Tasawuf dalam Rentang Masa
Tasawuf sebetulnya tidak dikenal pada
masa Nabi,[1] karena memang kata tasawuf atau derivasinya (dalam
pengertian sebagaimana yang lazim kita pahami) tidak ditemukan dalam al Quran
maupun al Hadits.[2]
Namun, bila kita merujuk pada sisi etika yang menjadi ciri khas tasawuf, maka
Muhammad SAW, adalah seorang sufi, bahkan sebelum ia diangkat menjadi Rasul.
Perilaku sederhana yang ditampikan Muhammad SAW kemudian menjadi kekhasan
tersendiri dan ditiru oleh kebanyakan sahabat. Tak jarang, banyak sahabat yang
kemudian terlalu memforsir diri untuk beribadah: shalat sepanjang malam, zikir,
membaca al Quran, berpuasa setiap hari, menjauhi perempuan —meski istri
sendiri—, dan seterusnya.
Sampai-sampai,
Nabi mengkritik perilaku sahabat yang terlalu ekstrem tersebut, di antaranya
adalah Sahabat Abdullah bin Amr bin Ash Radiyallâh ‘Anhumâ. Bahwa tubuh,
mata, dan istri mereka juga punya hak.[3]
Nabi juga menyampaikan bahwa harus ada keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan
jasmani dan rohani, dunia dan akhirat: tidak berat sebelah.[4]
Tetapi, kendati telah mencoba menyeimbangkan, rupanya sahabat-sahabat tersebut
terlanjur keasyikan menikmati perjumpaan mereka dengan al Haq dalam zikir,
puasa, dan serangkaian ibadah lain. Makin banyak sahabat yang menjalani hidup
dalam kesederhanaan. Meski mereka punya kekayaan melimpah, hati mereka tidak
berkait dengan harta. Inilah yang kemudian dinamakan zuhud.
Sepeninggal
Nabi, kian membludak nomina umat Islam yang zahid. Dr. Musthafa Hilmy
menuliskan beberapa tokoh zahid utama masa itu. Di antaranya, keempat
Khulafaur Rasyidin sendiri. Banyak cerita dinisbatkan pada keempat orang ini.[5]
Bahkan, Imam Ali bin Abu Thalib KW dianggap sebagai Bapak Zuhud dalam
Islam.[6]
Saat pemerintahan mereka, Islam berhasil menyatukan semenanjung Arabia dan
mulai melebarkan sayapnya hingga Mesir (masa Umar) Syiria (Abu Bakar dan Umar)
sebagian Irak, Persia (Utsman, Ali). Daerah-daerah taklukan tersebut menyimpan
kekayaan luar biasa. Namun, mereka tidak lupa diri.
Satu
sahabat yang penguasaan tasawufnya melebihi sahabat lain adalah Hudzaifah al
Yamani. Saat para sahabat bertanya kepada Nabi mengenai kebajikan dan pahala
serta keutamaannya, Hudzaifah justru bertanya perihal keburukan yang bisa
merusak ibadah. Baginya, jika seseorang telah mengetahui kejahatan, ia bisa
menghindarkan diri dari kerusakan. Maka tidak mengherankan, Hudzaifah
mendapatkan ilmu yang tidak dimiliki sahabat lain, meski sumbernya sama-sama
dari Nabi.[9]
Meski
demikian, tetap saja ada kaum muslim(?) yang kembali kepada sifat asal
Jahiliyah. Mereka rakus terhadap harta dan berfoya-foya. Hal semacam ini bisa
dijumpai pada penguasa-penguasa lokal (gubernur atau kepala daerah) yang jauh
dari pemerintahan pusat di Madinah. Mereka begitu leluasa lantaran lemahnya
pengawasan, karena jarak dan waktu tempuh yang memisahkan mereka dari
pengawasan pusat. Sebut saja Muawiyah bin Abu Sofyan, gubernur Syiria yang
seolah menjadi raja kecil yang lepas dari pusat di Madinah. Ia beserta
orang-orang di sekitarnya membangun kerajaan megah dan suka foya-foya. Mereka
bahkan lebih parah ketimbang kaisar Romawi atau kisra Persia, seperti
Yazid, putera Muawiyah, pemabuk berat.
