Skip to main content

Hak Menghadirkan Kematian (2)


Roh dalam Teks
Dalam tradisi Arab, terma mati berasal dari kata kerja dasar  مات, [m]a[a][t]a. Kata ini diasosiasikan dengan konsep "tenang", "reda", "usang", dan "tak berpenghuni".[1] Asosiasi ini kemudian dipertegas dengan konsep lepasnya ruh dari wadag tubuh sebagaimana dipahami publik. Maka, konsep kematian, juga kehidupan tidak terlepas dari ruh. Kehidupan adalah kehadiran ruh, kematian adalah kepergian.

Sementara itu, kata ruh dalam bahasa Arab dianggap berasal dari kata [r]a[w]a[h]a. Kata ini diasosiasikan dengan konsep “datang”, “berangkat”, atau “pergi”. Sementara, kata [r]a[w][h] diasosiasikan dengan angin sepoi-sepoi. Ini perlambang ruh: bisa disadari kehadirannya, tapi tidak bisa ditangkap wujudnya oleh indera. Kata ruh sendiri, dalam bahasa Arab, biasa ditranslit ke dalam bahasa Indonesia menjadi “ruh”, “jiwa’, “sukma”, “intisari”, “hakekat”, “pertolongan”, “hukum Allah dan perintahnya”, dan ‘malaikat”.[2]

Dalam Islam sendiri, perdebatan mengenai siapa yang berhak atas kematian sudah dimulai semenjak masa awal Islam. Hanya saja, saat Muhamad saw masih hidup, persoalan kematian tidak menjadi bahan perdebatan panjang lebar di kalangan sahabat Nabi dan publik Arab. Karena, Muhammad saw menjadi rujukan jawaban atas segala pertanyaan keraguan. Ia hakim atas segala kasus.

Al-Qur’an sendiri urun rembug perihal ruh, ada beberapa ayat yang merekam pengakuan atas eksistensi ruh. Di antaranya adalah QS al-Isra' (17:85). "Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”

Ibn Katsir, mengutip Abdullah bn Mas'ud dalam tafsirnya menuturkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan pertanyaan beberapa orang Yahudi saat bertemu Muhammad SAW di pinggiran kota Madinah. Sebagian di antaranya menanyakan perihal ruh kepada Nabi. Nabi tidak segera menjawab. Ia tertegun sementara.

Dan, turunlah ayat di atas yang seketika itu Nabi membacakannya sebagai jawaban atas pertanyaan menggelitik tersebut. Demi mendengar jawaban ayat tadi, seorang Yahudi di antaranya menasehati kawannya yang tadi bernafsu untuk bertanya. "Apa kubilang, jangan tanya perihal ruh!"

Kendati demikian, Tuhan sendiri rupanya memancing rasa ingin tahu manusia dengan beberapa firman-Nya dalam ayat yang lain berkait soal ruh, laiknya proses peniupan ruh ke dalam janin manusia, atau secara spesifik: janin Nabi Isa AS (Yesus). Tengok misalnya ayat tentang Ruh yang ditiupkan Tuhan (QS 15:29; 66:12; dan 21:91); Ruh yang dibangkitkan setelah hari akhir (78:38).

Menarik kiranya memperhatikan kenyataan bahwa setidaknya tiga kali Tuhan berbicara mengenai ruh yang ditiupkan pada janin manusia. Tiga kali Tuhan menggunakan kata min ruuhii, bagian dari ruh-Ku. Pengulangan sampai tiga kali, —meski dalam konteks yang berbeda—boleh jadi mengindikasikan tuntutan akan titik tekan perhatian manusia atas teks dan fenomena dan terma unik ini.

Dari teks min ruuhii (dari ruhku) tersebut, secara implisit bisa dipahami bahwa ruh adalah bagian tak terpisahkan dari Tuhan itu sendiri. Beberapa mufasir tidak banyak menyinggung dan mempersoalkan terma min ruuhii. Al-Qurthubi[3], Ibn Katsir[4], dan duet Jalaludin as-Suyuthi-Jalaludin al-Mahally[5] membiarkan terma di atas polos tanpa penafsiran lebih lanjut.

