Skip to main content

Keberislaman: Pengakuan atau Peyakinan?

Agama (religion, dien) dapat dikatakan sebagai fenomena terbesar dalam sejarah umat manusia. Agama, —baik yang berbentuk kepercayaan maupun yang berbentuk sistem—, punya catatan sejarah, sejalan dengan sejarah keberadaan dan perkembangan manusia.
Meski banyak kalangan memandang sebelah mata rasionalitas agama, agama tetap punya tempat dalam kehidupan manusia. Makin banyak kalangan mempertanyakan peran agama, makin dalam agama memancapkan pengaruhnya di dunia modern.
Donald B. Calne, profesor neurologi University of British Columbia perlu menyediakan dua bab untuk membahas agama dalam Within Reason; Rationity and Human Behavior. Menurutnya, dalam alam Barat modern sekalipun, sterilisasi agama tak mungkin dilakukan. Terlebih, karena belum ada entitas lain yang sepadan untuk menggantikan peran dan fungsi agama, tambah M.W. Montagu.
Dalam Islam, kita mengenal fitrah ketuhanan. Sebelum lahir, seorang bayi meneken perjanjian prenatalis dengan Tuhan. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukakah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: "Betul”. (QS al-A’raf 172).

Keberislaman Seorang Muslim
Sebagai sebuah fenomena, keberislaman seseorang bisa dimaknai sebagai pengakuan, di mana Islam diandaikan sebagai hasil akhir dari serentetan proses panjang seorang calon pemeluk Islam. Dan “Islam” yang dipeluk kemudian dipandang sebagai sebuah “hasil”, meski bukan kesimpulan absolut.
Di sisi lain, banyak kalangan yang memandang keberislaman sebagai sebuah peyakinan. Islam diterima begitu saja dengan keyakinan penuh si pemeluk. Islam dianggap entitas yang pasti benar. Pemeluk tinggal menerimanya sebagai hasil jadi, paripurna. Adapun proses yang dijalani tak lain merupakan proses mempertebal keyakinan.
Perbedaan di atas bila diruntut bakal menimbulkan efek domino. Bagi kelompok pertama, Islam dimaknai sebagai sebuah proses pergulatan terus-menerus, tak kenal lelah dan akhir. Agama (Islam) dipandang sebagai sebuah titik pencapaian setelah melalui beragam pengalaman, yang masih terus berkembang laiknya spiral.
Harun Nasution dalam Islam Dipandang dari Segala Aspeknya mencatat, agama muncul sebagai reaksi atas pengakuan manusia akan adanya realitas Supra (The One) yang kekuatannya melampaui kemampuan manusia. Manusia tidak mampu menjangkau kekuatan ini dan karenanya perlu mendapatkan jaminan keamanan dari kekuatan tersebut.
Pasca kesadaran ini, manusia butuh kejelasan identitas realitas supra tersebut, serta bagaimana ‘memperlakukannya’. Proses semacam ini dialami bapak agama monotheis, Ibrahim AS. Pergulatan Nabi Ibrahim AS didokumentasikan dengan baik dalam surah al-An’am ayat 74-83. Ibrahim mengamati sesembahan kaumnya, termasuk ayah(tiri)nya, Azar.
Proses yang dijalani Nabi Ibrahim AS ini merupakan prototip ideal sebuah perjalanan spiritual untuk sampai kepada al-Haq (Tuhan). Tetapi, bagi kalangan lain, proses tersebut tidak perlu lagi, lantaran Tuhan telah memberikan panduan baku dalam kitab suci yang diwahyukan lewat utusan-Nya.
Dan, ketika seseorang telah menerima petunjuk Tuhan, ia punya banyak kesempatan untuk mengamalkan ajaran tersebut. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh mereka yang menghabiskan waktu “hanya” untuk mencari Tuhan. Dengan demikian, kesempatan mencapai derajat manusia paripurna (insân kâmil) tidak segera terpenuhi.
Akan tetapi, bukankah banyak jalan untuk sampai pada tingkat insân kâmil. Proses pencarian Tuhan itu sendiri tak lain merupakan proses untuk sampai pada hakekat manusia.
Perjumpaan antara Pengakuan dan Peyakinan
Kendati dua paradigma tersebut bertolak belakang, tetap ada kemungkinan untuk dicari titik temu, meski tidak absolut. Bahwa pengakuan dan peyakinan, keduanya merupakan unsur yang harus ada dalam agama. Namun, penyatuan ini tidak serta-merta sampai pada sebuah kesimpulan yang sama.
Kelompok pertama tetap ingin menempatkan peyakinan sebagai superior di atas pengakuan. Sedang kelompok kedua jelas punya pandangan yang berhadap-hadapan dengan kelompok pertama: pengakuan superior dan peyakinan inferior. Tak sebatas perbedaan pandangan saja, perbedaan penempatan juga punya implikasi cukup panjang juga.
