Skip to main content

sepotong senja buat mutiaraku

Sepotong senja untuk mutiaraku


Ah biasa dan memang biasanya begitu. Daerah di belakang gedung H itu merupakan tempat favorit. Setidaknya semua mahasiswa menyatakan bahwa Fakultas ini adalah fakultas yang paling beruntung. Betapa tidak, sebuah jurang menghadap ke arah pantai laut jawa berdiri tegak. Beberapa pohon mangga menawarkan buah dan kesejukan yang ditemani oleh angin laut yang di pagi itu begitu menyegarkan. Dan jika malam hari, angin itu akan berubah menjadi udara hangat. Tak salah karena memang itu adalah angin laut.

Dan tak salah juga jika tempat itu menjadi tempat yang paling banyak dikunjungi oleh teman-teman ketimbang perpustakaan. Ya, inilah dunia yang kata orang begitu indah. Apa saking indahnya hingga aku hanya terpaku pada sebuah fenomena? Atau jangan-jangan malah menambah daftar nama masyarakat yang tak kuasa membayar nyawa?

Senja itu memang indah, kawan. Seindah warna yang tak pernah beranjak dari bianglala. Ini memang fitrah. Aku. Seorang anak manusia dengan setumpuk hasrat hanya menjadi bagian dari kehidupan yang kadang kala terlalu menyakitkan untuk diingat dan kadang justru terlalu indah untuk tidak dikenang.

Kembali aku berbicara tentang senja. Benar, senja pulalah yang mengantarkan saudaraku menuju ke alam keabadian. Masih lekat dalam ingatan ini, bagaimana Alif mencari namanya di remang-remang senja di sebuah kaki bukit yang ditumbuhi banyak pohon cengkeh dan pala. Gunung itu dikenal dan sering disebut dengan nama Marapi. Tak tahu kenapa mereka memangginya demikian. Dan aku, meskipun penduduk yang tak jauh dari gunung tersebut tak paham. Barang kali nama itu agar mudah diingat dan disebut. Atau karena nama itu mempunyai daya magis tersendiri untuk kalangan daerah kampung ini.

Alif beserta namanya tak pernah kembali. Karena ia menemukan tempat yang cocok bagi dirinya. “ aku mau menjemput senja”, katanya pada paman Albar, Niniek-Mamakku. Tapi mengapa? Mengapa harus Senja? Bukannya aku yang seharusnya ia jemput. Karena aku lah yang paling berhak dan paling pantas untuk menjadi pemegang kunci pintu hatinya. Dan aku pula yang mengantarkan Alif menemui gurunya saat hujan menghiasi pepohonan desa kami.

Selama ini, aku merasa bahwa hidupku telah berakhir di tangan Senja. Ia yang telah begitu meraja dan menguasai manusia. Tidak!!! Sekali lagi tidak. Tak mau aku berada di bawah Senja. Maka aku di sini, di Jurang ini aku teriakan, aku proklamirkan, “Senja, cukup sudah kamu memisahkan aku dari Alif” . Saat ini, tanganku masih mengepal, mengumandangkan nada jemu. Barang kali setitik kekuatan akan menunjukkan batang hidungnya di ujung jemariku.

Benar saja. Tuhan tak pernah bermain dadu. Bagiku, Alif adalah Alif. Ia bukanlah Senja yang selalu muncul dan menjelma malam. Senja tetaplah sebuah teks yang berkelindan di sela-sela ufuq barat. Ia akan menghantui setiap tarikan nafas. Dan Alif tak pernah bohong pada lidahnya sendiri.

“Tapi, nafas tak pernah meminta ganti rugi. Meski aku telah kehilangan hatiku. Aku tak pernah memintanya pada Senja untuk membuatkan hati lagi. Alif, aku tak pernah menyesali hatiku yang kamu pinjam kemarin, sebelum aku pergi ke Jawa. Meski kau sekali-kali tak pernah mengembalikanya padaku. Tapi, yang paling berharga bagiku adalah hatiku itu. Mengapa kamu meminjamkannya kepada Senja yang baru kemarin pagi kamu kenal?” tuntutku pada kesediaanmu.

