"Didiklah anakmu dengan bijaksana. Karena mereka
terlahir bukan di jaman kalian." Ini pesan Imam Ali KW kepada para
sahabatnya. Setiap generasi lahir dengan semangat dan jiwa zaman (zetgeist)
yang berbeda. Dalam zaman
yang bergerak, perubahan tak terelakkan. Hanya saja, dalam rentang lokus dan
tempus yang dinamis, ada beberapa dimensi yang harus dijaga konsistensinya. Ada
juga yang harus ditransmisikan idenya.
Dalam agama karena tuntutan zaman tentu ada pergeseran, terutama form ritus. Namun,
jangan sampai pergeseran terjadi pada spirit, jiwa, dan content agama.
Perlu penjagaan atas tradisi dan kode etik yang menjadi identitas agama
tertentu. Sebuah
ide —juga agama— bisa bertahan dan berhasil menancapkan pengaruhnya
melintasi batas teritori, budaya, dan waktu tatkala ia mampu beradaptasi. Hanya
dengan adaptasi, ia mampu bertahan dan berkembang di berbagai belahan bumi
berbeda.
Komunikasi verbal
Dalam proses transmisi dan ekspedisi ide agama,
komunikasi menempati posisi tertinggi. Komunikasi di sini melingkupi segala
perilaku, skill, timbal-balik, dan sarana transfer ide atau konsep dari
komunikator (dalam gramatika Arab: mutakalim) menuju komunikan (mukhatab).
Demikian juga sebaliknya. Karena komunikasi efektif hanya terjadi bila dua arah
(dialog, bukan monolog).
Konsep yang ada pada diri mutakalim diolah
sedemikian rupa untuk disampaikan dalam bentuk simbol yang ditransfer ke mukhatab.
Proses pengolahan ini selain butuh keahlian merangkai media komunikasi: simbol,
bahasa, teks, isyarat, bentuk, dlsb, juga butuh pembacaan matang akan
situasi-kondisi yang melingkupi keduanya: komunikan dan komunikator.
Demikian juga, mukhatab akan mengolah materi yang
ditangkapnya. Pengolahan ini dilakukan dengan panduan struktur bangunan
pengetahuan, kecakapan intelektual, dan pengalaman keilmuan mukhatab. Ia
juga berhak mengajukan pelbagai pertanyaan kepada komunikator awal, hingga ada
kesetimbangan posisi (equilibrium).
Dalam Islam, harus diakui pemilihan bahasa Arab sebagai
bahasa al-Qur'an adalah salah satu kecerdasan komunikator (Tuhan dan Muhammad
saw) kepada komunikan (orang Arab Jahiliyah). Al-Qur'an sendiri mengakui
penggunaan media (bahasa) dengan menyesuaikan segala kondisi sekitar
komunikator: geografis, sosiologis, politis, dan psikologis. Sama halnya:
Taurat dan Injil yang berbahasa Ibrani.
Dengan terpaksa, penulis mengutip anekdot: Sekiranya
al-Qur'an (baca: media dalam wujud simbol teks) itu hadir di Tegal atau Brebes,
pasti ia berbahasa ngapak!, bukan yang lain. Jelas tidak etis, tatkala
kita berbicara dengan siswa SMP dengan bahasa ilmiah-intelek. Dan
kala berhadapan dengan anak-anak, akan lebih mudah menyampaikan etika yang njlimet
dengan dongeng. Tak hanya anak-anak, orang dewasapun bisa menerimanya. Dongeng
adalah media komunikasi universal.
Al-Qur'an sendiri terdiri lebih dari 6.600 ayat. Tak
lebih dari 200-an ayat yang berbicara mengenai hukum (syari'at), baik pidana,
perdata, hukum keluarga, dst. Sedang ribuan ayat al-Qur’an yang lain mengumbar
cerita, baik peristiwa yang terjadi sebelum kejadian alam ini, sebelum kehadiran
manusia, proses penciptaan manusia, Adam AS di surga hingga ia turun ke bumi.
al-Quran juga menyajikan cerita para Nabi: Adam AS, Idris
AS, Nuh AS, Yusuf, dst sampai 25 Nabi/Rasul. Ada juga cerita orang-orang saleh
yang bukan Nabi, laiknya Iskandar Zulkarnain (Alexander The Great), Lukman
Hakim, Imran, Ashabul Kahfi, dan
Maryam bunda Isa AS, dan yang lain. Al-Qur'an tak lupa meliput para malaikat di bumi,
langit, arasy, dst.
