Skip to main content

berakit-rakit bersama sang nabi

Berbeda dengan Mawlid ad-Dibaiy yang dinamis dan lebih “berwarna” secara bahasa, Maulid al-Barzanjiy lebih memfokuskan diri pada bentuk prosa. Lebih tepatnya, penulis menggunakan gaya seorang penutur, atau pendongeng, bukan gaya penyair yang mendayu-dayu dan mengharu-biru.

Tapi, sang penulis (Ja’far bn Hasan al-Barzanjy) juga menyiasati “kekeringan” ini dengan menggunakan pilihan diksi yang cukup nyeni. Utamanya, karena ia menyamakan hampir semua akhir kalimat dalam prosanya itu dengan ta’ marbuthah yang diawali dengan ya’ berharakat fathah.

Pada beberapa sisi, ia menggunakan majaz isti’ârah (peminjaman) yang dalam bahasa Indonesia kita mengenalnya sebagai majas personifikasi. Atau, penulis menggunakan tasybih (penyerupaan) pada beberapa sisi. Beberapa contohnya adalah tatkala penulis memberi fâshilah (jeda) pada setiap fragmen dalam prosanya.


Tepatnya, ia menuliskan, ath-thirillâhumma qabragul karîm # bi ‘arfin syadziyyin min shalâti wa taslîm. Ya Allah, berikanlah wewangian pada kubur Muhammad yang mulia, dengan shalawat dan salam sejahtera yang mewangi. Penulis meminjam makna shalawat salam dari kata wangi.

Pada babak awal, penulis menuturkan perihal jatidiri genealogis Muhammad. Dituliskan, Muhammad bn Abdullah bn Abdul Muthalib bn Hasyim bn bn Abdi Manaf bn Qushay bn Kilab bn Murrah bn Ka’ab bn Lu’ay bn Ghârib bn Fihr (Quraysh) bn Malik bn Nadhr bn Kinanah bn Huzaimah bn Mudrikah bn Ilyas bn Mudhar bn Nizar bn Ma’add bn Adnan. Yang tersebut terakhir ini tak lain merupakan anak turun Ismail bn Ibrahim AS.

Selepas itu, sang penulis menuturkan dua ikat syair yang menegaskan keagungan nasab Muhammad SAW. Pada bagian selanjutnya, digambarkan, Nur Muhammad sudah berpindah ke rahim Aminah. Kala itu, terjadi fenomena unik yang belum pernah terjadi sebelumnya: tanah gersang menjadi subur, binatang-binatang berucap, langit cerah, buah-buahan segera masak, hingga singgasana kerajaan dzalim luluh lantak.

Dalam tidur, Aminah bermimpi mendengar hatif (suara tanpa bentuk) yang menyatakan bahwa ia sedang mengandung calon junjungan seluruh alam, makhluk terbaik yang pernah ada. Bila sudah lahir, berilah nama Muhammad!

Ketika usia kehamilan dua bulan, ayahnya meninggal dunia di Madinah dalam perjalanan saat mengunjungi keluarganya dari bani Adiy, suku Najjar. Dan ketika genap berusia sembilan bulan, Maryam dan Asiyah mendatangi Aminah bersama bidadari dari sorga.

Malam kelahiran Muhammad digambarkan dengan amat heroik. Langit diperketat penjagaannya, bintang melempari setan yang hendak naik ke atas, bintang Zuhrah hormat dn menerangi tanah haram. Sebaliknya, gedung di kota Madain (Persia) luluh lantak beserta empat belas anjungan dan singgasana Raja Anusyarwan.

Sketsa semacam ini terlihat tragik. Seolah-olah kebahagiaan akan kelahiran Muhammad merupakan kehancuran bangsa non-Arab (‘ajam). Hal ini jelas kontreadiktif dengan firman Tuhan yang menyatakan bahwa Muhammad adalah rahmat bagi sekalian alam, bukan hanya orang Arab saja, dan justru menjadi “musibah” bagi kaum lain.

