Skip to main content

Merias wajah keberagamaan kita

YAKINKAH Anda, bahwa Anda adalah seorang pemeluk agama yang taat? Jika Anda menjawab ya, apakah Anda yakin, agama yang Anda peluk itu adalah satu-satunya yang benar dan bisa mengantarkan Anda kepada kebahagiaan di dunia dan kehidupan mendatang? Jika ya, bagaimana dengan agama lain? Dapatkah agama lain “melakukan” hal yang sama dengan agama yang Anda peluk? Atau, agama lain itu sesat? Jika ya, barang kali kita perlu menggeser sudut pandang atas fenomena keberagamaan kita.

Dalam The Elementary Form of Religuous Live, Emile Durkheim menuliskan, dalam institusi agama, setidaknya ada tiga elemen yang tidak bisa dipisahkan: realitas supra, ritus, dan komunitas.

Realitas supra merupakam tema sentral agama. Realitas ini diandaikan melampaui kemampuan kodrati manusia. Sehingga manusia merasa perlu untuk mendapatkan restunya, terhindar dari murkanya, di kehidupan dunia-akherat. Karenanya, manusia melaksanakan serangkaian ritual. (Harun Nasution, 1999:20).

Sementara, komunitas dalam institusi agama punya peran yang amat penting. Relasi yang terbangun antara komunitas pemeluk baik yang sudah terlembagakan dalam ormas keagamaan, atau baru sebatas kumpul dengan istitusi agama adalah simbiosis mutualisma.

Agama butuh komunitas agar punya kekuasaan untuk memaksa publik supaya tetap konsisten menjaga keberlangsungan nilai-nilai agama. Komunitas menjadi lahan persemaian, internalisasi, sosialisasi, serta perkembangan nilai-nilai agama.

Sebaliknya, komunitas butuh agama (tepatnya: ritus dan realitas supra) untuk memperoleh legitimasi. Selanjutnya, legitimasi ini membawa pada sebuah kondisi di mana kesamaan agama menjadi pengikat yang amat kokoh bagi setiap individu dalam komunitas. Inilah yang disebut Durkheim sebagai integrasi.

Komunitas agama memiliki tingkat integrasi yang jauh lebih tinggi ketimbang-komunitas pada umumnya. Ini tak terlepas dari sifat ajaran agama yang cenderung (dipahami secara) dogmatis-doktriner, lebih-lebih ada truth claim (klaim kebenaran) dan salvation claim (klaim keselamatan). Hanya agamanya yang benar dan bisa menjamin keselamatan dunia-akhirat.

Dua klaim inilah yang membawa pengaruh amat kuat, tidak hanya secara psikis bagi para pemeluknya. Pengaruh ini kemudian begitu terasa secara sosiologis, lantaran akumulasi pengaruh psikis dari setiap individu dalam komunitas. Akibatnya, perilaku keberagamaan individu menjelma perilaku keberagamaan komunitas.

Identitas dalam komunitas tersebut kian menggumpal dan mewujud, terutama tatkala berhadapan dengan komunitas lain. Identitas yang mulanya hanya sebatas pembeda antara “kami” dan “kalian” berkembang menjadi antara “benar” dan “salah”. Maka, merebaklah sebutan kafir, murtad, ingkar, tidak beriman, bahkan atheis.

Komunitas lain kemudian diterima eksistensinya tidak secara terbuka, melainkan secara berhadap-hadapan, vis a vis. Ini karena paradigma awal yang terbangun dalam ruang nalar komunitas adalah: komunitasnya paling benar. Kelompok lain itu salah, dan karenanya harus diluruskan.

Problem identitas ini menjadi bom waktu yang amat berbahaya, tatkala sebagian besar agama bervisi misionaris, terutama agama semit. Dan, pemeluk akan mengorbankan apa saja demi agama yang mereka pahami secara “selesai” dan mapan. Jangankan harta-benda, darah dan nyawa sekalipun bakal diserahkan secara ikhlas demi iming-iming syahid dan surga.

