Skip to main content

Sweeping vs Makmurkan Masjid


detik.com
“Saya perintahkan untuk men-sweeping masjid-masjid NU di seluruh Indonesia.” Kata Nusron Wahid saat harlah ke-77 Gerakan Pemuda (GP) Ansor beberapa waktu lalu (detik.com). Ia memerintahkan jajaran GP Ansor dan Banser untuk men-sweeping masjid NU dari mereka yang berjenggot, bercelana cingkrang, dan berdahi hitam. Instruksi ini dikeluarkan menyusul penetapan pemerintah siaga satu menghadapi gerakan radikalisme. Instruksi Ansor ini juga didukung PBNU.

Secara umum kita mengapresiasi kesigapan segenap elemen bangsa, terutama GP Ansor dan Banser (Barisan Ansor Serbaguna) untuk mengamankan NKRI, dan khususnya masjid NU dari serbuan gerakan radikal, baik yang berorientasi gerakan keagamaan, politik, NII, sampai terorisme. Namun, ada tiga hal yang harus dicermati. Pertama, mengapa masjid NU bergeser menjadi basis gerakan radikal. Kedua, mengapa tindakan yang diambil adalah sweeping. Ketiga, mengapa yang di-sweeping adalah mereka yang berjenggot panjang, bercelana cingkrang, dan berdahi hitam?



La yamuutu wa laa yahya
Masjid NU dipahami sebagai masjid yang dikelola oleh masyarakat secara umum. Sejauh pengamatan penulis, belum ada satu masjid pun yang papan namanya mencantumkan label “Masjid NU”. Beberapa di antaranya terletak di areal pesantren sedang sebagian besar menyebar di kampong-kampung. Biasanya, di masjid NU terdapat kegiatan khas, mulai yasinan, tahlilan, manaqiban, pengajian umum rutin, lailatul ijtima’, pengajian alQuran atau kitab selepas maghrib dan subuh.


Dalam kondisi normal, dimana masjid menjadi basis kegiatan masyarakat NU, maka akan sangat susah bagi gerakan radikal untuk masuk ke dalam masjid. Buktinya, selama ini belum ada masjid pesantren NU, dimana kegiatan NU marak dilaksanakan, yang sukses diubah menjadi basis gerakan radikal. Karena faktanya, oknum gerakan radikal bisa masuk ke dalam masjid, hanya ketika masjid tersebut ditinggalkan oleh jemaahnya.

Bisa kita cek di kampung kita masing-masing. Dari sekian masjid NU, berapa di antaranya yang masih makmur dengan kegiatan keagamaan? Berapa masjid yang setiap ba’da maghrib dan subuh diramaikan dengan anak-anak yang mengaji? Berapa masjid yang setiap malam anak-anak kampung tidur di dalamnya untuk meramaikan shalat malam dan subuh berjamaah? Bisa dihitung dengan jari.

Kini, banyak masjid kampung tanpa kegiatan. Kalaupun ada, yang meramaikan hanyalah orang-orang tua. Anak-anak muda lebih asyik bermain di dunia mereka sendiri yang relatif jauh dari masjid. Nah, inilah celah yang dimanfaatkan oleh gerakan radikal untuk masuk dan meramaikan masjid. Masyarakat juga abai dan diam-diam mendukung gerakan ini, karena yang terpenting adalah masjid tersebut ada kegiatan. Karena mereka giat ke masjid, perlahan tampuk kepemimpinan takmir bergeser ke tangan mereka. Dengan jabatan ini, mereka berkuasa menggeser haluan masjid dan menjadikan masjid sebagai basis gerakan.

Berkaca dari akar masalah ini, maka solusi yang harus dilaksanakan adalah gerakan kembali memakmurkan masjid dengan kegiatan keagamaan yang produktif dan inklusif. Anak-anak muda harus digiring ke masjid kembali. Orang tua harus mengarahkan anak-anak untuk kembali belajar dan mengaji di masjid. Dan NU secara organisatoris perlu menjadi pelopor revitalisasi masjid. NU punya banyak ulama, banyak potensi kegiatan, banyak santri yang bisa dikerahkan untuk memakmurkan sekaligus membentengi masjid dengan humanis dan cantik.

