Skip to main content

perda fiqhy vs kebebasan beragama


Beberapa tahun belakangan, kita diramaikan dengan beberapa daerah yang berlomba-lomba menerapkan peraturan berbasis agama, entah itu Islam, atau agama yang lain. Mereka begitu bersemangat memasukkan ajaran agama lewat legislasi peraturan di daerah.

Gerakan memasukkan ajaran agama ke negara sebetulnya bukan permasalahan baru. Sehari pasca-kemerdekaan, founding father kita disibukkan keinginan dua kubu yang bertentangan. Kaum nasionalis mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Sedang kubu Islam, mengajukan Islam sebagai dasar negara.

Berdasarkan info yang diterima M. Hatta dari intelejen Jepang di Manado, Indonesia Rimur menolak Islam sebagai asas negara. Bahkan, mereka mengancam akan memisahkan diri dari Indonesia. Kubu Islam menghadapi dua opsi yang tidak mengenakkan, menerima Pancasila sebagai dasar negara atau Indonesia yang baru merdeka, terpecah-belah. Akhirnya, dipilih opsi pertama—menetapkan Pancasila sebagai dasar negara.

Tapi, semangat menjadikan Islam sebagai dasar negara tidak pernah menemukan titik jenuh. Keinginan itu muncul kembali dalam tubuh Konstituante hingga hampir sepuluh tahun, tugas Konstituante untuk merumuskan konstitusi tidak berhasil, karena masing-masing berpegang teguh pada pendirian masing-masing. Akhirnya, Konstituante dibubarkan lewat dekrit Presiden.

Pada Orde Baru, kebebasan bersuara benar-benar dibungkam. Bahkan agama justru dijadikan alat legitimator negara, seperti yang dilakukan negara atas ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang jajaran kepengurusannya sebagian besar pejabat negara.

Semenjak reformasi, kebebasan bersuara dan berpendapat benar-benar mendapatkan angin segar. Siapapun berhak menyampaikan aspirasi, termasuk mereka yang ingin menerapkan Syariat Islam dalam kehidupan bernegara-bangsa (nation state). Merebaklah kelompok-kelompok yang meski berbeda bendera, mereka membawa misi sama: tegaknya Syariat Islam di bumi Nusantara.

Gerakan yang dilakukan rupanya cukup massif. Mereka melakukan gerakan lewat tiga jalur: struktur, kultur, dan politik. Secara kultural, mereka mengadakan pengajian-pengajian (halqah) untuk menggaet massa sebanyak-banyaknya. Mereka mencuci otak orang-orang untuk berpikiran seragam, berpakaian seragam, dan segalanya serba seragam: Islam!

Mereka juga menyebarkan paham mereka ke dalam otak-otak orang yang berada dalam struktur pemerintahan, pendidikan, dan stuktur ekonomi. Lewat berbagai institusi pendidikan, mereka menanamkan paham tersebut kepada anak-anak didik. Mereka juga melakukan praktek ekonomi yang dilabeli Syariah dan istilah-istilah Arab. Dan, cukup laris memang.

Secara politik, mereka turun ke jalan, berdemo menentang dominasi Amerika Serikat dan Yahudi atas dunia Islam. Mereka juga berafiliasi dengan partai politik untuk masuk ke dalam sistem pemerintahan sebagai legislator. Saat amandemen UUD ‘45, mereka mengusulkan masuknnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta ke dalam pembukaan dan pasal 29 UUD ‘45.

Namun, usaha mereka gagal, bahkan hingga kesempatan amandemen keempat. Akhirnya, gerakan mereka dialihkan ke daerah. Mereka mulai mengusulkan perda-perda bernuansa Islam. Bermunculanlah perda membaca al-Qur’an bagi calon pengantin, perda larangan mandi bersama, perda miras, perda larangan keluar malam bagi perempuan, dst.

Keberhasilan menerapkan perda berbasis agama (Islam) di berbagai daerah juga menyulut usaha yang sama bagi kelompok agama lain di daerah lain yang kebetulan menjadi mayoritas, seperti rancangan perda Kota Injil di Wamena.

