Kembalikan Mandat
Asghar Ali Engineer menekankan pentingnya pembacaan menyeluruh atas
teks-teks (nushus) yang berbicara mengenai qishash. Baginya, ayat
ini terbebani berbagai problem. Utamanya berkait situasi kondisi Jahiliyah Arab
yang amat rumit, lekat dengan tribalisme dan balas dendam.[1]
Pada masa itu—dan hingga kini—, demi harga diri, puluhan nyawa
dipertaruhkan. Harga diri hanyalah satu di antara banyak alasan yang mendasari
pembunuhan, di samping berbagai problem lain: ketidakstabilan emosi, kurangnya
kontrol diri, dendam pribadi, dst yang kerap menjadi motif pembunuhan.
Kausa di atas sedemikian ragam. Sehingga, asumsi menurunnya pembunuhan tatkala
hukuman mati diterapkan tidak menemukan pembenaran di sini. Adalah benar, semua
pembunuh takut hukuman mati. Tapi, tampaknya hukuman mati ini justru menjadikan
mereka lebih kreatif dalam menjalankan pembunuhan serapi mungkin hingga tak
bisa terlacak dan bebas dari jeratan hukum.
Bahkan, ketakutan ini menjelma tindakan-tindakan preventif baru yang boleh
jadi melanggar hukum, seperti mengancam saksi, menghadirkan saksi palsu,
menyuap hakim, menyogok jaksa, hingga mengganggu jalannya persidangan dengan menyewa
advokat handal. Semua ini dilakukan demi membebaskan diri dari hukuman mati.
Faktanya, hukuman mati lebih banyak berlaku bagi kalangan masyarkat bawah.
Jarang orang besar yang dihukum mati. Belum lagi penundaan persidangan yang
kian memperkeruh ingatan para saksi dan hakim sendiri.
Sebab itu, pemberlakuan hukuman mati tak banyak memberikan efek positif.
Pendelegasian hak menghadirkan kematian justru tak banyak berimbas kemaslahatan
bagi manusia. Karenanya, Asghar mencoba membuka tirai di balik ayat qishas di
atas. Bila dicermati sungguh-sungguh dan menyeluruh, ayat di atas memiliki
spirit damai.[2]
Dilihat dari segi sosiologis, ayat ini turun di tengah budaya balas dendam
dan tribalisme membabibuta. Pembunuhan atas salah satu anggota klan oleh
anggota klan lain bisa menyulut peperangan antar klan yang tak berujung dan
merenggut banyak korban melayang. Tercatat Suku Aus dan Khazraj berperang
ratusan tahun karena alasan yang tak jelas. Maka, ayat di atas memberikan
“batas” atas dendam yang membabi buta. Si pembunuh harus dibunuh.
Pendelegasian hak menghadirkan kematian di sini harus dibaca dalam kerangka
menanggulangi perang antar suku atau klan yang teramat parah. Di mata Asghar,
al-Qur’an kemudian membuka peluang dan mendorong pemberian maaf dan dengan ganti
rugi dari si pembunuh kepada korban atau keluarganya. Balas dendam dihilangkan.
Kalaupun masih ada unsur pembalasan, di sini ditekankan unsur persamaan. Tangan
dengan tangan, kaki dengan kaki. Budak dengan budak, dst. Tidak membabi buta.[3]
Konsepsi ini dipertegas dengan QS 4:93. “Dan barang siapa membunuh seorang
mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahanam. Kelak ia di dalamnya dan
Allah murka kepadanya, dan mengutuknya dan menyiapkan adzab yang besar.[4]
Al-Quran hanya berbicara hukuman ukhrawi yang secara khusus disiapkan oleh
Tuhan sebagai hak prerogatif-Nya. Tak ada pendelegasian.
Sebaliknya, hukuman duniawi yang ditunjukkan Al-Qur’an pada QS 4:92.
Seorang Mukmin tak boleh membunuh mukmin lain, kecuali tanpa sengaja.
Sanksinya: memerdekakan budak dan membayar denda kepada keluarga korban. Jika
si korban itu musuh, cukup memerdekakan budak. jika pelaku orang yang tak
punya, maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut guna membersihkan diri.
Hukuman di sini fokus pada pengembangan mental dan pembersihan diri si pelaku.
Jelas, hak menghadirkan kematian sudah selayaknya dkembalikan kepada Tuhan.
Karena, hal ini tidak sepaham dengan jiwa zaman (zeitgeits) kita. Tidak
ada jaminan, dengan pemberlakuan hukuman mati, tren pembunuhan menurun. Sama halnya
tak ada jaminan menajamnya tren pembunuhan, kala hukuman mati ditiadakan. Maka,
hal ini harus disesuaikan dengan asas moralitas dalam hukum pidana.[5]
Sama halnya, ketika Khalifah Umar bn Khattab meniadakan had (sanksi)
potong tangan atas beberapa kasus pencurian, meski memenuhi syarat untuk itu.
Baginya, sanksi itu bertentangan dengan jiwa zaman yang kala itu ditimpa
paceklik hebat. Hujan tak turung lebih dari 9 bulan.[6]
Sudah selayaknya,
hukuman diproyeksikan menjadi sanksi edukatif. Benar kata Asghar, penjara harus
menjadi asrama pengajaran dan pembentukan mental para napi agar menjadi
manusia-manusia yang berguna. Berbeda dengan fakta selama ini, penjara menjadi
sarang dan balai diklat penjahat. Keluar penjara kian mahir menjalankan aksi.
Semoga negeri ini kian
aman. Amin. Allahu a’lam.
Tulisan ini pernah dipublikasikan di jurnal Kacamata Fak. Filsafat UGM Yogyakarta, vol. 01/2008.
[1] Asghar Ali Engineer, On
Developing Theology of Peace in Islam, Terj. Liberalisasi
Teologi Islam, Membangun Teologi Damai dalam Islam.
penerj. Rizqon Hamami, Alinea, Jogjakarta, 2004, hlm. 60
[2] Asghar, ibid, hlm.
62
[3] Ibid hlm. 64
[4] Ibid, hlm. 66
[5] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Pusat Penerbitan Unisba, 1995, hlm.
116
[6] Amiur Nurudin, Ijtihad Umar bn Khattab, Studi tentang Perubahan Hukum
dalam Islam, Rajawali Grafindo, Jakarta, 1991, hlm. 147
Comments