Kelompok pertama mempertahankan Islam sebagai ajaran paripurna. Yang harus dilakukan, menerima dahulu ajaran secara taken for granted. Lantas, dari situ, akal digunakan untuk mencari pembenar atas keyakinan. Itu bila diperlukan. Karena yang lazim dilakukan setelah peyakinan adalah meningkatkan kualitas keyakinan dengan beragam instrumen.
Mereka cenderung berpegang teguh pada hadits Nabi, al-iman lâ yazîd wa lâ yanqush. Iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Bagi mereka, iman merupakan anugerah Tuhan yang diberikan hanya kepada hamba pilihan. Keberislaman bukan hasil pencarian manusia.
Kemudian, produk pemikiran yang dihasilkan kelompok ini bercorak khas. Karena Islam diyakini final, apapun yang berbeda dengan ajarannya, maka dianggap salah dan harus diluruskan. Ciri lain, mereka cenderung menempatkan agama sebagai hakim atas segala hal. Mereka mengandaikan (di)berlaku(kan)nya ajaran agamanya dalam ranah publik.
Sementara, mereka yang menempatkan ‘pengakuan’ sebagai yang superior bercorak khas pula. Mereka cenderung berpegang pada hadits Nabi, al-Iman yazid wa yanqush. Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Iman dipahami sebagai tashdiq bil qalb wa al-fi’l bi al-jawârih. Iman merupakan pembenaran atau tepatnya pengakuan dengan nurani dan aksi nyata secara fisik.
Klausul tashdiq bil qalb menuntut adanya proses spiritual-intelektual untuk sampai pada derajat mukmin, muslim. Itu harus diperjuangkan dalam bentuk aksi nyata. Mereka, secara umum menempatkan akal sebagai alat baca untuk menentukan mana yang benar dan salah, laiknya kaum Mu’tazilah. Bahkan, ada yang menjadikan akal sebagai hakim (penentu) benar dan salah.
Karena itu, mereka biasa mendudukkan nash sebagai ‘stempel’ saja, yang bahkan kadang perlu dikontrol balik oleh realita dan kemaslahatan. Muhammad Abduh menyatakan bahwa fungsi wahyu hanya sebatas pemberi berita akan pengetahuan yang tidak bisa dijangkau akal, seperti alam gaib dan ihwal eskatologis.
Dengan pendekatan terakhir ini, pemeluk mendapatkan pengalaman dan kepuasan intelektual. Ia juga bisa tahu dan sadar, seberapapun sempurna ajaran agama yang dia anut, kekurangan dan kelemahan tetap ada. Karena tidak ada yang sempurna, melainkan Tuhan. Sedang agama adalah ciptaan Tuhan agar manusia sampai kepada-Nya.
Kemudian, menjadi tugasnya untuk melakukan revitalisasi, optimalisasi, dan kontekstualisasi serta tambal sulam atas ajaran agama. Semua itu dilakukan untuk mengoptimalkan potensi agama bagi pemberdayaan dan kemaslahatan manusia. Tegasnya, “agama untuk manusia”.
Hal di atas tidak bisa dilakukan oleh mereka yang menganut paradigma pertama karena menganggap agama sudah final. Dan bila ada yang tidak beres di lapangan, yang salah adalah fenomena di lapangan. Karenanya, realita harus diarahkan (dipaksa) tunduk dan searah-sejalan dengan kerangka ajaran.
Pemaksaan itu bisa menyemai benih penyalahgunaan otoritas dan simplifikasi ajaran agama. Bahkan, peran dan fungsi agama untuk mencapai kemaslahatan direduksi. Paradigma yang digunakan, “manusia untuk agama”. Manusia dipaksa tunduk pada agama, yang sejatinya hanyalah washilah (perantara) bukan maqsûd (tujuan).
Meski demikian, kedua model paradigma ini seharusnya tidak dipertentangkan. Keduanya bisa diberlakukan pada subyek yang berbeda. Bisa jadi, paradigma tertentu cocok bagi kalangan tertentu, namun tidak sebaliknya. Apalagi, pemilahan dua model ini tidak dikhotomis.
Mereka yang memiliki kemampuan berpikir, diharapkan bisa memahami agama dengan paradigma pengakuan, bahkan pemberdayaan. Sedang mereka yang kemampuan berpikirnya sedang, dipersilahkan memahami agama dengan paradigma peyakinan.
Semua itu dilakukan dengan tujuan bersama untuk menjalankan fungsi istikhlaf (mandataris Tuhan) dan isti’mar (memakmurkan bumi) manusia di muka bumi ini dengan niat tulus dan dengan cara yang beradab, serta lewat mekanisme yang berlaku.