Melihat
ketimpangan ini, Abu Dzar al Ghifari, sosok sahabat yang amat zuhud mengkritik
Muawiyah. Ia sempat mengancam Muawiyah dengan melaporkan perilaku nya ke
khalifah di Madinah. Namun, Abu Dzar malah hendak disuap dan tentunya ia
menolak. Saat Abu Dzar melapor ke Madinah, justru fitnah bahwa Abu Dzar hendak
memberontak telah sampai lebih dulu ke Madinah dan karenanya, argumen Abu Dzar
harus patah. Lantas, Abu Dzar mengasingkan diri (uzlah) dan tak pernah
ikut lagi dalam percaturan politik hingga akhir hayat.
Sepeninggal
Khulafaur Rasyidin, terjadi fitnah Kubra kedua. Di sini, umat Islam
mengalami perpecahan. Mulanya, hanya kepentingan politik praktis, perebutaan
kekuasaan di antara para pemuka umat. Namun, belakangan kepentingan politik
telah campur tangan dalam merubah dan memalingkan teks-teks agama menuju
kemunculan sekte-sekte teologis demi kepentingan politis-ekonomis. Mereka tak
segan untuk saling mengkafirkan.
Fitnah
itu benar-benar membuat Islam makin terpuruk. Kondisi kerajaan di Damaskus
makin kacau. Para penguasa sewenang-wenang, kecuali Umar bin Abdul Aziz (Umar
II). Umat sudah muak dengan beragam trik dan intrik politik. Mereka ber-uzlah,
menyepi, dan mengasingkan diri dari hiruk-pikuk dunia. Seperti yang dilakukan
Sayyidina Hasan bin Ali yang istirahat dan tekun beribadah di Madinah.[10]
Tindakan serupa dilakukan para sahabat dan kebanyakan umat Islam. Mereka
berpegangan pada sabda Nabi, saat fitnah tak bisa dikendalikan, sebaiknya
kembali kepada Islam atau uzlah. Beberapa Hadits juga menyatakan, umat
Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, sebagaimana Yahudi yang pecah menjadi
71 dan Nasrani menjadi 72 golongan. Kesemuanya itu sesat kecuali satu, yakni “Mâ
ana alayhi wa ashhâby”, mereka yang berpegangan pada ajaran Nabi dan
sahabatnya.[11]
Nah, ditilik dari sisi ini, dapat dikatakan, —tanpa
bermaksud menggeneralisir dan menyederhanakan— tasawuf adalah pelarian umat
Islam dari hiruk-pikuk kepentingan duniawi yang telah dituhankan, melampaui
Tuhan itu sendiri. Umat sudah muak dengan politik yang berdarah-darah dan
klaim-klaim yang tak berdasar. Dan nyatanya, tasawuf mampu memberikan
ketenangan dan kepuasan setelah dunia tak lagi memberikan kepuasan bagi mereka.
Allahu a’lam. Maka sejak saat itu, bermunculanlah orang-orang yang
mendalami metode-metode pembersihan jiwa-diri. Mereka mengeksplorasi jiwanya
untuk sampai pada Tuhan. Mereka melakukan latihan (riyâdhah) keras,
melembutkan, dan membersihkan hati (qalb) mereka agar bisa sampai pada Tuhan.
Kebetulan,
mereka yang menarik diri dari percaturan politik dan pertentangan antarsekte
teologis ini merupakan mayoritas umat. Mereka acap disebut kaum Murjiah.[12]
Golongan ini didukung mayoritas sahabat besar yang masih tersisa dan sahabat
kecil. Di antaranya, adalah Abu Hurayrah, Abu Bakrah, Abdullah Ibn Umar, dan
sahabat lain yang amat berpengaruh di daerahnya masing-masing. Kaum Murjiah
inilah yang kemudian menjadi proto-sunny, cikal bakal kelompok Sunny.
Dalam memahami teks al Qur’an, kaum ini membolehkan penggunaan dzauq.
Ini artinya, Sunny membuka peluang yang cukup lebar bagi munculnya
ajaran tasawuf dari dalam. Yang tak kalah menarik, kaum Sunny, dalam
memahami ayat-ayat tertentu —utamanya ayat mutasyâbihât— juga berani
menggunakan ta’wil,[13]
meski masih dalam batas-batas tertentu. Penggunaan ta’wil ini tidaklah sebebas
kelompok lain, seperti Mu’tazilah.[14]
Penggunaan
dzauq dan ta’wil inilah yang membelah tasawuf ke dalam dua kutub
besar: tasawuf Sunny[15]
(salafy, akhlaqiy)[16]
dan non-Sunny (falsafy). Lambat laun, perbedaan ini punya efek
domino panjang, dari perbedaan konsep maqam-maqam yang harus dilalui salik,
hingga perbedaan konsep pencapaian puncak tertinggi. Tetapi, perbedaan antara
keduanya belumlah selebar yang terjadi di belakangan hari. Ini lebih disebabkan
keengganan sebagian besar mereka untuk tampil di muka panggung. Mereka lebih
suka uzlah, sehingga kalaupun ada perbedaan, kurang terekspos. Apalagi,
pemerintah Umayyah cukup represif terhadap perbedaan.