Lebih jauh, tampak ashabiyah (egosentris) yang teramat kuat muncul dalam diri sang penulis. Kesan yang tertangkap, merupakan kebahagiaan bagi sang penulis bila kerusakan dan kemalangan menimpa bangsa lain. Memang, beginilah watak orang Arab, fanatik buta.

Pasca kelahiran, Muhammad hanya menyusu kepada ibunya beberapa hari saja. Selebihnya, Tsuwaybah al-Aslamiyah, budak yang dimerdekakan Abu Lahab. Sebelumnya, Tsuwaybah juga menyusui Hamzah, paman Muhammad.

Halimah kemudian mengambil alih tugas menyusui Muhammad. Keberkahan selalu melingkupi kehidupannya. Seperti yang diceritakan dalam kisah-kisah lain, Muhammad sempat ditemui dua malaikat —berbeda dengan versi ad-Dibaiy yang mencantumkan tiga malaikat—yang membedah dan membersihkan hati Muhammad.

Saat berusia empat tahun, Muhammad kecil diajak pergi ke Madinah oleh ibunya bersama Ummu Ayman, budak yang dimerdekakan Abdullah. Di tengah perjalanan, tepatnya desa Abwa’, sang Ibu meninggal dan dikebumikan di situ.

Selepas lima hari bersama Ummu Ayman, Muhammad diasuh oleh sang kakek. Itupun tidak lama, sang Kakek meninggal dunia. Muhammad diasuh oleh Abu Thalib, sang paman.

Ketika berumur dua belas tahun, Abu Thalib mengajak Muhammad berdagang ke Syam. Di perjalanan, keduanya bertemu dengan Rahib Buhayra yang mengabarkan nubuwat Muhammad, berdasarkan kabar yang ditemukannya dalam kitab-kitab samawy. Atas petunjuk Rahib itu pulalah, keduanya pulang kembali ke Makkah, demi keamanan Muhammad.

Setelah berumur dua puluh lima tahun, Muhammad memperdagangkan barang milik Khadijah bt Khuwaylid ke Syiria. Dalam perjalanan itu, ia ditemani Maysarah, pembantu kepercayaan Khadijah.

Beragam keajaiban terjadi. Pohon meneduhkan dahannya untuk Muhammad yang duduk di bawahnya. Pendeta Nasthura memberitahukan kepada Maysarah perihal jati diri Muhammad kelak.

Semua yang dialami ini lantas diceritakan kepada Khadijah yang karenanya, Khadijah kian mantap hatinya untuk menjalin hidup bersama Muhammad. Tawaran diajukan kepada Muhammad. Berdasar pertimbangan paman-paman, Muhammad yang diwakili Abu Thalib menyetujui tawaran itu. Dari Khadijah inilah semua keturunan Muhammad kelak berasal, kecuali Ibrahim dari ibu Mariyah.

Dalam buku ini, dituturkan bagaimana keutamaan Muhammad. Mulai dari usahanya dalam menyelamatkan Makkah dari pertumpahan darah lantaran konflik penempatan hajar aswad pasca banjir. Ini terjadi sepuluh tahun sebelum Muhammad menerima wahyu pertama yang turun di Goa Hira.

Malam itu 17 Ramadhan —sebagian ulama menyatakan 27, 24 Ramadhan atau 8 Rabiul Awal— Malaikat Jibril datang yang memeluk tubuh Nabi seraya berkata,”Bacalah!”. Masa selanjutnya adalah, masa paceklik wahyu selama 3 tahun atau 30 bulan. Maka, turunlah surah al-Mudatstsir 1-5.

Beberapa orang yang Islam kali pertama adalah Abu Bakar, Ali bn Abi Thalib, Khadijah, Zaid bn Haritsah, Bilal bn Rabah, Utsman bn Affan, Sa’ad bn Abi Waqash, Said bn Zaid, Thalhah bn Ubaydillah, Abrurrahman bn Auf, dan Zubayr bn Awwam.