Dan ketika berhadapan dengan masjid di mana gerakan radikal sudah bercokol, siapkan saja santri-santri untuk berdialektika dengan mereka. Semoga dengan demikian, mereka menjadi paham bahwa Islam itu luas, tidak hanya apa yang mereka pahami. Bahwa Islam itu rahmat bagi sekalian alam. Saya pikir ini lebih masuk akal.

Terjebak simbol
Instruksi sweeping juga kurang bijak. Pertama, karena masjid adalah baitullah, rumah Allah swt. Siapa pun tidak bisa melarang hamba untuk menuju Tuannya, termasuk negara, Banser, atau siapa pun.Kedua, masjid adalah wilayah publik, siapa pun berhak mengunjunginya. Apalagi yang berkunjung adalah seorang muslim, meski beda tafsir dan beda gerakan. Terlebih mereka hendak memakmurkan masjid. Maka tidak ada alasan untuk melarang apalagi mengeluarkan mereka dari masjid, sepanjang mereka tidak terbukti atau tertangkap tangan merusak atau mengotori masjid. Ketiga, dengansweeping, berarti kita melanggar hak-hak konstitusional dan main hakim sendiri.

Jangankan terhadap mereka yang akan memakmurkan masjid, Nabi sendiri tidak mengusir seorang badui yang masuk ke masjid. Dan ketika badui tersebut kencing di dalam masjid, Nabi menyuruh agar bekas kencing tersebut disucikan dengan disiram air. Maka masih ada alasan untuk mengusir mereka dari masjid? Jikalau tetap melakukan sweeping, lantas apa bedanya NU dengan ormas-ormas radikal yang biasa men-sweeping tempat-tempat maksiat? Kalau ormas radikal men-sweeping tempat maksiat agar hilang, maka Ansor men-sweeping masjid.

Atas dasar itulah, maka perintah sweeping tersebut keluar dari pokok permasalahan dan tidak menyelesaikan masalah. Apalagi, kriteria sasaran sweeping adalah berjenggot, bercelana cingkrang, dan berdahi hitam. Apakah mereka yang berjenggot hitam otomatis radikal? Apakah semua yang bercelana cingkrang adalah teroris? Apakah mereka yang berdahi hitam itu NII? Bagaimana jika warna hitam di dahinya adalah bekas kecelakaan?

Berjenggot itu mengikuti perilaku Nabi. Memakai celana cingkrang juga. Warna hitam di dahi adalahatsar sujud. Mereka memiliki rujukan hadits dan al-Qur’an. Boleh jadi kita memahami dengan cara yang berbeda atas hadits-hadits tersebut. Penulis sendiri memahami hadits celana congkrang itu tidak secara tekstual, karena ilat celaan terhadap mereka yang bercelana di bawah mata kaki adalah bukan karena ukuran celana, melainkan karena kesombongan, di tengah gurun Arab yang tandus dan mahal bahan pakaian.

Tapi hal itu bukanlah alasan bagi kita untuk menghakimi mereka semena-mena dan melarang mereka yang berjenggot beribadah di masjid. Benar bahwa mereka memahami agama secara tekstual, tapi apakah itu alasan bagi kita untuk menghakimi? Bukankah Imam Maliki—dengan mengafirmasi qaul sahabat dan af’al ahlu madinah, dan Imam Dawud Adz-zahiri juga dalam titik tertentu tak kalah literalnya? Maka apakah kita juga akan men-sweeping para ulama ini sekiranya ulama-ulama ini hidup?

Memang dalam pemikiran tekstual semacam itu bisa membawa kepada tekstualitas dalam gerakan bernegara. Tapi potensi itu bisa dikendalikan, sejauh kita bisa mendekati mereka dan membuktikan bahwa Islam benar-benar rahmat bagi sekalian alam, tanpa harus terjebak dalam simbol-simbol. Dan bukankah bila kita men-sweeping mereka yang berjenggot, bercelana cingkrang dan berdahi hitam juga terjebak dalam pemikiran sederhana, dalam simbol-simbol? Jika seperti ini, apa bedanya kita dengan mereka yang kita cap dengan tekstualis dan literalis itu? Allahu a’lam. []

M. Nasrudin
Alumnus Pesantren Sirojuth Tholibin. Anak muda NU.

Dirilis di http://sirojuth-tholibin.net/2011/05/sweeping-vs-makmurkan-masjid/

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Merancang Riset dan Pengembangan Hukum Ekonomi Syariah