Baru
pada masa Abbasiyah, sikap pemerintah terhadap perbedaan dan ilmu pengetahuan
cukup akomodatif. Pemerintah, pada masa Harun ar Rasyid dan dilanjutkan al
Makmun mendirikan Bayt al Hikmah, pusat intelektual. Setiap hari, ratusan
lembar buku diterjemahkan dari bahasa Yunani, Persia, India, dan Latin ke dalam
bahasa Arab selama lebih dari seratus tahun. Setiap hari pula, digelar halaqah
(majelis) untuk belajar dan berdiskusi. Gelombang Helenisme terbuka kembali
untuk kali kedua pada abad ketiga Hijriyah. Pada perkembangannya, penerjemah
tidak sekadar mengalihkan bahasa atas buku yang dibaca, tapi juga memberikan
komentar, kritik, dan bahkan koreksi. Mereka memiliki penguasaan yang lebih
baik ketimbang karya yang ditulis dalam buku yang mereka terjemahkan.
Fakta
lain adalah banyak penganut ajaran mistik non-Islam yang menjadi Muslim. Mereka
tidak bisa serta-merta membebaskan diri dari pengalaman dan pengetahuan yang
diperolehnya selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Sedikit-banyak, pengalaman
ini masih terbawa dalam memahami Islam dalam batas-batas tertentu. Apalagi,
Baghdad —pusat intelektual kala itu— amat dekat dengan tradisi mistis Persia
yang beraroma Zoroaster dan Majusi. Demikian juga dengan para filsuf yang
menjadi mualaf. Tradisi rasioalis-filosofis ini -seperti disinggung di muka—
sampai pada tataran tertentu turut campur tangan dalam perkembangan tasawuf.
Filsafat-mistik amat disukai kaum rasionalis. Namun, kaum Sunny agak
alergi dengan tradisi filsafat karena dianggap lebih banyak keluar jalur dan
berbenturan dengan teks serta mengalami jatuh bangun. Dari detik ini,
‘pertentangan’ antara tasawuf Sunny dan non-Sunny makin terbuka,
dan garis demarkasi kian jelas.
Tasawuf Sunny
dimulai dari kalangan Ahli Bayt (keluarga Nabi) seperti Husein, Hasan bn Ali,
Ja’far Shadiq, dan Ali Zainal Abidin.[17]
Kemudian, kita mengenal tokoh zuhud terkenal asal Basrah, Hasan al Bashry,[18]
Abu Nashr Sarraj at Thusi (W.378 H), Abu Bakar Muhammad al Kalabadzi (w. 380
H), Abu al Ashim al Qusyairi (w. 465 H), dan al Ghazali (w. 450 H, 1059-1111 M).
Sedang
pada tasawuf Falsafy, Gerhard Bowering menyebut nama Sahal al Tustari, sufi
kelahiran Tustar, Persia dan meninggal di Basrah, Irak sebagai peletak dasar
filsuf Falsafi. Ia lama menetap di Syiria dan cukup akrab dengan tradisi
filsafat Yunani-Helenis, juga dengan mistisnya. Saat remaja, Sahl juga
berkenalan karib dengan mistis Persia. Tasawuf Falsafi kemudian dilanjutkan
oleh tokoh-tokoh seperti Abu Yazid al Busthami, al Hallaj, dan Ibn Araby.
Tasawuf
Sunny lebih percaya pada dzauq ketimbang burhân. Karena
posisi akal dalam tradisi Islam cukup dilematis. Di satu sisi, akal dipuji
sebagai pembeda antara manusia dan binatang, sebagai nikmat Tuhan (Q.S. An
Naml 60-61), dan manusia harus menggunakan akal (Q.S. an Nahl 15, an Naba’
6-9). Namun, di sisi lain akal juga dianggap lemah (Q.S. al Baqarah 285, al
Hajj 72). Apalagi, kemampuan akal pada setiap orang pasti berbeda.[19]
Sementara,
kemampuan qalb (dzauq, nurani) pada setiap orang relatif
setara dalam menilai sesuatu, meski kemampuan akal, dan fisik mereka berbeda.
