan merugikan pihak lain, Syariat
memberikan rambu-rambu yang wajib ditaati. Nyatanya, peraturan saja tidak
cukup, karena masih saja banyak yang melanggar. Maka, perlu ditambahkan sanksi.
Sehingga, peraturan punya daya tekan (preassure) terhadap subyek hukum
dan publik secara umum.
Tetapi, masih saja ada kerancuan. Bagaimana bisa, tujuan pensyariatan (maqashid
tasyri’) untuk menjaga kelestarian kehidupan manusia tetapi dengan cara
menghadirkan kematian, melenyapkan kehidupan? Bukannya ini merupakan sebuah blunder
habis-habisan terhadap maqashid syariah
itu sendiri?
Ada dua pendekatan yang bisa dipakai untuk melihat fenomena ini. Pertama,
bahwa Syaari’ (Tuhan, yang menetapkan peraturan agama) memberikan sanksi
sedemikian berat, dengan mendelegasikan hak menghadirkan kematian kepada
manusia untuk menekankan bahwa tindakan menghilangkan nyawa orang itu merupakan
tindakan yang amat tidak terpuji, dan benar-benar berlawanan dengan seluruh maqashid
syariah yang telah ditetapkan.
Bertentangan ini maksudnya tidak menjaga nyawa, jiwa (nafs). Tidak
menjaga aql (nalar sehat), lantaran tidak mencari alternatif win-win
solution lain guna menyelesaikan problem. Nalar sehat diiistirahatkan,
hingga harus melenyapkan jiwa. Tidak menjaga din, karena nilai-nilai dan
etika agama ditanggalkan. Tidak menjaga nasl (regenerasi) karena memutus
kelanjutan tali keturunan si korban untuk selamanya. Tidak menjaga maal,
karena dengan kematian, harta korban menjadi tak bertuan dan boleh jadi
menjelma bahan rebutan.
Sebab itu, hukuman yang teramat berat tidak menjadi soal. Benar juga ungkapan
bahwa hukum pidana adalah pisau bermata dua. Selain menyelesaikan problem
dengan mendudukan masalah yang sesungguhnya dan mencari keadilan, hukum pidana
juga mengiris dagingnya sendiri saat menetapkan dan menjatuhkan sanksi. Ini
menjadi problem. Tapi, tidak jadi soal, karena pencabutan nyawa atas terpidana
menjadi terbayarkan dengan pressure psikis bagi subjek hukum lain agar
menggunakan akalnya sebelum melakukan tindakan terbodoh itu.
Pandangan kedua menyatakan bahwa pendelegasian itu merupakan “pendelegasian”
yang teramat dipaksakan. Karena, pembunuhan adalah hukuman yang terberat yang
pernah dipraktikkan di muka bumi—dengan berbagai cara dari yang paling
“manusiawi” hingga paling sadis. Dalam kasus ini, yang diutamakan adalah
pemberian maaf dari keluarga korban, dengan menggunakan hak menghadirkan
kematian secara negatif. al-Qur’an memujinya.
Pandangan ketiga, menekankan bahwa menghadirkan kematian sebagai sanksi itu
tidak bisa dibenarkan sama sekali. Teks itu harus diabrogasi (naskh),
lantaran terlalu diskriminatif, utamanya menyangkut Hak Sipil dan Hak Asasi
Manusia. Demikian disampaikan Abdullah Ahmed An-Naim, pemikir asal Sudan.[4]
Harus ada perlawanan manusia untuk menegakkan haknya yang paling asasi.