Setelah posisi umat Islam (agak) kuat, dimulailah dakwah secara terang-terangan dengan turunnya ayat ke-94 surat al-Hijr. Dakwah ini mendapat tentangan dari kaum Kafir Quraysh. Hingga pada tahun ke-5, umat Islam harus mencari suaka ke Habsyah (Abbesinia)

Menghadapi ancaman yang sedemikian hebat, Abu Thalib, sang paman dengan semangat tetap membantu hingga akhir hayat, 15 Syawal tahun ke-10 pasca kenabian. Disusuk tiga hari kemudian dengan kematian Khadijah, sang Istri.

Akhirnya, tekanan kaum Kafir Quraysh kian masssif dengan beragam bentuknya dari tekanan psikis, fisik, hingga boikot ekonomi. Muhammad lantas mencari suaka ke Thaif, tapi gagal. ‘Am al-Khuzni, tahun kesedihan menjadi saat yang paling memberikan kenangan dalam sejarah Nabi.

Tuhanpun berbaik hati. Diberikanlah sebuah hadiah: Isra dan Mi’raj. Sebuah perjalanan luar biasa yang hingga hampir 1500 tahun sesudahnya masih menjadi bahan berdebatan. Dalam perjalanan ini, Muhammad mendapatkan ibadah shalat lima waktu, dengan perdebatan yang alot.

Terang saja, peristiwa ini menggegerkan masyarakat Makkah. Di satu sisi, peristiwa itu tidak mungkin dilakukan. Di sisi lain, sepanjang sejarah, Muhammad terkenal sebagai al-Amin, tidak pernah berdusta, bahkan saat bercanda sekalipun. Inilah yang membuat publik terpecah ke dalam tiga kelompok: percaya sepenuhnya, ragu-ragu, dan menolak dengan tegas.

Mereka yang percaya di antaranya adalah Abu Bakar ash-Shiddiq. Sedang yang ragu adalah sebagian besar umat Islam dan kaum kufar Quraysh. Dan di tengah kekalutan semacam ini, Muhammad memanfaatkan momen haji dengan menyampaikan dakwahnya kepada jamaah haji.

Pada gelombang pertama, tercatat enam orang dari penduduk Yatsrib yang menyatakan keimanannya. Tahun berikutnya, kian banyak saja penduduk Yatsrib yang menyatakan keimanannya kepada Muhammad. Dari sini, Muhammad mendapatkan suaka politik dari dua suku besar di Yatsrib, suku Aus dan Khazraj.

Akhirnya, Muhammad hijrah dari Makkah ke Madinah. Di tempat yang baru inilah, sinar Islam menyinari segenap alam. Saat Nabi wafat, jazrah Arabia sepenuhnya berada di bawah panji-panji Islam.

Mengikuti lembar demi lembar buku ini, kita seolah berakit melalui sebuah sungai yang berkelok-kelok. Tapi, airnya tenang dan jernih. Di tepian sungai ada begitu banyak tetumbuhan yang indah dan membuat pemandangan elok dipandang. Dan tak terasa, kita terhanyut oleh akiran kisah Nabi.

Dalam buku ini, tidak banyak ditemui riak-riak gelombang atau pemandangan yang terlalu indah. Semuanya tampak nature, alami dan uniknya lagi, hampir semua paparan kisah—yang tidak hanya kelahiran Muhammad— itu dilukiskan dengan cukup detil. Kecuali beberapa sisi yang tampaknya disediakan khusus oleh sang penyusun untuk memuji kelebihan Muhammad.

Dari sini, tampak jelas bahwa sang penulis saat menggoreskan pena, menumpahkan isi hatinya, dilakukan dengan pertimbangan masak dan dengan jiwa yang tenang lagi terkendali. Ia tidak (terlalu) larut dalam kecintaan yang begitu mendarah-daging dan menggelora.