Jerat minoritas-mayoritas
Problem komunitas-identitas pemeluk agama ini jelas menampilkan wajah seram agama. Agama yang sejatinya merupakan petunjuk Tuhan untuk bahagia, bisa disulap menjadi mesin pembunuh yang luar biasa ganas, lebih-lebih saat bersinggungan dengan fakta mayoritas-minoritas. Dengan segala aset, mayoritas punya kuasa untuk melakukan kekerasan terhadap minoritas secara psikis, fisik, struktural, bahkan secara kultural.

Setidaknya, kekerasan yang menggejala adalah kekerasan simbolik. Bagi Bourdieu, kekerasan ini adalah sebentuk kekerasan tak nyata, dengan pemberian stigma negatif kepada komunitas lain, lewat media bahasa propaganda, kecaman, klaim, dlsb. Seperti berbagai spanduk yang dipasang Komponen Muslim Kabupaten Kuningan yang berisi kecaman kepada Jemaat Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan.

Kasus Ahmadiyah Manis Lor merupakan contoh konkret dan aktual, bagaimana komunitas mayoritas melakukan kekerasan, secara fisik dengan menyegel satu masjid dan dua musala; kekerasan psikis dengan mengkampanyekan kesesatan Ahmadiyah; kekerasan struktural dengan terlibatnya pemda, aparat, serta Satpol PP yang seharusnya mengayomi masyarakat; kekerasan kultural, berupa pelarangan kegiatan Ahmadiyah.

Ini adalah contoh real, komunitas mayor melakukan kekerasan kepada komunitas minor dalam satu rumpun agama. Di sini, truth and salvation claim yang ada dalam agama telah direbut oleh komunitas. Kebenaran telah berada di komunitas, bukan agama. Maka tidak heran, antarkomunitas (baca: ormas) seagama sekalipun sering terjadi konflik.

Kasus yang lebih parah dijumpai dalam persinggungan antarkomunitas berbeda agama. Faktanya, selama 1955-1997, diperkirakan terjadi pengrusakan gereja sebanyak 374 buah (Najib Ghani, 2007). Tak terhitung lagi kerugian yang timbul, materi dan nonmateri.

Tali persaudaraan
Pemahaman secara keliru mengenai identitas masih menjadi problem serius. Dalam melihat komunitas lain, yang diungkap adalah sisi keberbedaannya, bukan kesamaannya. Dalam Islam misalnya, yang diungkap adalah salat subuh pakai qunut atau tidak? Membaca al-Fatihah dengan basmalah atau tidak? dst. Kita jarang menjumpai kondisi di mana yang disampaikan adalah sisi kesamaan dan kesatuan: tuhan, nabi, dan kitab sucinya satu.

Selayaknya, identitas dipahami sebagai fitrah dan rahmat kehidupan. Emha Ainun Najib menggoreskan, orang lain itu berbeda bukan karena “ingin” berbeda. Ia berbeda karena memang Tuhan menggariskannya demikian. Kerbau tidak akan bisa mengambingkan dirinya, atau mengerbaukan kambing. Sama halnya, kambing tidak bisa mengerbaukan dirinya atau memaksa kerbau menjadi kambing.

Agama bagaikan istri. Istri saya barang kali tidak secantik istri tetangga. Istri tetangga boleh jadi tidak seseksi istri kita. Kita tidak perlu sibuk bertanya, mengapa istri tetangga lebih cantik. Sama halnya, tetangga tidak perlu mempermasalahkan, mengapa istrinya tidak seseksi istri kita. Biarlah tetangga sibuk dengan istrinya, agamanya. Dan, biarlah saya sibuk dengan istri saya, agama saya. Demikian tulis Cak Nun.

Semua itu, dilakukan dengan dasar persaudaraan, bahwa kita satu bangsa. Kita punya tujuan bersama yang tidak boleh ditaruh di bawah kepentingan kelompok. Masih banyak problem yang harus kita selesaikan, dan semua itu tidak bakal selesai, tanpa persatuan.