Inilah yang kemudian mendorong kaum Sufi Sunny mendudukkan qalb
pada posisi yang cukup penting dan berpengaruh dalam mencapai Tuhan. Mereka
berpegangan pada Hadits yang menyatakan, dalam tubuh ada segumpal daging yang
memegang peran penting dalam menentukan penilaian sekujur tubuh, baik atau
buruk.[20]
Segumpal daging itu adalah qalb (hati). Penganut tasawuf Sunny
menjadikan burhân hanya sebagai pengukuh atas nash, bukan
sebagai hakim yang menentukan baik-buruk. Tampaknya, pengaruh paham teologi
Asy’ariyah memang bisa dirasakan keberadaannya. Kaum Sufi Sunny mengharuskan
segala perbuatan hati, akal, dan tubuh untuk dilandaskan pada nash, al
Qur’an maupun as Sunnah.[21]
Yang
amat membedakan adalah bahwa Tasawuf Falsafy —sebagaimana filsafat—mendudukkan
akal pada posisi yang cukup terhormat. Demi mencapai Tuhan, akal dipergunakan
secara total. Dan bila menjumpai nash yang sensitif, akal bisa
mengkontrol balik nash tersebut untuk dipalingkan maknanya, bahkan
teramat jauh dari makna asal. Dalam Tasawuf Falsafy, tahap yang dicapai tidak
hanya musyâhadah, sekadar menyaksikan dan bertemu dengan Tuhan.
Melampaui itu, tasawuf Falsafy memberi peluang lebar untuk mubâsyarah,
melekatnya[22]
dua entitas yang berbeda; manusia (saat tertentu: dimensi kemanusiaan) dan
Tuhan (saat tertentu: dimensi ketuhanan. Ini bisa dibuktikan dengan beberapa
pandangan nyentrik para Sufi Falsafy[23] seperti Husein al
Hallaj dengan teori Hulûl-nya. Ia meyakini, dalam diri manusia
terdapat dua dimensi, nâsût (kemanusiaan) dan lâhût (ketuhanan).
Pada saat tertentu, Tuhan mengambil tempat pada tubuh-tubuh tertentu yang dipilihNya.[24]
Mubasyarah (persentuhan atau pelekatan) ini dimungkinkan bila
dimensi nâsût dalam diri manusia telah ditekan dan dikalahkan. Dengan
sendirinya, dimensi lâhût mendapatkan tempat dan menguasai tubuh.
Tetapi, di sini tidak terjadi percampuran dan peleburan antara dimensi nâsût
dan lâhût. Keduanya (masih) bisa dibedakan. Hanya saja, dimensi lâhût
begitu dominan sehingga seolah-olah yang ada tinggal dimensi lâhût
semata.
Paham
ini kemudian dikembangkan oleh Ibn Araby menjadi konsep wahdatus syuhûd
dan wahdatul wujûd. Pada satu sisi, tampak semacam relasi antara paham wahdatsy
syuhud dengan teori emanasi Plotinus dan Gnosis. Pada hakekatnya,
segala sesuatu (makhluk) merupakan refleksi atau pantulan zat Tuhan.
Karena itu, segala sesuatu (being) adalah cerminan Tuhan, dan ketika
segala sesuatu (being) itu dialihkan menjadi ego, maka secara otomatis,
ego adalah cerminan Tuhan. Dengan kata lain, konsep lâhût dalam teori Hulûl
diubah menjadi al Haq atau Jawhar sedang nâsût diganti
menjadi makhluk atau ardh dalam teori Ibn Araby.[25]
Kemudian,
ekspresi-ekspresi yang acap muncul tak kalah nyentrik. Al Hallaj
misalnya, terkenal dengan ungapannya, Ana al Haqq, Akulah Yang Haq
(Tuhan). Bila diketahui masyarakat awam, ekspresi ini jelas memancing
kegelisahan dan kekacauan, yang kadang lebih berbau politis. Celakanya,
pemerintah acap turun tangan membasmi gerakan ini dengan pedang, tiang gantungan,
seperti al Hallaj, atau pengasingan, seperti Sahl at Tustari.