Entah karena sengaja tidak mau mempersoalkan lantaran bakal menuai pro-kontra. Atau, boleh jadi mereka memang tidak mau membuka ruang diskusi mengenai ruh ini, karena bila disalahpahami akan fatal akibatnya, terutama bagi kalangan awam. Terlebih, kitab yang mereka tulis memang ditujukan kepada publik Islam awam.

Bisa saja, perdebatan membahas ruh merupakan tema elit. Buktinya, banyak ulama yang mengulang-ulang ungkapan tafakkaruu fi khalqillaah wa laa tafakkaruu fii dzaatillaah. Berfikirlah mengenai ciptaan Tuhan. Jangan berpikir mengenai dzat (diri) Tuhan.[6] Sehingga, perdebatan mengenai dzat ketuhanan amat dihindari, termasuk mengenai ruh.

Padahal, dalam bahasa Arab, konjungsi min (dari) pada klausula min ruuhii (dari ruh-Ku) memiliki fungsi tab’iidh (sebagian dari keseluruhan).[7] Hal ini dipertegas dengan ya’ nisbat yang disandarkan pada diri si komunikator (mutakalim). Maka, terjemahan yang tepat untuk klausula min ruuhii adalah sebagian (kecil) dari ruh-Ku.

Bila dipahami demikian, maka secara implisit, Tuhan menyatakan bahwa ruh adalah sebagian dari diri-Nya. Pendapat ini didukung oleh beberapa filsuf muslim, laiknya al-Farabi dengan filsafat emanasinya. Bagi al-Farabi, dzat Tuhan memancar ke segala arah. Dan ruh manusia adalah bagian dari pancaran dzat Tuhan dalam tingkat yang terakhir.

Dengan demikian, secara otomatis, yang berhak atas ruh adalah Tuhan. Termasuk persoalan kehadiran dan kepergian ruh adalah gak prerogatif Tuhan. Demikian halnya, menghadirkan kematian adalah lagi-lagi hak prerogatif Tuhan. Tak bisa diganggu gugat! Benarkah?

Saat kematian menjadi hak prerogatif Tuhan, siapapun tak berhak menghadirkannya, baik untuk orang lain, maupun diri sendiri, apapun alasannya. Termasuk kasus pasien yang tak kunjung sembuh (eutanasia). Maka, tindakan pembunuhan dan bunuh diri tak bisa dibenarkan dalam sistem etika Islam.

Nabi saw sendiri tidak mau melakukan shalat jenazah atas seorang sahabat korban perang. Konon, sahabat ini sengaja menusukan panah yang tertancap di tubuhnya lantaran ingin syahid, dianggap pahlawan, berjasa, dan tidak sabar akan rasa sakit. Di sisi lain, Al-Qur’an sendiri sempat merekam etika syariat Nabi Musa AS. Ketika umatnya menyekutukan Tuhan dengan anak lembu, mereka bertaubat dengan cara bunuh diri. (QS: 2:53).



[1] Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya, Pustaka Progresif, hlm. 1365
[2] Ibid, hlm. 545. Kata ruh yang merujuk pada pemaknaan malaikat biasanya dilekatkan dengan kata al-amin atau al-kudsi menjadi ruhul amin atau ruhul kudus, yang biasa dikhususkan untuk menyebut Malaikat Jibril.
[3]  Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, e-book, tt, tafsir pada ayat di atas.
[4] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, e-book, tt,
[5]  Jalaludin as-Suyuthi dan Jalaludin al-Mahalli, Tafsir Jalalain, e-book, tt.
[6]  Sampai tulisan ini diturunkan, penulis belum menemukan teks yang sama persis dengan ungkapan di atas pada sembilan kompilasi Hadits para Imam (Imam Bukhari, Muslim, Nasai, Turmudzi, Abu Dawud, Malik, Ahmad bn Hanbal, ad-Darimi, dan Ibnu Majah) dengan program hadith.exe. Boleh jadi, hadits di atas ada, namun dalam redaksi yang berbeda. Tapi boleh jadi pula, “hadits’ di atas hanyalah ungkapan ulama yang terus-terus diulang hingga diterima kebenarannya seolah-olah hadits. Seperti ungkapan Ibrahim bn Adham, seorang sufi, Ad-dun-ya ra’su kulli sayyi’ah. (Cinta) keduniawian adalah pangkal segala kerusakan, yang dianggap sebagai hadits.
[7]  Huruf min (dari), dalam bahasa Arab memiliki tiga makna: (i)tab’iidh  (sebagian dari keselurahan), (ii) tabyiin (penjelasan), dan (iii) ibtida al ghâyah (pangkal dari serangkaian yang berujung)  Lihat Ahmad Mutohar, al Wafiyah fi Alfiyah ibn Malik al-Andalusi. Jilir 2, Semarang, Pustaka Alawiyah, hlm. 311