Terlebih, ayat-ayat al-Quran yang berbicara sanksi dalam bentuk pengambilan
nyawa orang ini turun saat Muhammad saw di Madinah (Ayat Madaniyah). Dalam
pandangan Ustadz Mahmoud Muhammad Thaha, ayat itu justru harus diabrogasi (di-nasakh)
lantaran spiritnya tidak membawa pada kebebasan dan kesetaraan (egalitarian).[5]
Sementara, kaum substansialis memandang, tidak etis bilamana ruh manusia
dipertaruhkan “hanya” untuk persoalan yang selayaknya diselesaikan tanpa
mengalirkan darah, apalagi sampai menghapus nyawa orang. Farid Essack
berpandangan bahwa qisash atas pembunuh tak bisa dilepaskan dari
perwujudan dendam masyarakat primordial dan atavistik.[6]
Abu Hurayrah sendiri mengutip banyak hadits yang mengungkapkan kemuliaan
seorang pemaaf. “Lâ taghdhab!” Jangan kau turuti amarahmu, demikian
pesan Nabi yang diulangi tiga kali saat menasehati seorang sahabat yang meminta
nasehat sebanyak tiga kali.
Di mata Farid, sanksi “mata dengan mata” adalah sebuah pembatasan.
al-Qur’an sendiri menyatakan “Dalam qishash (hukuman) itu ada (jaminan
kelangsungan) kehidupan untukmu, wahai orang-orang yang berakal. (QS. 1:179).
Klausula “kehidupan” memberikan penjelasan, tidak benar jika pemberlakuan hukum
kisas sampai menghilangkan nyawa seseorang. Itu hanyalah had (batasan
maksimal) atas hukum.[7]
Hal ini dibenarkan oleh Ir. M. Shahrour dengan teori limit-nya.
Lebih lanjut, Farid menjabarkan, kesalahan adalah bagian intrinsik dari
manusia. Ia mencantumkan nama Kirk Bloodsworth yang setelah sembilan tahun
dipenjara dan dieksekusi mati karena disangka memperkosa dan membunuh gadis 9
tahun, ternyata terbukti tidak bersalah setelah FBI melakukan tes DNA. Setelah
eksekusi dijalankan, maka tertutuplah segala upaya untuk melakukan koreksi atas
kesalahan hakim dalam menjatuhkan hukuman.[8]
Jelas! Pendelegasian hak menjatuhkan kematian merupakan hal yang teramat
berbahaya, justru bertentangan dengan sisi kemanusiaan dan teks (nash)
itu sendiri. Dan akan lebih tidak masuk akal lagi, karena hanya orang-orang
kaya saja yang bisa lepas dari sanksi qishas mati. Di mata Farid, seorang
miskin tidak bisa mengelak dari kematian saat ia membunuh, karena ia tak punya
harta untuk membayar diyat (denda).
Pendelegasian hak menghadirkan kematian juga diberlakukan pada kasus pezina
muhson. Yakni, seorang pezina yang sudah pernah atau sedang memiliki
suami/istri. Dalam kasus ini dan bila benar-benar terbukti di muka pengadilan
dengan meyakinkan, si pezina bisa ditetapkan hukuman rajam. Dipendam sebagian
tubuh si pezina untuk kemudian dilempari batu hingga tewas.
Hukuman zina ini didasarkan pada suatu ayat yang telah di-nasakh
(diabrogasi), dihapus teksnya dari ayat al-Qur’an. Yakni, “Az-zaaniyatu
wa–zaaniy far jumuuhumaa al batata”. Mengenai ayat ini, Umar bn Khattab
mengaku pernah mendengar ayat di atas yang merupakan bagian dari al-Qur’an.
Meksi dihapus dari mushaf, sebagian besar ulama menganggap ayat ini tetap
memiliki kekuatan hukum. Tepatnya, keberlakuan hukum rajam berdasarkan beberapa
peristiwa yang terjadi di masa Nabi (hadits fi’li, tindakan Nabi). Bahwa
Nabi saw pernah melaksanakan hukuman rajam kapada penduduk Madinah. Menurut
sebagian riwayat dinyatakan bahwa lelaki yang tadi dirajam karena menuruti
pengakuan dan keinginan sendiri yang ingin lepas dari rasa berdosa.