alhamdulillah, setelah lama vakum,
tulisanku dimuat di Koran sore Wawasan edisi Jumat 13 Juli 2007

Comments

Anonymous said…
Alah din din.... piye leh kok ngono...

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Aswaja: Dari Mazhab Menuju Manhaj

Aswaja: Sebuah Penelusuran Historis Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang bermuculan dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya aswajalah yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte. Hingga dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keislaman. Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi wafat. Kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali KW, pengganti Utsman untuk bertanggung jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal. Muawiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr b...

Sosiologi vs Antropologi: Titik Temu dan Titik Pisah

Sosiologi dan antropologi sama-sama mengkaji manusia sebagai makhluk hidup yang berkembang dinamis.  Yang membedakan adalah bahwa sosiologi lebih fokus pada relasi dan interaksi antar manusia.  Sedangkan antropologi lebih fokus pada manusia sebagai makhluk yang bernalar dengan akal budinya dan mengembangkan kecerdasannya untuk menyelesaikan problem-problem faktual yang dihadapinya.  Oleh karena berfokus pada relasi dan interaksi yang dinamis, maka sosiologi akan fokus pada pola-pola interaksi dengan karakter khususnya.  Nah, pola-pola inilah yang kemudian dicari kecenderungannya.  Kecenderungan-kecenderungan dan pola-pola ini akan di- generate menjadi teori-teori sosiologi. Teori ini bermanfaat untuk menjelaskan fenomena yang senada di tempat-tempat lain. Oleh karena itu, sosiologi cenderung melihat fenomena interaksi sebagai sebuah keajegan .  Jika ditemukan defiasi atau pola yang berbeda, maka akan di- generate menjadi teori baru. Sementara itu, antropolo...

Ringkasan Hasil-hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang

بسم الله الرحمن الرحيم A. KOMISI BAHTSUL MASA`IL DINIYAH WAQI’IYYAH 1. Hukum mengingkari janji bagi pemimpin pemerintahan. Pertanyaan: 1) Bagaimana status hukum janji yang disampaikan oleh pemimpin pada saat pencalonan untuk menjadi pejabat publik, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif? 2) Bagaimana hukum mengingkari janji-janji tersebut? 3) Bagaimana hukum tidak menaati pemimpin yang tidak menepati janji? Jawaban: 1) Status janji yang disampaikan oleh calon pemimpin pemerintahan/pejabat publik, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dalam istilah Fiqh, ada yang masuk dalam kategori al-wa’du (memberikan harapan baik) dan ada yang masuk dalam kategori al-‘ahdu (memberi komitmen). Adapun hukumnya diperinci sebagai berikut: Apabila janji itu berkaitan dengan tugas jabatannya sebagai pemimpin rakyat, baik yang berkaitan dengan program maupun pengalokasian dana pemerintah, sedang ia menduga kuat bakal mampu merealisasikannya maka hukumnya mubah (boleh). Sebaliknya,...