Pembacaan semacam inilah yang dibutuhkan. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa Muhammad “hanyalah” manusia biasa. Ia dihadirkan oleh Tuhan untuk memberikan teladan, bukan untuk dikultuskan, disucikan. Ia harus dilihat sebagai sebuah objek yang (di)netral(kan). Karena, untuk mendapatkan gambaran yang seimbang dan objektif, hanya bisa dilakukan dengan menjaga netralitas objek dan tentunya, netralitas pembaca objek. [ ]

Comments

Popular posts from this blog

Mars dan Hymne IAIN Metro

Mars IAIN Metro Jayalah IAIN Metro Tegap menuju masa depan Tak gentar bersaing tunjukkan kearifan Di bumi persada Kembangkan ajaran Islam Tekuni ilmu dan teknologi Peduli harmoni menjadi jati diri Cita-cita mandiri Marilah seluruh civitas akademika Membaca dan berkarya Menjadi generasi intelektual bangsa Berakhlak mulia Majulah IAIN Metro Majulah civitas akademika Membangun generasi bertakwa pada Ilahi Berkhidmat untuk negeri 2x Jayalah jayalah IAIN Metro ***** HYMNE IAIN Metro Di gerbang Sumatera Lampung tercinta IAIN Metro berada Tempat kami berjuang Tempat kami mengabdi Berbakti pada Ilahi Melangkah dengan Iman dan Taqwa Mengabdi pada bangsa dan negara Di bumi pertiwi kami berpijak Bernaung atas RidhoNYA Syukur dan harapan slalu kami panjatkan Untuk kejayaan Islam rahmat alam semesta Ilmu dan iman menjadi landasan Membangun generasi Indonesia Jaya

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel

Khutbah Idul Fitri 1437 H: Menginsafi Dua Fitrah Manusia

===   الخُطْبَةُ الأُولَى   === اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَتَمَّ لَنَا شَهْرَ الصِّيَامِ، وَأَعَانَنَا فِيْهِ عَلَى الْقِيَامِ، وَخَتَمَهُ لَنَا بِيَوْمٍ هُوَ مِنْ أَجَلِّ الْأَيَّامِ،   وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، الواحِدُ الأَحَدُ، أَهْلُ الْفَضْلِ وَالْإِنْعَامِ، وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ إلَى جَمِيْعِ الْأَنَامِ،   اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ التَّوْقِيْرِ وَالْاِحْتِرَامِ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ .     أَمَّا بَعْدُ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْ

Dengan Buku, Haji Melawan

SEMASA KOLONIAL, pesantren, utamanya bila pengasuhnya seorang Haji, menjadi sasaran tembak penguasa. Ini tak lepas dari ideologi pan-Islamisme dan nasionalisme relijius yang dibawa dan dikembangkan seorang Haji. Sudah menjadi kelaziman, saat berhaji, seorang jama’ah singgah beberapa tahun di Haramayn (Makkah dan Medinah). Mereka tidak hanya belajar agama. Mereka membangun jejaring pengetahuan, ideologi, bahkan afiliasi politik. Pada musim haji, ratusan ribu jamaah dari seluruh dunia berkumpul. Pertukaran ilmu, pengetahuan, pengalaman, serta informasi menjadi niscaya. Di sinilah, nasionalisme dan persaudaraan sesama muslim yang terjajah, kian terpupuk. (A. Azra, 2004:46). Tatkala kembali ke negeri asal, bekal ideologi itu dikembangkan. Gerakan Haji ini amat berpengaruh. Bisa dilihat, bagaimana kebijakan kolonial membendung gerakan Haji, dari Ordonansi guru agama (1905), pelarangan haji (1908), pengawasan pendidikan Islam, hingga pengawasan atas penghulu.(Aqib S,1985:19).

Doa Memulai Pengajian Al-Quran, Ilahana Yassir Lana

Berikut ini adalah doa yang biasa dibaca sebelum memulai mengaji al-Quran.  Ilaahana yassir lanaa umuuronaaa 2 x Min diininaaa wa dun-yaanaaa 2 x Yaa fattaahu yaa aliim 2 x Iftah quluubanaa 'alaa tilaawatil qur'aan 2 x Waftah quluubanaa alaa ta'allumil 'uluum 2x