  Kali ini saya berkolaborasi dengan Mas Suaidi dari UIN Madura, ini sudah ke berapa kali. Kalau yang sudah publish ketiga kali. Konsep artikel ini kita diskusikan berdua. Mulanya, Suaidi mengkonsep tentang fondasi filosofis untuk riset-riset dalam bidang hukum ekonomi syariah.  Nah, setelah dibaca-baca dan kita diskusikan, ternyata kosep ini bisa dikembangkan lebih lanjut. Bagaimana pengembangannya? Dalam bidang hukum ekonomi syariah, selain riset, yang tak kalah penting adalah pengembangan atau development.  Jadi, artikel ini saya kembangkan menjadi metodologi riset dan pengembangan (RnD).  Karena hari ini, riset saja tidak cukup. Ia harus memberikan dampak. Ya mau tak mau, akhirnya development ini saya masukkan.  Jadi seperti apa risetnya? Langsung saja baca naskahnya dan didiskusikan. https://e-journal.metrouniv.ac.id/muamalah/article/view/10201 

Kunci itu Bahasa (Arab)

Tak dipungkiri, bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan umat Islam dalam berkomunikasi dengan tuhannya, baik lewat firman-firmanNya dalam al-Qur’an atau lewat bacaan-bacaan shalat. Dalam dunia akademik, terutama IAIN, ia menjadi kunci master yang akan bisa membuka hampir semua ilmu pengetahuan di IAIN. Betapa tidak? Coba analisa berapa mata kuliah yang berkaitan dengan bahasa Arab, karena memang literatur yang digunakan adalah bahasa Arab, mulai dari fiqh, ushul fiqh, tauhid, tasawuf, tafsir, hadits, dan seterusnya. Nah, pada kesempatan ini, kita akan lebih mengerucutkan pembahasan ke dalam penggunaan bahasa Arab sebagai pisau analisa untuk memahami teks-teks Arab untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan. Keterampilan memahami teks Arab ini kiranya lebih urgen dan mendesak ketimbang misalnya kita belajar muhadatsah . Bukan berarti muhadatsah dan maharah lain tidak penting, Melainkan, kebutuhan mendesak kita adalah bahan referensi yang kebanyakan dalam bahasa Arab. Barang kali yang a...

Ringkasan Hasil-hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang

بسم الله الرحمن الرحيم A. KOMISI BAHTSUL MASA`IL DINIYAH WAQI’IYYAH 1. Hukum mengingkari janji bagi pemimpin pemerintahan. Pertanyaan: 1) Bagaimana status hukum janji yang disampaikan oleh pemimpin pada saat pencalonan untuk menjadi pejabat publik, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif? 2) Bagaimana hukum mengingkari janji-janji tersebut? 3) Bagaimana hukum tidak menaati pemimpin yang tidak menepati janji? Jawaban: 1) Status janji yang disampaikan oleh calon pemimpin pemerintahan/pejabat publik, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dalam istilah Fiqh, ada yang masuk dalam kategori al-wa’du (memberikan harapan baik) dan ada yang masuk dalam kategori al-‘ahdu (memberi komitmen). Adapun hukumnya diperinci sebagai berikut: Apabila janji itu berkaitan dengan tugas jabatannya sebagai pemimpin rakyat, baik yang berkaitan dengan program maupun pengalokasian dana pemerintah, sedang ia menduga kuat bakal mampu merealisasikannya maka hukumnya mubah (boleh). Sebaliknya,...

Kuliah Agama Tugas Manusia Menurut Agama

via IFTTT

asyik-asyik

Yah inilah dia manusia manusia. Dari kiri Hamdani, Arif The serious man, Nasrudin, Lina, n Ela. Foto diambil di depan kampus IKIP PGRI Jln Dr. Cipto Semarang, kamis terakhir di bulan Maret 2006

Aswaja: Dari Mazhab Menuju Manhaj

Aswaja: Sebuah Penelusuran Historis Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang bermuculan dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya aswajalah yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte. Hingga dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keislaman. Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi wafat. Kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali KW, pengganti Utsman untuk bertanggung jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal. Muawiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr b...