Catatan
Kecil tentang ALTAISIR (2002-2008)
Demi masa.
Sesungguhnya manusia kerugian. Kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, dan
saling mengingatkan dalam hak, serta saling mengingatkan dalam kesabaran.
Begitulah
firman Allah swt dalam al-Quran. Bahwa seiring berjalannya waktu, manusia
sering mendapat godaan dari segenap penjuru, hingga ia menjadi orang-orang yang
merugi. Dan agar tidak merugi, ada setidaknya empat kunci yang diberikan
al-Quran dalam ayat di atas, yakni: (i) beriman, (ii) beramal saleh, (iii) saling
mengingatkan dalam hal yang baik dan (iv) dalam kesabaran.
Dalam sebuah
komunitas eksklusif seperti pesantren, eksekusi atas keempat poin di atas mudah
sekali dilakukan. Efektivitas ini karena dalam rentang waktunya, persinggungan person-person
dalam komunitas tersebut dengan dunia luar bisa difilter dengan relatif tanpa
hambatan berarti. Proses pemupukan iman dan kesalehan mudah sekali
didisiplinkan. Apalagi saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran, tentu
bisa ditradisikan. Begitulah yang terjadi di pesantren mana saja.
Kondisinya
menjadi berbeda tatkala para santri ini sudah mutakharij dari pesantren.
Beruntunglah ia yang sudah memiliki bekal keilmuan yang mumpuni dan langsung
terjun di masyarakat di kampungnya, sehingga ia bisa berkontribusi bagi
komunitasnya. Dalam banyak kasus, di era belakangan ini, menjadi santri tidak seperti
era beberapa dekade lalu yang membutuhkan waktu sampai belasan hingga puluhan
tahun. Santri generasi 1990-an dan 2000-an sebagian besar menghabiskan waktunya
di pesantren hanya 3-6 tahun, selama ia di Madrasah Aliyah dan/atau Madrasah
Tsanawiyah.
Selepas
sekolah formal, mereka segera meninggalkan gothaan pesantren dan hijrah
ke kota-kota besar untuk meneruskan studi formalnya di Perguruan Tinggi. Di
satu sisi, mereka belum punya ilmu yang cukup mumpuni untuk terjun ke
masyarakat, sehingga ia harus menambah dan mengasah lagi pengetahuannya. Dan di
sisi yang lain, ia harus berpindah habitat, bergumul dengan realitas yang lebih
ganas dalam ruang terbuka, dan bebas. Beruntung jika mereka bisa kuliah
sekaligus mondok. Namun, dunia kampus lebih banyak tidak sejalan dengan
dunia pesantren, baik secara ontologis, metodologis, dan aksiologis.
Ketika di
pesantren, masih ada yang membangunkan salat subuh dan tahajud. Kalau di
tinggal di kos, siapa yang akan membangunkan? Saat di pesantren, silaturahmi
lain jenis sangat terbatas, kalau di Perguruan Tinggi, pergaulan jauh lebih
bebas dalam norma, etika, dan polanya, bahkan di Perguruan Tinggi Agama Islam
sekalipun yang dalam hal-hal tertentu sudah menabrak norma agama itu sendiri. Siapa
yang akan mengingatkan, mengingat kampus sendiri tidak punya kuasa sekuat
pesantren dalam mengendalikan logika dan perilaku mahasiswanya, karena kampus
cenderung mendaku sebagai mimbar bebas?
Pasti. Nyaris
seluruh santri yang pindah ke dunia Perguruan Tinggi mengalami gegar budaya (shock
culture). Ada yang kemudian menutup diri, namun lama-kelamaan jebol juga.
Ada yang langsung larut bahkan jauh lebih larut. Apalagi bagi mereka yang dulu
di pesantren menganggap pesantren sebagai “penjara suci”, yang segalanya serba
diatur dan dibatasi. Saat batas dan aturan itu dinisbikan, maka mereka-mereka
ini tak ubahnya macan lapar yang keluar kandang. Segalanya hendak dikejar dan
diterkam. Perbedaan sikap ini pada akhirnya membuat garis demarkasi yang jelas
di antara mereka yang dulunya pernah sama-sama berproses di pesantren yang
sama, bahkan dengan pesantrennya. Tak jarang santri yang kemudian lupa,
bersikap negatif dengan pesantrennya dulu, bahkan memutus tali silaturahmi
dengan pesantren.