Frans Magnis-Suseno

“Ideologi Harus Sesuai Hukum dan Nilai Setempat” Ketika agama berubah menjadi —meminjam ungkapan Gus Dur—aspirasi, maka yang tampil ke muka adalah wajah garang agama. Wajah itu dipenuhi jerawat dan bisul kepentingan-kepentingan yang pastinya bukan-agama—profan. Ini jelas menjadi problem. Bagaimana menyikapinya? Berikut wawancara eksklusif elsapage.com dengan Frans Magnis-Suseno, Rektor STF Driyarkara di Teater Utan Kayu Jakarta Timur, 17/03/08, 21.54 WIB seusai diskusi “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan” dalam rangka ulang tahun Jaringan Islam Liberal (JIL) Ke-7. Belakangan ini, mulai marak apa yang disebut Ideologi Islam Transnasional. Sebagai seorang Nasionalis dan Pancasilais, apa pendapat Romo? Bagi saya, Islam terutama sebagai sebuah agama, sudah tentu memiliki sifat transnasional. Kalau sebagai ideologi, tentu ada unsur-unsur yang non-agama. Sebab itu, tentu ia harus menyesuaikan diri dengan ideologi-ideoogi, dan terutama dengan sistem hukum dan sistem nilai yang berlaku di tem...

Mengulik Rahasia Ramadhan: Tiga Derajat Kualitas Puasa

Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin membongkar beberapa rahasia puasa di Bulan Ramadhan. Salah satunya adalah tentang derajat kualitas puasa. Al-Ghazali menjelaskan bahwa kualitas puasa kita bisa diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan. Pertama, puasa umum. Yakni, menjaga perut dan kemaluan dari pemenuhan atas syahwatnya. Menjaga perut artinya tidak makan dan minum. Menjaga kemaluan tentu saja dari aktivitas seksual. Hal ini dilakukan dari terbitnya fajar sampai terbenam matahari. Puasa jenis pertama ini adalah kualitas umum atau standar minimum. Ketika seorang muslim mampu menunaikan puasa dengan baik dan menjaga dari segala hal yang membatalkan puasa, maka ia sudah memenuhi puasa grade standar ini. Kedua, puasa khusus. Kualitas puasa jenis ini lebih istimewa. Puasa jenis ini dilakukan dengan menjaga pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan segala anggota badan dari dosa dan maksiat. Kita tahu bahwa seluruh anggota tubuh tersebut seringkali melakukan ...

Mbah Syam dan Santrinya

Suatu hari di tahun 1970-an, seorang santri sedang bersih-bersih halaman pondok. Tiba-tiba Mbah Syam membuka jendela dan memanggilnya.  "Kang Yasir..." "Njih dalem..." Ia segera menuju jendela itu. Mbah Syam mengulurkan tangannya. "Iki ono titipan soko ibumu." Kang Yasir kaget. Kapan Ibu datang ke pondok? Mengapa ia tidak tahu? "Nganu... Aku wingi bar ko omahmu.", kata Mbah Syam. Kang Yasir tambah kaget. "Wingi aku bar ngeterke Baedlowi ke Surabaya. Mulihe mampir Ngawi, neng omahmu.", tambah Mbah Syam. "Oh... Pripun kabare Ibu?" "Alhamdulillah sehat kabeh. Kangmu yo sehat." "Alhamdulillah... Matur nuwun." "Yo... Podo-podo." *** Sehari sebelumnya di Ngawi. Mbah Syam menelusuri desa, mencari rumah Kang Yasir. Ia mengucapkan salam, tak ada jawaban. Ia menunggu sejenak.  Kemudian seorang Ibu agak sepuh keluar rumah dan menyapanya. "Sinten nggih?..." "Aku koncone Yasir. Omahku cedak nggo...