Skip to main content

damai di jiwa

Menggali Damai dalam Agama

Tanggapan atas Muslim

M. Nasrudin

Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang asal Seputih Surabaya, Lampung Tengah

Artikel “Perjumpaan Agama dengan Budaya” tulisan Saudara Muslim, mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab IAIN Raden Intan Bandar Lampung di Harian ini (7/7) menarik dikritisi. Dinyatakan, agama setali tiga uang dengan kebudayaan. Di satu sisi, agama adalah produsen kebudayaan. Dan di sisi lain, agama juga produk kebudayaan (muntaj al tsaqafiy, istilah Nasr Hamid).

Hemat penulis, pandangan ini menyiratkan kerancuan. Rasio tentu tidak begitu saja menerima pernyataan bahwa suatu hal berpredikat sebagai produk dan sekaligus produsen. Terlebih, hal itu berwujud agama. Karenanya, pemilahan antara agama dan pemikiran keagamaan (‘paham agama’, ungkap Cak Nur sebagaimana kutip Muslim) menemukan urgensinya.

Muslim menambahkan, pada dasarnya, semua agama punya prinsip dan tujuan sama. Lantas, Muslim menganjurkan agar setiap insan —pemeluk agama manapun— mengacu pada prinsip tersebut. Pandangan ini bila dilihat sepintas amat manis dan mudah diterima. Namun, ada beberapa hal yang luput dari perhatian Muslim.

Pertama, Muslim agak abai akan aspek eksoteris. Bahwa setiap agama punya proses kemunculan yang berbeda. Karenanya, pembacaan yang lebih komprehensip setiap agama amat diperlukan sebelum vonis “kesamaan tujuan” itu dijatuhkan. Karena hanya dari sini, tujuan awal kehadiran agama dapat diketahui, sebagai pembebas masyarakat, atau sekedar pemenuhan kehampaan spiritual.

Kedua, secara sekilas, pandangan Muslim tadi menyentuh aspek isoteris semua agama. Namun, bila ditelaah lebih jauh, setiap agama nyatanya punya orientasi dan prioritas yang berbeda. Namun, yang paling mencolok adalah, ajaran agama yang satu tidak sebangun dengan ajaran agama lain. Ini artinya, relief isoteris agama yang teraba Muslim masih sebatas kulit ari.

Bisa jadi, akan ditemukan kenyataan, setiap agama punya tujuan senada, pencapaian kebahagiaan dunia dan alam baka—menuju Tuhan. Namun, perlu diperhatikan, setiap agama punya parameter kebenaran masing-masing yang tidak bisa (bahkan tak sudi) disepadankan. Eksklusifitas kebenaran ini begitu nyata, utamanya pada rumpun agama semitis (Islam, Nasrani, dan Yahudi).

Dalam batas-batas tertentu, agama-agama semitis itu mengklaim diri sebagai yang paling benar dan pasti selamat. Islam menyatakan Innaddîna indalLâhi al Islâm, sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam (QS Ali Imron [3] : 19). Demikian halnya Nasrani, dengan slogan, “tak ada keselamatan di luar gereja”, yang meski telah dihapus, aromanya tetap menyeruak.

Eksklusifitas ini pada tataran tertentu dapat menyulut semangat misionaritas, menarik (bahkan memaksa) orang lain untuk memeluk agama tertentu. Misionarisasi ini jelas berpotensi mempersempit ruang rekonsiliasi lantaran lekat dengan klaim sesat. Ujungnya, pemeluk agama lain harus menjadi korban.

Celakanya, umat biasanya merasa cukup dengan pemahaman teks agama yang tersurat semata, enggan menukik ke dalam sumsum teks. Teks diterima apa adanya (taken for granted). Di sini, eksklusifitas makin terpupuk.

Selain itu, dalam satu agama acap ditemui banyak “sekte”. Padahal, semua “sekte” ini punya teks suci yang sama. Ini bermula dari perbedaan tafsir atas teks. Karena bila teks ditelurkan, ia lepas dari kekuasaan —meminjam istilah Muhammad al-Fayyadh— pujangga (the author). Pujangga tak bisa memaksa pembaca untuk memahami teks itu sesuai keinginannya.

Maka, perselisihan pemahaman atas satu teks amat wajar terjadi. Tetapi, konflik yang ada tak sampai pada kesimpulan Muslim, yakni munculnya agama baru. Kehadiran agama baru dapat dikatakan sebagai respon (ijtihad Tuhan, istilah Nur Khalik Ridwan) atas realita yang berkembang di masyarakat. Jadi, tidak mungkin agama baru hadir dengan masih menggunakan kitab yang sudah ada sebelumnya.

Kendati demikian, eksklusifitas yang terbangun justu makin kokoh manakala ada di kelompok atau sekte tersebut. Bahkan, eksklusifitas akan menjai-jadi lantaran yang dianggap benar adalah sekte atau kelompoknya.