Begitulah
realitasnya. Dan berangkat dari sini, dari kegelisahan yang dialami oleh nyaris
seluruh alumni Brabo kemudian muncul
rasan-rasan. Mereka berkumpul
untuk saling menguatkan, saling mengingatkan dalam hak dan kesabaran, serta
sekaligus memperkuat identitas santrinya agar tidak lebur dan larut dalam
euforia dunia kampus. Forum
curhat-curhatan dan silaturahmi ini kemudian menemukan manfaat yang luar biasa
besar ketika dihadapkan dengan realitas yang seperti disebut di atas. Mengingat
kecenderungan yang ada, di mana dari tahun ke tahun, jumlah urbanisasi sosial
dari pesantren ke Perguruan Tinggi semakin membludak, forum ini kemudian
dilembagakan dalam sebuah organisasi.
Meneguhkan Identitas
Agar identitas
santrinya tetap kental, maka dipilihlah nama organisasi ini dengan nama yang
mencerminkan akar kultural bersama, di mana para anggotanya pernah diproses. Diambillah
nama dua almamater yang dekat secara kultural: yakni PP Sirojuth Tholibin dan
Yayasan Tajul Ulum. Dua nama ini dipilih agar mereka yang berbeda irisan bisa
tetap terlibat dalam organisasi ini. Ada santri yang hanya di pesantren tetapi
bukan alumni Tajul Ulum. Ada yang alumni Tajul Ulum tapi tidak pernah nyantri.
Namun semuanya dapat bernaung di bawah organisasi ini.
Ada beberapa
nama yang sempat diwacanakan. Setelah diadakan salat istikharah, beberapa
kawan, termasuk Muhammad Habib, SHI (alm), Ali Mawahib, SHI, Bahrul Fawaid,
SHI, Turmudzi, dan beberapa kawan lain sowan kepada KH Baidhowi Syamsuri untuk memohon
berkah dan bimbingan. KH Baidlowi Syamsuri kemudian merestui nama ALTAISIR.
Nama ini adalah kependekan dari Alumni Tajul Ulum in Sirojuth Tholibin. Dalam
pesannya yang disampaikan kepada segenap alumni, KH. Baidlowi selalu menekankan agar para santri
tetap berpegang teguh pada ajaran Islam ala
ahlussunnah wal jamaah dan tetap istiqamah menjalankan tradisi santri.
Berbekal restu
dari sesepuh dan pengasuh inilah, kemudian dibentuklah perangkat kelembagaan formal. Mulai
dari kepengurusan, AD/ART, lambang organisasi, dan seterusnya. Generasi pertama
ini kemudian memilih Muhammad Habib, SHI (alm) sebagai ketuanya. Anggotanya
adalah sebagian besar angkatan 2002 di IAIN Walisongo. Kegiatan yang dilakukan
adalah diskusi rutin, silaturahmi ke pondok dan madrasah (terutama saat haul KH
Syamsuri Dahlan dan Idul Fitri), halal bi halal, dan kegiatan-kegiatan lain
yang bersifat kesantrian dan intelektual.
Merentang Sayap
Setelah
berjalan kira-kira setahun, dilakukanlah pergantian kepengurusan. Tampuk
kepemimpinan berpindah kepada Bahrul Fawaid, SHI. Generasi yang berperan masih
angkatan 2002 dan terbatas di IAIN Walisongo. Hal ini mengingat minimnya alumni
MATU/SIRBIN lulusan 2003 yang melanjutkan studi di IAIN Walisongo, sehingga
kepemimpinan masih bertengger di angkatan 2002. Pada tahun 2004 kondisinya tak
jauh berubah, apalagi alumni MATU/SIRBIN yang melanjutkan studi di IAIN
Walisongo hanya ada 3 orang: yakni Husein (PAI FT), Nasrudin (AS FS), dan Jauhar Mama Umaya (TB FT). Pada tahun 2004 ini, ALTAISIR kurang berkembang.