Kalau memang tujuan kita beragama adalah kebahagiaan dunia-akhirat, mengapa kita justru melakukan kekerasan kepada komunitas lain? Justru menciptakan ketidakbahagiaan di dunia ini. Allahu a’lam. hf

M Nasrudin
Mahasiswa FS IAIN Walisongo, Pemimpin Umum LPM Justisia
Source: Koran Sore Wawasan edisi Sabtu, 29 Desember 2007

Comments

Anonymous said…
YAKINKAH Anda, bahwa Anda adalah seorang pemeluk agama yang taat? Jika Anda menjawab ya, apakah Anda yakin, agama yang Anda peluk itu adalah satu-satunya yang benar dan bisa mengantarkan Anda kepada kebahagiaan di dunia dan kehidupan mendatang? Jika ya, bagaimana dengan agama lain? Dapatkah agama lain “melakukan” hal yang sama dengan agama yang Anda peluk? Atau, agama lain itu sesat? Jika ya, barang kali kita perlu menggeser sudut pandang atas fenomena keberagamaan kita.

Untukmu agamamu dan untukku agamaku

Untuk kasus Ahmadiyah.
Publik menilai Islam (mayoritas) melakukan kekerasan kepada Ahmadiyah (minoritas). Ahmadiyah menjadi korban dan mendapat simpati luas.

Tapi tahukah? umat Islam berperilaku begitu krn disakiti oleh Ahmadiyah sendiri. Ahmadiyah telah menodai agama umat muslim dgn menolak Nabi Muhammad dan Quran, sementara Ahmadiyah mengaku juga Islam. Jadi sebenarnya korbannya adalah umat Islam dan Ahmadiyah sbg pelaku.
Anonymous said…
Ah yang bener Mbak Yana. Dalam kasus Ahmadiyah saya kira malah sebaliknya. Saya kira kasus yang terjadi pada Ahmadiyah tidak lagi berkutat pada isu teologis semata, tapi merambah pada wilayah sosiologis.
Secara teologis bisa jadi Ahmadiyah sudah menodai "Islam". Tapi Islam yang mana dulu. Karena Islam di sini masih debateable. Karena Ahmadiyah lahirnya di India jadi harus dilihat dulu asbabun Nuzul dari Ahmadiyah itu sendiri.
Kalau Mbak Yana jeli saya yakin tidak akan mudah mengambil kesimpulan yang terlalu dangkal samapai-sampai menganggap Islam sebagai korban. Yang ngomong seperti siapa? Jangan-jangan ini adalah kesimpulan yang diambil terlebih dahulu sebelum Mbak Yana membaca Ahmadiayah.
Wassalam
Anonymous said…
Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my blog, it is about the Toner, I hope you enjoy. The address is http://toner-brasil.blogspot.com. A hug.

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Ringkasan Hasil-hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang

بسم الله الرحمن الرحيم A. KOMISI BAHTSUL MASA`IL DINIYAH WAQI’IYYAH 1. Hukum mengingkari janji bagi pemimpin pemerintahan. Pertanyaan: 1) Bagaimana status hukum janji yang disampaikan oleh pemimpin pada saat pencalonan untuk menjadi pejabat publik, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif? 2) Bagaimana hukum mengingkari janji-janji tersebut? 3) Bagaimana hukum tidak menaati pemimpin yang tidak menepati janji? Jawaban: 1) Status janji yang disampaikan oleh calon pemimpin pemerintahan/pejabat publik, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dalam istilah Fiqh, ada yang masuk dalam kategori al-wa’du (memberikan harapan baik) dan ada yang masuk dalam kategori al-‘ahdu (memberi komitmen). Adapun hukumnya diperinci sebagai berikut: Apabila janji itu berkaitan dengan tugas jabatannya sebagai pemimpin rakyat, baik yang berkaitan dengan program maupun pengalokasian dana pemerintah, sedang ia menduga kuat bakal mampu merealisasikannya maka hukumnya mubah (boleh). Sebaliknya,...