Tak habis pikir, jika ternyata aku meminta kepada emosiku untuk memaafkannya. Tapi benarkah? Mingkinkah? Yang jelas, makna hati telah mengguncang seluruh peradaban. Inikah yang engkau namakan dengan kalimat? Ataukah yang kalian katakan dengan cinta? Mungkin iya, aku tak melakukan kesalahan diagnosis.



Semarang,
PKM Bawah Tanah
Fak. Syariah.


M. Nasrudin
http://geocities.com/nasrudin_muhammad

Comments

Popular posts from this blog

Mars dan Hymne IAIN Metro

Mars IAIN Metro Jayalah IAIN Metro Tegap menuju masa depan Tak gentar bersaing tunjukkan kearifan Di bumi persada Kembangkan ajaran Islam Tekuni ilmu dan teknologi Peduli harmoni menjadi jati diri Cita-cita mandiri Marilah seluruh civitas akademika Membaca dan berkarya Menjadi generasi intelektual bangsa Berakhlak mulia Majulah IAIN Metro Majulah civitas akademika Membangun generasi bertakwa pada Ilahi Berkhidmat untuk negeri 2x Jayalah jayalah IAIN Metro ***** HYMNE IAIN Metro Di gerbang Sumatera Lampung tercinta IAIN Metro berada Tempat kami berjuang Tempat kami mengabdi Berbakti pada Ilahi Melangkah dengan Iman dan Taqwa Mengabdi pada bangsa dan negara Di bumi pertiwi kami berpijak Bernaung atas RidhoNYA Syukur dan harapan slalu kami panjatkan Untuk kejayaan Islam rahmat alam semesta Ilmu dan iman menjadi landasan Membangun generasi Indonesia Jaya

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel

Khutbah Idul Fitri 1437 H: Menginsafi Dua Fitrah Manusia

===   الخُطْبَةُ الأُولَى   === اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَتَمَّ لَنَا شَهْرَ الصِّيَامِ، وَأَعَانَنَا فِيْهِ عَلَى الْقِيَامِ، وَخَتَمَهُ لَنَا بِيَوْمٍ هُوَ مِنْ أَجَلِّ الْأَيَّامِ،   وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، الواحِدُ الأَحَدُ، أَهْلُ الْفَضْلِ وَالْإِنْعَامِ، وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ إلَى جَمِيْعِ الْأَنَامِ،   اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ التَّوْقِيْرِ وَالْاِحْتِرَامِ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ .     أَمَّا بَعْدُ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْ

Dengan Buku, Haji Melawan

SEMASA KOLONIAL, pesantren, utamanya bila pengasuhnya seorang Haji, menjadi sasaran tembak penguasa. Ini tak lepas dari ideologi pan-Islamisme dan nasionalisme relijius yang dibawa dan dikembangkan seorang Haji. Sudah menjadi kelaziman, saat berhaji, seorang jama’ah singgah beberapa tahun di Haramayn (Makkah dan Medinah). Mereka tidak hanya belajar agama. Mereka membangun jejaring pengetahuan, ideologi, bahkan afiliasi politik. Pada musim haji, ratusan ribu jamaah dari seluruh dunia berkumpul. Pertukaran ilmu, pengetahuan, pengalaman, serta informasi menjadi niscaya. Di sinilah, nasionalisme dan persaudaraan sesama muslim yang terjajah, kian terpupuk. (A. Azra, 2004:46). Tatkala kembali ke negeri asal, bekal ideologi itu dikembangkan. Gerakan Haji ini amat berpengaruh. Bisa dilihat, bagaimana kebijakan kolonial membendung gerakan Haji, dari Ordonansi guru agama (1905), pelarangan haji (1908), pengawasan pendidikan Islam, hingga pengawasan atas penghulu.(Aqib S,1985:19).

Doa Memulai Pengajian Al-Quran, Ilahana Yassir Lana

Berikut ini adalah doa yang biasa dibaca sebelum memulai mengaji al-Quran.  Ilaahana yassir lanaa umuuronaaa 2 x Min diininaaa wa dun-yaanaaa 2 x Yaa fattaahu yaa aliim 2 x Iftah quluubanaa 'alaa tilaawatil qur'aan 2 x Waftah quluubanaa alaa ta'allumil 'uluum 2x