Kritik Perda Fiqhy

Bila kita tilik lebih mendalam, ada beberapa persoalan mendasar dalam penerapan perda berbasis agama tersebut, khususnya Islam. Pertama, penyebutan Perda Syariat atau pemberlakuan Syariat Islam.

Dalam sebuah penelitian tentang penerapan Syariat Islam di Aceh, Marzuki Wahid, peneliti pada Fahmina Institute mengkritisi istilah Penerapan Syariat Islam. Baginya, istilah ini menjebak pembaca. Seolah-olah, mereka yang menolak kemudian dianggap anti-Syariat Islam, hingga disamakan dengan anti-Islam.

Kemudian, istilah Perda Syariat sendiri punya problem. Karena yang dipositifkan, bukanlah Syariat Islam. Secara etimologis, syariat dimaknai sebagai jalan air. Sementara, fiqh adalah pemahaman (al-fahmu) atas hukum syariat dengan cara istinbath. Kemudian, hasil pemahaman-pemahaman ini dikodifikasi dalam kitab-kitab fiqh. Inilah yang dipositifkan. Jadi, istilah yang cocok adalah Perda Fiqhy atau Perda Islami, bukan Perda Syariat.

Kedua, fiqh memiliki beberapa ciri khas: fleksibel, relatif, plural, dialogis, egaliter, tentatif, kasuistik, dan mengikat-moral. Dengan ciri-ciri ini, fiqh punya banyak kelebihan untuk tampil humanis dan aplikatif (sholih li kulli zaman wa makan).

Tetapi, setelah fiqh dibakukan (dibekukan) dalam perda positifis, fiqh kehilangan semua ciri khasnya. Terjadi reduksi besar-besaran atas fiqh. Fiqh kemudian menjelma entitas tunggal yang mengikat-formal, positifis, dan punya sanksi tegas. Jelas, Islam kemudian dalam wajah bengis dan kaku.

Sampai di sini, kita bisa menyatakan bahwa jargon Islam sholih likulli zamaan wa makaan tidak mewujud. Apalagi, bila kita menggunakan paradigma common law system,waqâ’i’) di sekelilingnya telah berjalan sedemikian jauh. Dan Islam yang terpenjara dalam perda tersebut akan ditinggalkan, bahkan oleh para penganutnya sendiri. bahwa sesaat setelah suatu produk hukum diundangkan, seketika itu ia kadaluarsa. Mengapa? Karena realita (

Kemudian, saat Fiqh tersebut dipositifkan oleh institusi yang bernama negara, maka ia berlaku dan mengikat siapa saja yang menjadi warga negara, tidak terbatas muslim semata. Akibatnya, terjadilah pemaksaan untuk tunduk bahkan pemaksaan ajaran agama tertentu.

Jelas sudah, kebebasan agama yang diatur pasal 29 UUD ’45 tidak berlaku di sini, tepatnya dilanggar. Padahal, sebelumnya, telah terjadi reduksi besar-besaran atas pasal ini dengan adanya kebebasan semu beragama, kebebasan terbatas. Kita bebas beragama, tapi harus memilih satu dari lima (sekarang enam ?) agama “resmi”. Tidak diperkenankan memiliki agama lain selain itu, atau tidak beragama sama sekali.

Bahkan, negara masih (saja) mencantumkan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dan ini harus diisi dengan salah satu dari agama resmi tersebut, dan tidak boleh kosong. Padahal, ada beberapa masyarakat yang menganut ajaran kebatinan dan kepercayaan, seperti komunitas Samin yang ada di Blora dan Pati.

Bila demikian, kemerdekaan yang sesungguhnya belum kita dapatkan. Karena, persoalan agama masih dipersoalkan oleh negara. Sampai kapankah kita harus seperti ini? Bukankan fitrah dasar manusia adalah bebas? Hingga al-Qur’an membebaskan, faman syâ’a fal yukmin, wa man syâ’a fal yakfur. Bila mau, silahkan beriman. Bila mau pula, silahkan ingkar!