Sebetulnya,
ulama Sufi Sunny meyakini bawha tak ada yang salah dengan pengalaman
adikodrati Sufi Falsafy tersebut. Pengalaman itu memang hak mereka seusai
melakukan serangkaian ritual berat dan berhasil mencapai al Haq. Hanya saja,
mereka menyayangkan sikap kaum Sufi Falsafy yang tidak bisa mengontrol emosi
dan ekspresi yang meledak-ledak hingga diketahui masyarakat awam yang imannya
masih lemah dan tentunya, itu membahayakan aqidah umat.
Berpijak
pada argumen tersebut, Sufi Sunny —meski tampak sekadar tindakan
prefentif dan kurang serius— mengeluarkan fatwa sesat, murtad, dan larangan
peredaran buku karya para Sufi Falsafy. Bahkan ada ulama yang terang-terangan
mengkafirkan Sufi Falsafy seperti al Mawardi, dalam al Hawi Kabir; al
Qadhi Abu Amr al Junayd al-Baghdady, dan baru-baru ini ditegaskan kembali oleh
Sayyid Alawi al Maliki dalam Majmu’ Fatawa wa Rasail-nya.[26]
Lantas, diplokamirkanlah stratifikasi syariat-tarekat-hakekat (ma’rifat).[27]
Bahwa seseorang harus selesai pada persoalan syariat (fiqh?) terlebih dahulu,
baru kemudian boleh beranjak pada strata tarekat. Dan ketika sudah sampai pada
tarekat dan bahkan ma’rifat, seseorang tetap tidak diperkenankan meninggalkan
syariat sebagai pijakan awal, dengan alasan apapun.[28]
Pada
perkembangannya, kian banyak orang yang meski belum menguasai syariat dengan
baik, mereka tetap berkeinginan menjalani dunia tasawuf. Maka, para tokoh sufi Sunny
menyelenggarakan Madrasah Sufi atau yang dikenal akrab sebagai tarekat (tharîqah).[29]
Mulailah seorang guru (Mursyîd, Syaikh) memberikan bimbingan kepada
murid atau sâlik (pejalan) dalam menjalani riyâdhah (latihan)
khusus untuk sampai pada ma’rifat. Guru adalah benar-benar orang yang
terbuka hijab (tabir)-nya, hingga mampu melihat asrâr (rahasia-rahasia)
yang hanya bisa dilihat dengan sirr (perasaan yang teramat halus, jauh
lebih lembut ketimbang dzauq).
Dalam
mengikuti Syaikh, seorang salik, harus sepenuh hati. Al Qusyairiy
mengibaratkan sâlik di hadapan Syaikh bak mayat di tangan orang
yang memandikan, tak pernah menolak dan membantah sedikitpun. Pasrah, bahkan
saat dibolak-balik.[30]
Dan untuk melengkapi madrasah sufi tersebut, para ulama menuliskan beberapa
kitab panduan, seperti al Qusyairi dalam Risalah al Qusyairy, Abu
Ismail Abdulah al Anshari dengan Manâzil as Sâirîn, dan
belakangan Ibn Qayyim al Jawziy, dengan Madarij as Sâlikîn Bayna Iyyâka
Na’budu Wa Iyyâka Nastaîn.[31]
Kitab-kitab
tersebut menjadi senyalemen bahwa perkembangan manhaj tasawuf cukup pesat.
Beberapa produk pemikiran yang ditelorkan adalah mengenai maqam-maqam
(strata-strata, anak tangga)[32]
yang harus dilalui satu-persatu oleh seorang salik. Anak-anak tangga ini
secara umum adalah sama, yakni Taubat, Zuhud, Sabar, Tawakal, dan Ridha.
Dilanjutkan dengan mahabbah, ma’rifat, fana’, baqa’, dan
Mubasyarah.[33]
Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam meletakkan urutannya, meski semua
sepakat bahwa awal segala maqam adalah taubat, sebagaimana disampaikan
al Ghazali.[34]
Tokoh
yang mula-mula membuka Madrasah Tasawuf secara formal adalah Syaikh Abdul Qadir
al Jaylaniy (w. 561 H). Ia membuka tarekat Qadiriyah di Baghdah.[35]
Dan bermunculanlah tarekat bak jamur di musim hujan.[36]
Setiap tarekat yang mu’tabaroh, dalam pandangan Sufi Sunny harus
punya silsilah guru yang muttashil (menyambung) sampai pada Sabahat dan
Muhammad.[37]
[1] Hingga tulisan ini diserahkan ke meja
redaktur, penulis belum menemukan, siapa sebetulnya yang mencetuskan dan
mempopularkan term tasawuf. Allahu a’lam. Barang kali, ini adalah kesepakatan
tak tertulis di kalangan para sufi. Namun, orang yang pertama kali mendapat
laqab (gelar) ash Shufi adalah Abu Hasyim, seorang guru sufi besar di Ramallah,
Palestina, hidup semasa dengan Sufyan ats Tsawry (w. 161H) yang banyak belajar
mengenai wirai kepada Abu Hasyim. Sebelumnya, orang-orang hanya diberi
gelar zahid, dan mutawakil. Lihat Mawlana Abdur Rahman Jami, Nafahât al Uns
min Hadarât al Quds, terj. Pancaran Ilahi Kaum Sufi, penerj. Kamran
Asad, (Jogjakarta: Penerbit Pustaka Sufi, 2003), hlm. 3.