Baru pada
2005, kepemimpinan bergeser kepada Husein dan angkatan 2004. Mengingat minimnya
alumni MATU/SIRBIN di IAIN Walisongo, maka kepengurusan generasi ini kemudian
melebarkan sayap ke kampus-kampus lain di seputar Semarang, seperti IKIP PGRI,
UNDIP, dan UNNES. Jumlah anggotanya kemudian bertambah. Kegiatan kesantrian dan
intelektual terus digalakkan dari satu kampus ke kampus lain, dengan menjadikan
IAIN Walisongo sebagai sentrumnya.
Silaturahmi
yang awalnya hanya ke SIRBIN kemudian dikembangkan ke Tajul Ulum. Puncaknya,
ALTAISIR mendapat kepercayaan dari MATU untuk menggelar pelatihan MBS (Masa Bar
Sekolah) pada 2006/2007. ALTAISIR diminta memberikan pembekalan bagi para siswa
MATU kelas 3 yang baru saja menyelesaikan UAN. Pembekalan ini seputar apa saja
yang biasa terjadi setelah lulus MA dan apa saja yang perlu disiapkan untuk
mengantisipasinya, apa saja peluang dan tantangan studi di Perguruan Tinggi dan
beasiswa, hingga bagaimana menyiasati persoalan perekonomian.
Pembekalan itu
rupanya memiliki buntut yang lumayan panjang. Angkatan 2007 dan generasi
selanjutnya yang melanjutkan studi di Perguruan Tinggi semakin banyak. Meski
pembekalan itu membawa imbas, tapi hal ini tak bisa dilepaskan dari
kecenderungan global di kalangan santri bahwa kuliah adalah sebuah keharusan
dalam melengkapi portofolio pribadi untuk masa depan. ALTAISIR di IAIN
Walisongo sempat membentuk kepanitiaan nonformal untuk mendampingi para alumni
MATU yang hendak mendaftar di IAIN Walisongo. Beberapa kawan yang membutuhkan
tempat penginapan dan tempat mukim, ALTAISIR mencoba memfasilitasinya.
Beruntung,
generasi ALTAISIR angkatan 2002 dalam hal ini Muhammad Habib, SHI (alm)
diamanahi sebagai lurah Asrama Mahasiswa Walisongo. Sehingga, para alumni MATU
yang belum mendapatkan tempat menginap bisa singgah sementara di asrama.
Beberapa alumni MATU juga disalurkan untuk menjadi takmir di masjid, musala,
sekaligus TPQ untuk mensyiarkan Islam. Sekaligus, mereka mendapatkan tempat
bernaung secara cuma-cuma.
Angkatan 2004
termasuk lama dalam memegang kepengurusan, setidaknya sampai tahun 2008 ketika
angkatan 2007 sudah mulai mahir dalam mengelola organisasi. Kepemimpinan
kemudian berpindah ke generasi 2007, mengingat angkatan 2005 dan 2006, tak
banyak alumni MATU dan SIRBIN yang melanjutkan studi di Perguruan Tinggi. Ketua
dipegang oleh Himam Nasiruddin. Selepas 2009, saya tak banyak lagi terlibat
dalam kegiatan ALTAISIR karena hijrah ke Jogja.
Alaa kulli
haal. Satu hal yang menjadi catatan penting. ALTAISIR didirikan bukan
sekadar wadah berkumpul dan grubyak-grubyuk. Lebih dari itu, ALTAISIR berkait dengan soal hidup-mati
identitas santri di dada para alumni pesantren, wahana dalam bertarung melawan kultur
baru, bernegosiasi dalam hal etika, norma baru, dalam dunia global yang semakin
menisbikan tata nilai dan norma. Bagi almamater, ALTAISIR adalah ruang untuk
mengelola alumni.
M. Nasrudin
Ayah dari seorang anak. Suami dari seorang istri.
Berproses di MATU dan SIRBIN (2001-2004), IAIN
Walisongo dan ALTAISIR (2004-2009).
Comments