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Mengapa Pipis Bayi Perempuan Harus Disiram dan Laki Cukup Diperciki?

Fikih Islam mengenal tiga klasifikasi najis berdasar tingkatan berat-ringannya. Yang paling berat adalah najis mughaladzah. Najis ini adalah seluruh bagian tubuh anjing dan babi beserta segala turunannya. Saking beratnya, cara mensucikan najis ini adalah dengan membasuhnya sampai hilang wujud, baru ditambah tujuh basuhan yang salah satunya dicampur dengan debu. Level yang paling ringan adalah najis mukhafafah . Najis ini hanya ada satu, yakni air seni bayi laki-laki yang belum berusia dua tahun dan hanya mengonsumsi ASI, tak pernah mengonsumsi makanan lain sebagai asupan gizi. Najis ini cukup diperciki dan seketika langsung menjadi suci. Di level tengah ada najis mutawasithah . Ini mencakup semua najis yang tidak masuk dalam klasifikasi ringan atau berat. Cara mensucikannya adalah dengan membasuh najis dengan air mengalir sampai bersih. Bagaimana dengan hukum air seni bayi perempuan? Dari penjelasan ringan di atas, hukum pipis bayi perempuan masuk ke dalam klasifikasi...

Mars dan Hymne IAIN Metro

Mars IAIN Metro Jayalah IAIN Metro Tegap menuju masa depan Tak gentar bersaing tunjukkan kearifan Di bumi persada Kembangkan ajaran Islam Tekuni ilmu dan teknologi Peduli harmoni menjadi jati diri Cita-cita mandiri Marilah seluruh civitas akademika Membaca dan berkarya Menjadi generasi intelektual bangsa Berakhlak mulia Majulah IAIN Metro Majulah civitas akademika Membangun generasi bertakwa pada Ilahi Berkhidmat untuk negeri 2x Jayalah jayalah IAIN Metro ***** HYMNE IAIN Metro Di gerbang Sumatera Lampung tercinta IAIN Metro berada Tempat kami berjuang Tempat kami mengabdi Berbakti pada Ilahi Melangkah dengan Iman dan Taqwa Mengabdi pada bangsa dan negara Di bumi pertiwi kami berpijak Bernaung atas RidhoNYA Syukur dan harapan slalu kami panjatkan Untuk kejayaan Islam rahmat alam semesta Ilmu dan iman menjadi landasan Membangun generasi Indonesia Jaya

Surat untuk Teman-temanku, Pejuang Mimpi

Assalamualaikum ... Teman2 semua, mungkin pesan WA ini mengganggu istirahat kalian. Tapi tak apa. Pesan ini menjumpai kalian karena ada hal penting yang perlu direnungkan bersama. Perjuangan kalian selama nyaris 7 tahun sedang dipertaruhkan dalam hari-hari ini. Seperti yang kita sampaikan beberapa waktu lalu, Rektorat memberikan tenggat maksimal bulan Mei, kalian harus sudah munaqasah. Tidak ada toleransi lagi. Oleh karena itu, ketika kalian terbangun membaca pesan ini, salatlah tahajud, minta kepada Allah agar diberi kekuatan menuntaskan apa yang sudah kalian mulai nyaris 7 tahun lalu.  Pagi nanti, mumpung masih Syawal, mintalah maaf kepada orang-orang yang telah banting tulang siang-malam mendukung pendidikan kalian. Mintalah keihlasan mereka.  Mintalah doa mereka. Besok pagi, buka kembali berkas-berkas skripsi kalian. Catat apa yang perlu segera dituntaskan. Segera eksekusi satu per satu.  Temui pembimbing kalian. Mumpung Syawal, sampaikan permintaan maaf karena telah ...