[3] Hadits sahih ini diceritakan al Bukhari
dalam kitab Shoum (puasa).
[4] Hadits shahih ini juga diriwayatkan
oleh Imam Bukhari.
[5] Dr. Musthafa Hilmy, az Zuhâd al
Awâil, Dirâsah fil Hayât ar Rûhiyah al Khâlishah fi al Qarn al Ûla,
(Iskandariyah: Dar ad Dakwah, 1979), hlm. 221.
[6] Kelak kita akan tahu, bahwa hampir
semua tarekat yang ada bila ditilik silsilah guru-murid pasti bertemu pada
sosok Imam Ali KW. Padahal, hampir semua tarekat yang ada menginduk ke Sunny,
bukan Syiah.
[7] Musthofa Hilmy, Az Zuhâd al Awâ’il,
ibid., hlm. 4.
[8] Uways al Qarni adalah tabiin yang
fenomenal. Karena meski sejaman dengan Nabi, ia tak pernah bertemu secara
langsung dengan Nabi. Anehnya, ia mewarisi sejumlah kearifan dari Nabi. Bahkan,
Nabi sempat titip salam kepada siapa saja yang kelak bertemu dengannya. Oleh as
Syathibi, Uways dijuluki oleh Sayyidul Ibad Ba’da Sahabat, Pemuka Pertapa Pasca
Sahabat. Adz Dzahabi menyebutnya sebagai al Qudwah Az Zahid Sayyid At Tabiin Fi
Zamanihi (Pemimpin Ahli Zuhud Pada Masa Tabiin). Tak ketinggalan, Imam Ahmad
menjadikan Uways sebagai parameter zuhud seorang salik. Lihat, Musthafa Hilmi, ibid.,
hlm. 84-85.
[9] Abu Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah
Sufi dan Tasawuf, (Solo: Ramadhani, 1984), hlm. 46-49.
[10] Tercatat, kebanyakan penerus Imam Ali
menjauhkan diri dari dunia politik. Di antaranya adalah Ja’far Shadiq, Hasan
bin Abi Thalib, Ali Zainal Abidin, dan imam-imam 12 dalam tradisi Syiah.
[11] Dalam Mu’jam, hadits senada
ditemukan sebanyak tiga buah. Dua di antaranya diriwayatkan oleh Imam Turmudhi
dalam sunan-nya dan satu diriwayatkan oleh Imam Thabrani. Dalam riwayat
yang terakhir ini dinyatakan bahwa yang selamat adalah Ahlussunah Wal Jamaah.
Perpecahan ini kemudian menjurus ke persoalan akidah umat, ada Syiah, Khawarij,
Murjiah, Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, dan sebagainya. Baca Al Liwa’ Hasan
Shadiq, ibid., bab Pendahuluan.
[12] Sekte ini tidak mau menghakimi seorang
muslim pendosa besar, apakah ia masih muslim ataukan sudah kafir, dan bagaimana
hukumannya di akhirat. Sekte ini menangguhkan (irja’) semua itu kepada
Allah di Akherat kelak.
[13] Ta’wil adalah pengalihan makna
pada suatu kata dari satu makna ke makna yang lain karena ada qarinah (tanda)
yang merujuk ke arah lain. Seperti kata Yad, atau tangan dalam
firman-Nya, yadullâh fawqa aydîhim, Yad Allah di atas yad mereka.
Karena Tuhan bersifat mukhalafatu lil hawaditsi (berbeda dengan makhluk)
maka Ia mustahil punya tangan seperti manusia dan sebangsanya. Maka, kata yad
pada ayat tersebut dialihkan maknanya dari “tangan” menuju “kekuasaan”
karena memang dalam bahasa Arab, yad lazim digunakan untuk menyebut
“kekuasaan”. Lihat Al Liwa’ Hasan Shadiq, ibid., hlm. 179.