Mengulik Rahasia Ramadhan: Tiga Derajat Kualitas Puasa

Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin membongkar beberapa rahasia puasa di Bulan Ramadhan. Salah satunya adalah tentang derajat kualitas puasa. Al-Ghazali menjelaskan bahwa kualitas puasa kita bisa diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan. Pertama, puasa umum. Yakni, menjaga perut dan kemaluan dari pemenuhan atas syahwatnya. Menjaga perut artinya tidak makan dan minum. Menjaga kemaluan tentu saja dari aktivitas seksual. Hal ini dilakukan dari terbitnya fajar sampai terbenam matahari. Puasa jenis pertama ini adalah kualitas umum atau standar minimum. Ketika seorang muslim mampu menunaikan puasa dengan baik dan menjaga dari segala hal yang membatalkan puasa, maka ia sudah memenuhi puasa grade standar ini. Kedua, puasa khusus. Kualitas puasa jenis ini lebih istimewa. Puasa jenis ini dilakukan dengan menjaga pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan segala anggota badan dari dosa dan maksiat. Kita tahu bahwa seluruh anggota tubuh tersebut seringkali melakukan ...

Mufassir dan Ahli Fikih

Satu hal yang penting dicatat. Mufassir dan ahli fikih (fukaha) berbeda peran dalam tradisi keislaman. Mufassir berupaya mengurai lapis-lapis makna Kalam Tuhan. Sementara itu, ahli fikih berupaya menerapkan lapis-lapis makna Kalam Tuhan dalam rumusan-rumusan praktis yang bisa langsung diaplikasikan oleh umat. Dengan kata lain, tafsir adalah ilmu pengetahuan yang cenderung bersifat kognitif. Sementara fikih adalah ilmu pengetahuan yang cenderung bersifat psikomotorik-analitik. Dalam menghadapi problem kehidupan, tafsir berperan membukakan peta kehendak Tuhan beserta tujuan akhirnya. Fikihlah yang kemudian mengetok palu, memutuskan rute mana yang harus ditempuh untuk menuju tujuan akhir dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan kontekstual. Objek kajian tafsir adalah teks klasik-historis, maka mufassir harus menguasai ilmu-ilmu kebahasaan dan sejarah keislaman klasik beserta ragam periwayatannya. Sedangkan objek kajian fikih adalah perilaku mukallaf (muslim dewasa) dalam spektrum syaria...

Media Bersuci dalam Fikih (1)

Bersuci dalam fikih membutuhkan media yang digunakan sebagai alat untuk bersih-bersih. Media di sini adalah alat yang oleh syariat diberi status sebagai alat bersuci. Lagi-lagi kata kuncinya adalah status yang diberikan oleh syariat. Sehingga tidak mesti benda yang digunakan untuk bersuci adalah benda yang benar-benar bersih jika dilihat menggunakan kaca mata non-syariat. Ada lima media yang bisa digunakan untuk bersuci. Lima media tersebut adalah air, debu, batu, proses penyamakan, dan proses arak menjadi cuka. Masing-masing memiliki syarat tertentu yang harus dipenuhi. Kelimanya juga memiliki peruntukan yang khusus dalam bersuci. Air digunakan untuk berwudhu, mandi, dan istinja. Debu untuk tayamum sebagai ganti mandi atau wudhu. Batu untuk beristinja saja. Proses penyamakan untuk menyamak kulit bangkai. Proses menjadi cuka untuk arak. Air untuk Bersuci Air Mutlak. Air adalah media primer yang bisa digunakan untuk nyaris semua proses bersuci, baik bersuci dari hadats...

Aswaja: Dari Mazhab Menuju Manhaj

Aswaja: Sebuah Penelusuran Historis Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang bermuculan dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya aswajalah yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte. Hingga dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keislaman. Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi wafat. Kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali KW, pengganti Utsman untuk bertanggung jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal. Muawiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr b...

IBA 05 Dialog di Kantor dengan Bahasa Arab

via IFTTT