Lewat kacamata maqhasid syariah, hukuman berat atas pezina
diharapkan tidak ada lagi perilaku menyimpang yang menghancurkan sistem tata
etika dan norma masyarakat. Lagi pula, perzinahan dipandang merusak jalur nasab
masyarakat. Hal ini tentu akan merepotkan di kemudian hari.
Akan tetapi, akankah pendelegasian hak menghadirkan kematian pada kasus-kasus
di atas justru menimbulkan problem baru. Tertutupnya pintu maaf, nuansa balas
dendam, dan tertutupnya segala cara untuk memperbaiki kesalahan putusan hakim
(bila ada) dan struktur sosial yang terkoyak. Hal ini mengindikasikan bahwa
pendelegasian ini sifatnya sementara, hanya pada suatu kondisi di mana
masyarakat memungkinkan untuk diberlakukan hukuman mati ini.
[1]
Islam tidak mengenal sistem kenegaraan yang
jelas, baku dan rigid. Muhammad tidak pernah mempraktikkan sistem pemerintah
yang benar-benar baku. Kendati ia menjalankan fungsi pemerintahan dengan
membentuk tentara, mengirimkan duta dan menyampaikan surat kepada penguasa di
Jazirah Arab dan sekitar, terutama pada ’am risalah (tahun perutusan),
tugas itu di mata Ali Abdur Raziq tidak termasuk ke dalam tugas kenabian yang
diemban Muhamad saw. Tugas dan fungsi itu lahir sebagai konsekuensi logis dari
kontrak sosial yang terjadi di antara Muhammad dan warga sekitar Madinah yang
tercantum dalam Piagam Madinah. Lihat Ali bn Abdur Raziq. Al-Islam wa Ushul
al-Hukm, Dirasah fi al-Khilafah. terj. Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan,
Studi tentang Khilafah, Jogjakarta, Alvabet, 2002.
[2]
Dalam Kitab Jinayat (pidana pembunuhan dan
melukai), ada tiga klasifikasi pembunuhan. Pertama, qatl ’amd
(pembunuhan sengaja). Yakni pembunuhan yang dilakukan secara sengaja dengan
menggunakan alat yang bisa mematikan laiknya pedang, pisau, pistol, dlsb.
Pelaku wajib dikisas dengan dibunuh, kecuali ada permaafan dari keluarga
korban.
Kedua, qatl khatha’ (pembunuhan alpa). Laiknya
seseorang yang melempar pisau ke sebuah pohon, tetapi meleset dan mengenai
orang hingga tewas. Dalam kasus ini tidak wajib kisas. Hanya diyat
(ganti rugi) ringan kepada keluarga korban, bisa diangsur selama tiga tahun.
Ketiga, Qatl Syibh Amd (pembunuhan mirip sengaja). Seperti orang yang
melemparkan suatu benda yang tak mematikan kepada seseorang. Di luar perkiraan,
orang yang dilempari itu meninggal dunia. Tidak wajib kisas, hanya membayar diyat
(denda) yang berat. Baca, Imam Taqyudin Abu Bakar, Kifayah al-Akhyaar
fii Hall Ghaayah al Ikhtishaar, Semarang, Maktabah Alawiyah, tt, juz 2 hlm.
155-160.
[3]
Ahmad Hanafi, Asas-asas hokum pidana Islam,
Bulan Bintang, Jakarta, 1967. hlm. 2
[4]
Abdulah Ahmed An-Naim, Toward on Islamic Reformation,
Civil Liberties, terj. Dekonstruksi Syari’ah, Wacana Kebebasan Sipil,
Jogjakarta, LkiS, 2005.
[5]
Mahmoud Muhammad Thaha, ar-Risaalah ats-Tsaniyah min
al-Islam. Terj. Arus Balik Syariah. Jogjakarta, LkiS, 2005.
[6]
Farid Essack, On Being a Moslem, Jogjakarta,
Ircisod, 2003, hlm. 264
[7]
Farid Essack, ibid, hlm. 265
[8]
Farid, ibid, hlm. 265
Comments