Comments

Saskia Ubaidi said…
Sebuah catatan pemikiran yang menarik karena anda bisa memilah permasalahan keimanan anda dengan persoalan sosial yang bisa timbul akibat keimanan yang fundamentalis.
Saskia Ubaidi said…
Sebuah catatan pemikiran yang menarik karena anda bisa memilah permasalahan keimanan anda dengan persoalan sosial yang bisa timbul akibat keimanan yang fundamentalis.

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Media Bersuci dalam Fikih (1)

Bersuci dalam fikih membutuhkan media yang digunakan sebagai alat untuk bersih-bersih. Media di sini adalah alat yang oleh syariat diberi status sebagai alat bersuci. Lagi-lagi kata kuncinya adalah status yang diberikan oleh syariat. Sehingga tidak mesti benda yang digunakan untuk bersuci adalah benda yang benar-benar bersih jika dilihat menggunakan kaca mata non-syariat. Ada lima media yang bisa digunakan untuk bersuci. Lima media tersebut adalah air, debu, batu, proses penyamakan, dan proses arak menjadi cuka. Masing-masing memiliki syarat tertentu yang harus dipenuhi. Kelimanya juga memiliki peruntukan yang khusus dalam bersuci. Air digunakan untuk berwudhu, mandi, dan istinja. Debu untuk tayamum sebagai ganti mandi atau wudhu. Batu untuk beristinja saja. Proses penyamakan untuk menyamak kulit bangkai. Proses menjadi cuka untuk arak. Air untuk Bersuci Air Mutlak. Air adalah media primer yang bisa digunakan untuk nyaris semua proses bersuci, baik bersuci dari hadats...

Betapa Manusiawinya Nabi

Oleh: Muhamad Nasrudin Dalam ajaran ilmu tauhid, nabi dan rasul adalah insan pilihan dengan berbagai keistimewaan. Nabi dan Rasul memiliki sembilan buah sifat. Empat sifat wajib. Empat sifat mustahil. Serta satu sifat jaiz.  Sifat wajib adalah sifat yang menurut takaran rasio, Nabi/Rasul pasti memilikinya. Empat sifat wajib bagi Nabi/Rasul adalah sidiq (jujur), amanah (terpercaya), fathanah (cerdas), dan tabligh (menyampaikan).  Sedangkan sifat mustahil adalah sifat yang menurut takaran rasio, mustahil Nabi memilikinya. Ini adalah lawan dari sifat wajib. Empat sifat mustahil adalah kadzib (berbohong), berkhianat, baladah (bodoh), dan kitman (menyembunyikan syariat). Selain delapan sifat di atas, semua Nabi/Rasul memiliki satu sifat lagi, yakni sifat jaiz. Sifat jaiz adalah sifat yang menurut takaran rasio, Nabi/Rasul bisa saja memilikinya, bisa saja tidak memilikinya.  Nah, satu sifat jaiz bagi Nabi adalahاعراض البشرية atau sifat manusiawi. Hal ini tak lain ad...

Prinsip Dasar Wasiat dalam Waris Islam

Wasiat dan waris adalah dua hal yang bertalian. Keduanya sama-sama melibatkan orang yang meninggal dunia dan harta peninggalannya. Wasiat sebetulnya identik dengan hibah atau hadiah, tetapi ada perbedaan mendasar. Hibah dan hadiah adalah pemberian yang ditunaikan saat itu juga.  Sementara itu, wasiat adalah pemberian sesuatu kepada seseorang atau lembaga yang eksekusinya dilakukan setelah si pewasiat meninggal dunia. Dan ketika wasiat ini terkait dengan harta si mayit, maka ia bertalian dengan hukum waris. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini. Pertama, bahwa wasiat adalah hak si mayit atas harta yang ia miliki. Artinya, wasiat ini tidak bisa diabaikan atau dibatalkan oleh siapa pun, sepanjang tidak ada alasan syar'i.  Jika misalnya, harta yang diwasiatkan ternyata tidak pernah dan tidak akan ada, atau tujuan wasiat untuk hal yang bertentangan dengan syariat, maka wasiat ini bisa dibatalkan. Kedua, bahwa bagian atau nisbah waris ...