Cerita juga dilanjutkan dengan peristiwa yang terjadi
sekitar Muhammad dan kaumnya. Seperti cerita Nabi yang sedang berselimut (al-Muzamil)
saat kali pertama bertemu Jibril, atau Isra Miraj (al-Isra"),
perjalanan Nabi dari Makah ke Yarussalem lalu ke Sidatul Muntaha;.
Al-Qur'an juga mengabarkan peristiwa yang bakal terjadi di hari kemudian. Hal
ini memang sesuai dengan sebutan al-Qur'an sendiri yang dimaknai sebagai al-maqru'
(bahan bacaan).
Meski para penafsir cukup kerepotan dalam memahami dan
membuktikan otentisitas cerita-cerita tersebut dengan pendekatan historis,
tampaknya tidak hilang keindahan cerita itu tatkala kita menikmatinya dengan
perspektif sastra, sebagaimana diperkenalkan Amin al-Khuli dan disempurnakan
oleh Khalafullah dalam al-Fann al-Qashasi fil Qur'an al-Karim.
Menimbang dongeng
Dongeng
memiliki beberapa keunggulan yang tak
dimiliki media lain. Pertama, cerita lebih mudah diterima dan dicerna, bahkan
tanpa mengernyitkan dahi. Ia relatif universal, bisa dinikmati dan diterima
oleh siapa pun,
tanpa mempertimbangkan status komunikan, strata sosial, tingkat intelejensi, dan tingkat usia.
Kedua, dengan cerita, komunikan diajak,—tidak diminta atau disuruh—, menikmati cerita lalu ia dipersilahkan mengambil
sendiri ibrah (amanat/pesan moral) cerita tersebut. Komunikan tidak dipaksa komunikator
untuk menyimpulkan cerita sesuai kehendak komunikator. Sebaliknya, ia bebas menafsirkan dan mengambil pelajaran sesuai
kemampuan dan pengalaman. Sehingga, komunikan merasa “diorangkan”.
Dengan demikian, ada ritus perayaan pluralitas makna dan
wacana. Semua bebas menikmati tanpa ada yang menindas dan ditindas, tanpa ada
yang memaksa dan dipaksa. Posisi yang terbangun antara komunikator dengan
komunikan adalah sejajar.
Berbeda dengan bahasa hukum yang meletakkan komunikator
(baca: subjek hukum) pada sudut subordinat. Hingga tak mengherankan bila orang
acap berusaha mencari jalan pintas guna melampaui batas-batas yang ditetapkan
oleh komunikator hukum (baca: negara dan aparatusnya). Terlebih, empat pilar
aparat penegak hukum (baca: co-komunikator) tak bisa banyak berbuat dalam
belenggu positivisme hukum.
Berbeda dengan cerita atau dongeng, di mana komunikator
diajak membangkitkan kesadaran dirinya yang boleh jadi selama ini tertutup
kabut tebal egoisme dan ketidaktahuan. Dengan demikian, antara komunikator dan
komunikan dapat berlajan searah-sejalur menuju kesadaran hakiki, bukan false
consciousness yang menipu dan meninabobokan.
Ketiga, bila dihadapkan dengan komunikan anak-anak,
dongeng memiliki daya luar biasa. Banyak pakar menyatakan, dongeng bisa menjadi
media penanaman sistem etika, nilai, agama, akidah, dan budi pekerti. Dongeng
mampu memesona, mengasah insting kreatif, dan membuat anak bervisi ke depan. Di
mata Arswendo Atmowiloto, dongeng mampu mendongkrak imajinasi liar anak.
Dongeng mengajari kita tanpa menggurui. Ia orang tua yang
selalu menyayangi, tanpa memarahi. Di memori anak-anak, dongeng memiliki daya
lekat yang cukup kuat dan kokoh. Tak jarang, dongeng tersebut masih diingat
bahkan saat si anak sudah beranjak dewasa. Dan memberikan bekal dalam
mengarungi kehidupan.