Media Bersuci dalam Fikih (2-habis)

Pada tulisan sebelumnya kita sudah membincang tiga mediabersuci yakni air, debu, dan batu dengan berbagai kriteria dan prosedurpemanfaatannya . Ketiga yang pertama tadi merupakan media yang lazim digunakan oleh hampir seluruh umat Islam. Sementara itu, dua media bersuci yang akan dibahas dalam artikel ini relatif jarang digunakan. Kedua terakhir ini bukanlah sebuah benda, melainkan proses. Ada dua proses yang bisa membuat satu benda najis menjadi suci yakni penyamakan dan perubahan khamr menjadi cuka. Penyamakan Secara prinsip syariat, seluruh bangkai diberi status najis. Bangkai adalah seluruh binatang yang halal dimakan tapi mati tanpa melalui prosedur penyembelihan secara syar’iy. Ketentuan ini mencakup pula binatang yang haram dimakan meskipun disembelih secara syari. Ketentuan ini mengecualikan dua jenis binatang: (i) binatang yang hanya bisa hidup di air dan (ii) binatang darat yang dalam tubuhnya tidak terdapat darah merah yang kasat mata dan mengalir. Maka bangk...

Apresiasi Keberhasilan Mediasi di PA Bantul

Ini tahun ketiga saya berkhidmah sebagai mediator non-hakim di Pengadilan Agama Bantul. Meskipun saya sudah memegang sertifikat mediator dari Asosiasi Pengacara Syariah (APSI) sejak 2021, saya belum pernah praktik di pengadilan. Hehe... Di akhir 2022, saya bertemu dengan Pak Agus, ketua Perkumpulan Ahli Mediator Syariah Indonesia dan diajak untuk praktik di PA Bantul, ya saya langsung mengiyakan.  Jadilah saya praktik di PA Bantul sejak awal 2023, di sela-sela melaksanakan tugas belajar di UIN Sunan Kalijaga. Alhamdulillah saya menikmati prosesnya dan luar biasa memang. Tahun 2024 saya mendaftar lagi sebagai mediator di PA Bantul. Dari 15 pendaftar, diadakan tes tertulis, yang lulus 7 orang. Alhamdulillah saya masuk. Tahun 2025 saya mendaftar lagi. Dari 9 orang yang mendaftar, setelah tes tertulis dan wawancara, dinyatakan lolos 4 orang. Alhamdulillah masuk lagi. Puluhan bahkan mungkin sudah ratusan perkara saya tangani sejak 2023 sampai akhir 2025 ini. Semuanya mengajarkan banyak ...

Media Bersuci dalam Fikih (1)

Bersuci dalam fikih membutuhkan media yang digunakan sebagai alat untuk bersih-bersih. Media di sini adalah alat yang oleh syariat diberi status sebagai alat bersuci. Lagi-lagi kata kuncinya adalah status yang diberikan oleh syariat. Sehingga tidak mesti benda yang digunakan untuk bersuci adalah benda yang benar-benar bersih jika dilihat menggunakan kaca mata non-syariat. Ada lima media yang bisa digunakan untuk bersuci. Lima media tersebut adalah air, debu, batu, proses penyamakan, dan proses arak menjadi cuka. Masing-masing memiliki syarat tertentu yang harus dipenuhi. Kelimanya juga memiliki peruntukan yang khusus dalam bersuci. Air digunakan untuk berwudhu, mandi, dan istinja. Debu untuk tayamum sebagai ganti mandi atau wudhu. Batu untuk beristinja saja. Proses penyamakan untuk menyamak kulit bangkai. Proses menjadi cuka untuk arak. Air untuk Bersuci Air Mutlak. Air adalah media primer yang bisa digunakan untuk nyaris semua proses bersuci, baik bersuci dari hadats...