Mbah Syam dan Santrinya

Suatu hari di tahun 1970-an, seorang santri sedang bersih-bersih halaman pondok. Tiba-tiba Mbah Syam membuka jendela dan memanggilnya.  "Kang Yasir..." "Njih dalem..." Ia segera menuju jendela itu. Mbah Syam mengulurkan tangannya. "Iki ono titipan soko ibumu." Kang Yasir kaget. Kapan Ibu datang ke pondok? Mengapa ia tidak tahu? "Nganu... Aku wingi bar ko omahmu.", kata Mbah Syam. Kang Yasir tambah kaget. "Wingi aku bar ngeterke Baedlowi ke Surabaya. Mulihe mampir Ngawi, neng omahmu.", tambah Mbah Syam. "Oh... Pripun kabare Ibu?" "Alhamdulillah sehat kabeh. Kangmu yo sehat." "Alhamdulillah... Matur nuwun." "Yo... Podo-podo." *** Sehari sebelumnya di Ngawi. Mbah Syam menelusuri desa, mencari rumah Kang Yasir. Ia mengucapkan salam, tak ada jawaban. Ia menunggu sejenak.  Kemudian seorang Ibu agak sepuh keluar rumah dan menyapanya. "Sinten nggih?..." "Aku koncone Yasir. Omahku cedak nggo...

Perbedaan antara Prodi Ekonomi Syariah dan Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HESy) Muamalah

Muhamad Nasrudin, MH Banyak mahasiswa yang kesulitan dalam merumuskan permasalahan bidang hukum ekonomi syariah, terutama saat hendak mengajukan proposal skripsi ke Jurusan.  Salah satu kesulitan yang dihadapi mahasiswa adalah pemilahan antara hukum ekonomi syariah dengan ekonomi syariah. Banyak draf proposal yang diajukan justru berada pada bidang keilmuan ekonomi syariah, alih-alih hukum ekonomi syariah. Memang kedua bidang keilmuan tersebut berimpitan. Bahkan, objek yang dikaji oleh kedua bidang keilmuan tadi adalah objek yang sama, yakni konsepsi dan praktik ekonomi syariah. Kita bisa menyebutkan, misalnya: jual beli, kerja sama, sewa-menyewa, hutang-piutang, saham, obligasi, perbankan, pasar modal, asuransi, dan sebagaimana. Nah, lalu apa beda di antara ekonomi syariah dan hukum ekonomi syariah? Kuy kita bahas. Pertama, rumpun keilmuan . Ekonomi syariah berasal dari rumpun keilmuan ekonomi. Oleh sebab itu, instrumen analisis dalam riset-riset ekonomi syariah adalah instrumen e...

Ringkasan Hasil-hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang

بسم الله الرحمن الرحيم A. KOMISI BAHTSUL MASA`IL DINIYAH WAQI’IYYAH 1. Hukum mengingkari janji bagi pemimpin pemerintahan. Pertanyaan: 1) Bagaimana status hukum janji yang disampaikan oleh pemimpin pada saat pencalonan untuk menjadi pejabat publik, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif? 2) Bagaimana hukum mengingkari janji-janji tersebut? 3) Bagaimana hukum tidak menaati pemimpin yang tidak menepati janji? Jawaban: 1) Status janji yang disampaikan oleh calon pemimpin pemerintahan/pejabat publik, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dalam istilah Fiqh, ada yang masuk dalam kategori al-wa’du (memberikan harapan baik) dan ada yang masuk dalam kategori al-‘ahdu (memberi komitmen). Adapun hukumnya diperinci sebagai berikut: Apabila janji itu berkaitan dengan tugas jabatannya sebagai pemimpin rakyat, baik yang berkaitan dengan program maupun pengalokasian dana pemerintah, sedang ia menduga kuat bakal mampu merealisasikannya maka hukumnya mubah (boleh). Sebaliknya,...