Menilik nilai lebih dongeng, amat tepat bila ia dijadikan
media transfer agama (dakwah) dan internalisasi norma-etika. Dalam tradisi
Islam, ada banyak bahan dongeng yang bisa dikembangkan: Kisah 25 Nabi dan
Rasul, misalnya. Cerita ini tersebar di sebagian besar ayat-ayat al-Qur'an dan
hadits-hadits. Meski kadang tercampur
kisah israiliyat yang kebanyakan bersumber dari Bible.
Dari cerita ini, ada banyak nilai yang bisa dipetik:
keimanan dan ketaatan kepada Tuhan yang dicontohkan Adam AS. Keberanian dalam
kejujuran dan keimanan oleh Ibrahim AS yang dibakar. Kesetiakawanan antara Musa
AS dan Harun AS. Kesabaran Ayub AS. Cinta kasih Yusuf AS, sang putera kepada
orang tuanya. Kasih sayang seorang tua Nuh AS kepada Kan'an, puteranya
Dongeng lain adalah keberanian dan kepahlawanan para
Sahabat Nabi dalam menjaga dan mempertahankan kemaslahatan juga kebebasan
beragama yang hendak dirampas Kafir Makkah. Atau, komitmen Muhammad akan
tegaknya hukum, meski harus memenggal tangan Fatimah, puterinya.
Dalam tradisi Sufi (mistik Islam) ada banyak cerita yang
bisa disampaikan. Ketaatan Syaikh Abdul Qadir Jaelani. Cinta Jalaludin Rumi.
Keilhasan Hasan al-Bashri. Kecendekiawanan Abu Nawas, Kecerdikan Nasrudin Hoja. Kasih
Rabiah al-Adawiyah, dlsb. Sedang dalam
tradisi Arab, ada Kisah seribu satu malam, Keberanian Sinbad si pelaut, dlsb.
Di negeri sendiri, ada banyak kisah juga. Laiknya
kecerdikan Si Kancil. Ketaatan dan kebhaktian kepada orang tua: Malin Kundang
dan Sangkuriang. Dalam tradisi Kekristenan, penulis sempat membaca Alkitab
bergambar untuk anak-anak. Buku ini amat inspratif dan menarik, karena dibuat
laiknya komik.
Dongeng juga dapat berfungsi sebagai "kuda
muatan" yang tangguh. Betapa tidak? Dengan dongeng, konsep pengetahuan
yang njlimet bisa disampaikan dan dipahami dengan cerita sederhana.
Contoh menarik adalah Filsuf Ibn Tufail yang mengemas dongeng Hayy Ibn Yaqdzan,
seorang anak pulau yang belajar dari alam untuk mengenal Tuhan.
Ibn Tufayl hendak melakukan dekonstruksi besar-besaran
atas dogma agama. Bahwa tanpa kehadiran teks suci (al-Qur'an, Bible, dll)
manusia bisa mengenal dan sampai kepada Tuhan. Capaian ini amat mengagumkan.
Hal ini dibuktikannya dalam adegan dialog antara ulama yang "menemukan”
Hayy bn Yaqdzan dan mengajaknya ke "daratan".
Namun sayangnya, penggunaan dongeng sebagai media
transformasi nilai kini kian luntur, seiring menjamurnya media audiovisual laiknya
TV, Play Station, game online, dan video. Orang tua mulai jarang
mendongengkan cerita kepada puteranya sebelum tidur. Sementara, kian banyak
media dongeng dan cerita impor yang belum tentu sealur-sejalan dengan sistem
agama dan etika ketimuran.
Ini menjadi tantangan tersediri. Sebab itu, perlu
pemahaman yang lebih dan kejelian dalam menyeleksi media-media tersebut untuk
dipilih, mana yang bisa dijadikan bekal untuk transfornasi agama. Mana yang
justru merusak etika. Ini tugas kita. Allahu A'lam.
versi berbeda pernah dimuat di majalah INSPIRASI tahun
2008, entah edisi berapa.
Comments