[14] Kaum Mu’tazilah banyak bersentuhan
dengan tradisi filsafat. Mereka mempelajari filsafat untuk dapat mempertahankan
aqidah Islam dari serangan-serangan para filsuf yang mempertanyakan
keabsahan aqidah Islam. Akan tetapi, yang terjadi kemudian justru aqidah
Islam lebih bernuansa filsafat-rasional, yang bagi kalangan lain dianggap
sebagai kaum ultrarasionalis. Padahal, sejatinya, Mu’tazilah tidak mengakui
rasio sebagai pembenar otoritatif utama, karena bagi mereka akal adalah
pembenar.
[15] Sebutan tasawuf Sunny memang
cukup dilematis. Karena diidentikkan pada kelompok Sunny, mereka yang
menyebut diri sebagai Ahlussunah wal Jamaah. Padahal tidak demikian,
banyak di antara tokoh tasawuf Sunny justru tokoh yang cukup disegani
dan dijadikan Imam dalam tradisi Syi’ah, seperti Imam Ali KW, Imam Hasan bin
Ali, Imam Husein bin Ali, Imam Ja’far as Shadiq, Ali Zainal Abidin, dan
seterusnya. Lihat Abdul Kadir Mahmud, ibid., hlm. 100.
[16] Abdul Qadir Mahmud membedakan antara
Tasawuf Sunny dan Tasawuf Salafy. Bahwa tasawuf Sunny diisi
oleh kebanyakan kaum Syiah dengan Madrasah Ahlu Bayt-(Keturunan Nabi)-nya dan
tasawuf Salafi merupakan tasawuf yang benar-benar menjaga nash.
Namun hemat penulis, keduanya, meski tidak bisa begitu saja disamakan, memiliki
kecenderungan yang sama untuk menjaga nash dari kerja akal yang terlalu
bebas. Baca, Abdul Qadir, ibid., hlm. 101.
[17] Ardhani, ibid, hlm. 29.
[18] Hasan al Bashri disebut-sebut sebagai zuhd
pertama yang juga mengajarkan orang-orang untuk sampai pada Tuhan. Namun,
ia belum sampai membakukan ajarannya dalam bentuk tarekat seperti para Mursyid
belakangan.
[19] Lihat Ibrahim
Bisyuni, Nasy’atut Tashawwuf al Islamiyah, (Mesir: Dar al Ma’arif, t.
th.), hlm. 58-59 Bagaimanapun tampaknya
akal lebih tepat bila dimaknai sebagai anugerah, bukan kelebihan.
[20] Hadits sahih ini diceritakan Nu’man bin
Basyir dan ditulis Imam Bukhari dalam kitab Iman, Imam Muslim dalam bab as
Saqaah, Ibn Majah dalam bab Fitan, Imam Darimi dalam bab Buyu’, dan
Imam Ahmad. Namun demikian, kualitas hati masing-masing person amat berbeda,
ada yang bersih, ada yang kotor; ada yang kasar, ada yang lembut, dst.
[21] Lihat misalnya dalam M. Ardhani, “Nilai-nilai
Spriritual dalam al Quran dan as Sunnah“, dalam Najib Burhani (ed.), Manusia
Modern Mendamba Allah, Renungan Tasawuf Positif, (Bandung: Hikmah, 2002),
hlm. 25.
[22] Kebanyakan peneliti, yang sebatas
penulis ketahui, menggunakan term ittihâd (penyatuan, atau peleburan?).
Namun, pada tataran tertentu, term ini nyata-nyata tidak bisa merangkul
beberapa konsep sejenis, misalkan Hulûl. Sebab itu, penulis lebih suka
menggunakan term “pelekatan” (Mubâsyarâh).
[23] Di antaranya adalah Ibn ‘Araby, Sahl at
Tustary, Jalaludin ar Rumi, Abu Yazid Thaifur al Busthami, Muhyiddin ibn Araby,
dan al Hallaj. Di Nusantara kita mengenal Nurudin ar Raniri dan Hamzah Fansuri
serta tokoh legendaris Syekh Siti Jenar.
[24] Ardhani, ibid.
[25] Ibid.
