Alhamdulilah aku berkesempatan untuk pulang ke rumah di Lampung walau tak lama sih, cuman empat belas hari. Tapi setidaknya aku bias merasakan kebahagiaan dengan melepas kangen dnegan adik-adikku yang ngegemesin.
Adalah hal yang sudah wajar dan biasa jika kita memperingati pergantian tahun pada penanggalan Hijriyah. Dari sini, kita kemudian diingatkan bagaimana peerjuangan Nabi dulu yang lari dari kejaran para pemuka Quraysh yang tidak suka dengan agenda yang dijalankan Muhammad.
Sekali lagi wajar memang karena Muhammad mengajarkan persamaan dan keadilan, suatu nilai yang sangat diangungkan dan masih belum pernah terwujud dalam kehidupan Makkah yang begitu kapitalis. Di makah yang berkuasa adalah para bangsawan dan saudagar yang sangat berpengaruh.
Kondisi ini, di satu sisi menimbulkan gap yang cukup menganga dan kentara pada masa itu. Karenanya, islam datang untuk menyelamatkan dan mengangkat kaum yang termarjinalkan ke permukaan. Karena bagi islam, inna akromakum indallahi atqookum. Yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Allah la yanzuru ila shuwarikim wa la ila ajsaadikum. Tuhan tidak memandang seseorang karena tampangnya, jasadnya.
Akan tetapi, hal ini menjadi ancaman bagi Status Quo yang ada di Makkah. Akibatnya, perlakuan yang tak mengenakkan berulang kali harus ditanggung oleh Muhammad dan sahabatnya. Dan hijrah menjadi pilihan selanjutnya yang paling logis. Hijrah ini memiliki arti politik yang cukup kuat. Terbukti Nabi ketika sampai di Madinah diangkat sebagai pemimpin masyarakat yang sedang bertikai.
Dan ketika kita melihat sejarah yang sedemikian itu, maka upaya ‘MEMPERINGATI” tahun baru hijriyah adalah hal yang tak terelakkan.
Sayangnya, tampaknya kita telah terjebak pada romantisme. Ini bisa terlihat pada kenyataan yang ada pada saat ini di mana tahun baru ini DIRAYAKAN dengan begitu mewah. Di tepi sungai Musi Palembang, pesta kembang Api begitu hebat dan meriah. Kontras dengan tahun baru 2006. Dan jika kita mengingat saudara-saudara yang teraniaya dan menderita karena bencana mengapa kita hanya berpesta pora dengan mengatasnamakan ritual keagamaan. Sungguh tindakan yang tidak terpuji.
Jika demikian, agama tak lebih dari sekedar sapi perah yang diambil habis-habisan susunya demi memenuhi kebutuhan perut-perut yang selalu kelaparan dan kehausan akan harta dan kekuasaan serta kebahagiaan sesaat di dunia ini. Naudubillah
Adalah hal yang sudah wajar dan biasa jika kita memperingati pergantian tahun pada penanggalan Hijriyah. Dari sini, kita kemudian diingatkan bagaimana peerjuangan Nabi dulu yang lari dari kejaran para pemuka Quraysh yang tidak suka dengan agenda yang dijalankan Muhammad.
Sekali lagi wajar memang karena Muhammad mengajarkan persamaan dan keadilan, suatu nilai yang sangat diangungkan dan masih belum pernah terwujud dalam kehidupan Makkah yang begitu kapitalis. Di makah yang berkuasa adalah para bangsawan dan saudagar yang sangat berpengaruh.
Kondisi ini, di satu sisi menimbulkan gap yang cukup menganga dan kentara pada masa itu. Karenanya, islam datang untuk menyelamatkan dan mengangkat kaum yang termarjinalkan ke permukaan. Karena bagi islam, inna akromakum indallahi atqookum. Yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Allah la yanzuru ila shuwarikim wa la ila ajsaadikum. Tuhan tidak memandang seseorang karena tampangnya, jasadnya.
Akan tetapi, hal ini menjadi ancaman bagi Status Quo yang ada di Makkah. Akibatnya, perlakuan yang tak mengenakkan berulang kali harus ditanggung oleh Muhammad dan sahabatnya. Dan hijrah menjadi pilihan selanjutnya yang paling logis. Hijrah ini memiliki arti politik yang cukup kuat. Terbukti Nabi ketika sampai di Madinah diangkat sebagai pemimpin masyarakat yang sedang bertikai.
Dan ketika kita melihat sejarah yang sedemikian itu, maka upaya ‘MEMPERINGATI” tahun baru hijriyah adalah hal yang tak terelakkan.
Sayangnya, tampaknya kita telah terjebak pada romantisme. Ini bisa terlihat pada kenyataan yang ada pada saat ini di mana tahun baru ini DIRAYAKAN dengan begitu mewah. Di tepi sungai Musi Palembang, pesta kembang Api begitu hebat dan meriah. Kontras dengan tahun baru 2006. Dan jika kita mengingat saudara-saudara yang teraniaya dan menderita karena bencana mengapa kita hanya berpesta pora dengan mengatasnamakan ritual keagamaan. Sungguh tindakan yang tidak terpuji.
Jika demikian, agama tak lebih dari sekedar sapi perah yang diambil habis-habisan susunya demi memenuhi kebutuhan perut-perut yang selalu kelaparan dan kehausan akan harta dan kekuasaan serta kebahagiaan sesaat di dunia ini. Naudubillah
Comments