Ketiga, pemahaman Muslim, pada beberapa sisi, tampak ahistoris. Padahal, bila kita merujuk ke sini, ada beberapa agama yang terlibat konflik dalam masa perkembangannya. Tak jarang, konflik terjadi selama berabad-abad dan menelan ribuan jiwa, laiknya perang salib dan perseteruan Islam-Hindu di India.

Jejak-jejak konflik ini masih terasa hingga kini. Apalagi, beberapa kalangan acap mengobarkan semangat konflik guna mempererat integritas dan solidaritas sesama pemeluk. Pun, berbagai kepentingan bisa ikut serta, bahkan menumpangi konflik.

Nah, semua kenyataan di atas tak bisa diabaikan. Bagaimanapun, pemahaman harus lebih mengaca pada realita (das sein), bukan pada normatifitas (das sollen) yang selalu lurus. Karenanya, tawaran Muslim untuk menuju pada satu tujuan yang sama dengan menghargai kebhinnekaan menjadi hilang gaung dan kurang disambut. Jangankan mengakui keberadaan dan kebenaran agama lain, melihat mereka saja klaim sesat langsung disematkan.

Tujuan mulia yang hendak dicapai Muslim, kedamaian di muka bumi, bila harus meyakini semua agama punya titik temu tunggal, justru lebih berpotensi ditolak oleh hampir pemeluk semua agama. Gagasan pluralisme ini mengingatkan akan ide yang pernah ditelorkan John Hick di bawah tema Agama Global (Global Religion) pada sekitar 1900-an.

Alasan untuk menolak gagasan global religion ini tampaknya makin lengkap. Kesatuan hanya bisa terwujud bila setiap komponen pembentuknya menanggalkan identitas masing-masing guna mengambil wujud baru yang seragam. Karenanya, global religion bisa ditengarai sebagai ancaman atas identitas, esensi, bahkan eksistensi agama. Pembelaan terhadap agama, dengan cara apapun, justru menemukan justifikasinya di sini.

Nilai Setiap Agama

Jika demikian, problem yang dihadapi adalah problem pembacaan teks agama. Selama ini, pembacaan teks menggunakan frame kebenaran tunggal. Karenanya, frame ini layak diistirahatkan. Sebagai gantinya, perlu pembacaan yang —meminjam istilah Farid Essack— membebaskan.

Sejatinya, tak ada yang salah dengan frame kebenaran tungal. Karena dengan cara inilah, religion bisa hidup. Namun, ini akan jadi problem serius manakala berujung pada saling klaim. Karenanya, frame ini harus lebih diarahkan oleh pemeluk setiap agama, pada pembacaan yang lebih humanis dan toleran. Tujuannya, mengorek sisi humanis ajaran setiap agama. Allâhu a’lam bis shawâb. [ ]


Artikel ini dimuat di Harian Lampung Post rubrik opini edisi Jumat, 4 Agustus 2006
lihat tulisan ini dalam versi edit-cetak Lampung Post di sini

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Doa Memulai Pengajian Al-Quran, Ilahana Yassir Lana

Berikut ini adalah doa yang biasa dibaca sebelum memulai mengaji al-Quran.  Ilaahana yassir lanaa umuuronaaa 2 x Min diininaaa wa dun-yaanaaa 2 x Yaa fattaahu yaa aliim 2 x Iftah quluubanaa 'alaa tilaawatil qur'aan 2 x Waftah quluubanaa alaa ta'allumil 'uluum 2x

Mars dan Hymne IAIN Metro

Mars IAIN Metro Jayalah IAIN Metro Tegap menuju masa depan Tak gentar bersaing tunjukkan kearifan Di bumi persada Kembangkan ajaran Islam Tekuni ilmu dan teknologi Peduli harmoni menjadi jati diri Cita-cita mandiri Marilah seluruh civitas akademika Membaca dan berkarya Menjadi generasi intelektual bangsa Berakhlak mulia Majulah IAIN Metro Majulah civitas akademika Membangun generasi bertakwa pada Ilahi Berkhidmat untuk negeri 2x Jayalah jayalah IAIN Metro ***** HYMNE IAIN Metro Di gerbang Sumatera Lampung tercinta IAIN Metro berada Tempat kami berjuang Tempat kami mengabdi Berbakti pada Ilahi Melangkah dengan Iman dan Taqwa Mengabdi pada bangsa dan negara Di bumi pertiwi kami berpijak Bernaung atas RidhoNYA Syukur dan harapan slalu kami panjatkan Untuk kejayaan Islam rahmat alam semesta Ilmu dan iman menjadi landasan Membangun generasi Indonesia Jaya

Membedakan Hukum Islam, Syariah, Fikih, dan Kanun (Reblog)