[26] Ridwan Qayyum Said, Fiqh Klenik,
Fatwa-fatwa Ulama Menyorot Tarekat dan Mistik, (Lirboyo Kediri: Mitra
Gayatri, 2004), hlm. 10-13.
[27] Penulis kurang sependapat dengan
penyebutan syari’at. Syari’at menurut bahasa merupakan jalan lewat air.
Tegasnya, syari’at merupakan ajaran ideal yang terkandung dalam nash.
Konteks syari’at amat umum. Syari’at sendiri terbagi menjadi dua: fiqh kabir
dan fiqh shaghir, Sedang yang dimaksud dalam konteks di atas adalah
fiqh yang mencakup ritual, yakni fiqh shaghir. Maka, term yang
lebih tepat adalah fiqh-tarekat-hakekat atau ma’rifat. Lihat, Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, ibid., hlm. 11. Bandingkan dengan M.
Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Rajawali Grafindo,
1996), hlm. 2-3.
[28] Doktrin trilogi
ini amat ditekankan. Zaynudin al Malibari mengibaratkan syariat sebagai perahu,
tarekat sebagai samudera, dan hakekat sebagai mutiara yang hendak dicapai.
Lihat Zainudin al Malybary, Hidayatul Azkiya ilâ Thariqati al Awliyâ’,
hlm. 8-13. Al Bujairomi juga menegaskan bahwa hakekat tanpa syareat adalah
sesat. Sedang syareat tanpa dibarengi dengan hakekat adalah sia-sia. Lihat
sumber sekundernya dalam M. Ridwan Qayyum Said, ibid., hlm. 1-2.
Sebetulnya, madrasah tasawuf sudah dimulai pada masa sahabat, seperti Abu
Hasyim as-Sufi yang kali pertama mendirikan rumah bagi para sufi, tapi
ajarannya belum baku-formal. Lihat, Mawlana Abdurrahman Jami, ibid.
[29] Al Liwa, ibid., hlm. 184.
[30] Ibid, hlm. 185.
[31] Jalaludin Rahmat, “Berbagai Jalan
Menuju Tuhan“, dalam Najib Burhani (ed.), Manusia Modern Mendamba Allah,
Renungan Tasawuf Positif, (Bandung: Hikmah, 2002), hlm. 3.
[32] Kebanyakan peneliti menerjemahkan maqam
sebagai station (stasiun). Hal ini tampaknya rancu, karena stasiun
lazimnya bersifat “datar”. Sedang di sini, jelas ada perbedaan tingkat antara
satu maqam dengan maqam lainnya secara gradual. Maka, kata
“anak tangga” atau “strata” kiranya lebih cocok untuk mengganti kata maqam dalam
hal ini.
[33] Lihat Harun Nasution, Islam…, ibid.,
hlm. 76. Penulis mengganti penyebutan Ittihad dalam tulisan Harun dengan
Mubasyarah, karena ittihad identik dengan peleburan. Padahal,
beberapa ajaran Falsafy (masih) mengakui adanya perbedaan antara Tuhan dan
manusia, seperti dalam konsep Hulul atau manunggaling kawula gusti.
Lihat Sujianto, dalam jurnal Justisia edisi ini.
[34] Muhamad Ihsan Jampes, Sirajuth
Thalibin bi Syarhi Minhajil Abidin Ila Jannati Rabbil Alamin, lil Imam
Hujjatul Islam al Ghazali, (Surabaya: Dar Ihya al Kutub Al Arabiyah, t.
th.), hlm. 47-48.
[35] Al Liwa’, ibid., hlm. 185. Mengenai biografi tokoh yang satu
ini, silahkan lihat Manaqib Syeikh Abdul Qadir yang sering dibaca
masyarakat Indonesia pada tanggal 11 setiap bulannya. Baca Mushlih bn Abdur
Rahman, An Nûr al Burhâny fi Tarjamah al Lujayn ad Dâny, (Semarang: Toha
Putera, t. th.), Jilid pertama buku itu membahas hukum membaca Manaqib dan
bagaimana prosesualnya. Sedang jilid keduanya membahas biografi Syeikh Abdul
Qadir, yang acap disapa sulthân al awliyâ’ (pemuka para wali atau
kekasih Tuhan).
[36] Sebuah studi yang cukup komprehensif
mengenai tarekat-tarekat dalam Mistik Islam dilakukan J. Spenser Trimingham,
dalam bukunya, The Sufi Orders in Islam, (London: Oxford University,
1973).
[37] Ardhani, ibid., hlm. 29.
Comments