Di kalangan masyarakat umum, ada tiga istilah dalam tradisi Islam yang seringkali dipahami secara rancu. Ketiga istilah ini adalah hukum Islam, syariah, dan fikih. Ada kalanya orang menyebut hukum Islam, tetapi yang ia maksud adalah fikih. Ada pula orang yang menggunakan istilah syariah tetapi yang ia maksud adalah fikih. Padahal ketiganya adalah entitas yang berbeda. Sementara itu, istilah keempat (kanun) jarang disebut oleh masyarakat, kecuali masyarakat Aceh. Dalam penyebutan di kalangan masyarakat Aceh, istilah ini hampir tidak dijumpai persoalan salah pemahaman. Hal ini karena istilah kanun sudah lazim digunakan sesuai dengan konteks yang benar oleh pemerintah dan masyarakat. Syariah Syariah dalam pengertian bahasa adalah jalan setapak, jalan tempat air mengalir, atau jalan menuju mata air. Dalam tradisi kajian Islam, syariat adalah sekumpulan garis besar ajaran Islam yang mengatur peri kehidupan seorang muslim. Karena ia adalah garis besar, maka syariat ini memua...

Kondisi Darurat dalam Tayamum

Tayamum dalam fikih dikenal sebagai salah satu alternatif dalam bersuci. Ia menjadi ganti bagi mandi dan wudhu dalam kondisi tidak ada air atau ketika ada halangan yang menyebabkan seseorang tidak bisa menggunakan air. Tayamum memanfaatkan debu sebagai media bersuci sebagai ganti dari air. Penggunaan debu ini adalah kekhususan yang diberikan kepada syariat Nabi Muhammad saw. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah fungsi dasar tayamum sebetulnya tidak bisa digunakan untuk mensucikan diri dari hadats (kecil). Setelah bertayamum sekalipun, status seseorang masih dalam kondisi hadats. Posisi tayamum hanyalah sebagai media untuk mendapatkan dispensasi sehingga seseorang bisa menjalankan ibadah yang mensyaratkan status suci dari hadats besar dan/atau kecil, semisal salat, tawaf, menyentuh mushaf, sujud tilawah, dan sebangsanya. Sebagai alternatif yang berisifat darurat, maka kondisi darurat harus benar-benar terwujud sebelum seseorang bertayamum. Bahkan dalam kondisi tidak a...

Zakat Fitrah

Fitrah berasal dr kata fathara فطر. Kata ini juga menjadi asal bagi kata ifthar افطار. Kata yang terakhir ini bermakna berbuka setelah puasa. Kata fathara فطر juga menjadi akar bagi kata Idulfitri. Id adalah Hari Raya. Fitrhi adalah makan-makan. Idulfitri adalah hari raya makan-makan setelah sebulan penuh berpuasa. Nah...  Dari sinilah kita jadi mengerti bahwa zakat fitrah dan idulfitri terkait dengan makan-makan atau berbuka selepas puasa. Sebab itulah, mazhab Syafii menyatakan bahwa zakat fitrah harus dalam wujud bahan makanan pokok setempat قوت البلد. Kalau di kampung tsb bahan makanan pokoknya beras, ya beras. Kalau gandum, ya gandum. Kalau sagu, ya sagu. Kalau di satu kampung ada dua bahan makanan pokok, misalnya jagung dan sagu, maka ambil makanan yang paling populer. Kalau sama-sama populer, boleh memilih di antara keduanya. Mengapa harus bahan makanan pokok?  Salah satunya agar zakat bisa langsung digunakan untuk ifthar (berbuka/dimakan) pada hari raya Idul...

Gaul Iya, Paham Islam Juga

"Ma...ma...af, sa...ya...nggak tahu, Pak" Jawaban grogi seperti itulah barangkali yang kamu berikan kala ditanya gurumu: Apakah zakat itu? Gimana menyalurkannya? Mengapa kita musti beribadah? Apa sajakah ibadah itu? Dan seterusnya. Dan sebagainya. Ataukah dengan pedenya kamu tetep ngejawab atas ketidaktahuanmu? Janganlah yaw! Malu-maluin... Pertanyaannya kemudian, kenapa kita tidak tahu, padahal kita mengaku muslim sejati? Hayo... Kenapa? Mungkin, di antara kamu ada yang ngejawab, "Nggak ada waktu untuk belajar agama." Atau, "Mata pelajaran agama di sekolah ngebosenin, monoton, dan gurunya killer abis". Boleh jadi yang disampaikan di sekolah atau pengajian saat bicara agama pasti mengarah ke surga atau neraka. Iya, kalau kita punya tabungan banyak ibadah karena ngerti caranya, kita bisa pegang tiket ke surga. Lha kalau kita banyak dosa? Atau, kita tidak shalat misalnya dengan alasan aneh: karena tidak bisa. Apa tidak repot? Belum lagi jika belajar a...