Skip to main content

Kunci itu Bahasa (Arab)


Tak dipungkiri, bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan umat Islam dalam berkomunikasi dengan tuhannya, baik lewat firman-firmanNya dalam al-Qur’an atau lewat bacaan-bacaan shalat.

Dalam dunia akademik, terutama IAIN, ia menjadi kunci master yang akan bisa membuka hampir semua ilmu pengetahuan di IAIN. Betapa tidak? Coba analisa berapa mata kuliah yang berkaitan dengan bahasa Arab, karena memang literatur yang digunakan adalah bahasa Arab, mulai dari fiqh, ushul fiqh, tauhid, tasawuf, tafsir, hadits, dan seterusnya.

Nah, pada kesempatan ini, kita akan lebih mengerucutkan pembahasan ke dalam penggunaan bahasa Arab sebagai pisau analisa untuk memahami teks-teks Arab untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan.

Keterampilan memahami teks Arab ini kiranya lebih urgen dan mendesak ketimbang misalnya kita belajar muhadatsah. Bukan berarti muhadatsah dan maharah lain tidak penting, Melainkan, kebutuhan mendesak kita adalah bahan referensi yang kebanyakan dalam bahasa Arab.

Barang kali yang akan muncul di dalam benak kita saat dikatakan bahasa Arab adalah bahwa bahasa Arab itu susah. Untuk membacanya saja, kita harus menggunakan ilmu nahwu hingga ngelu untuk membolak-balik harakat. Juga perlu ilmu sharaf hingga bikin saraf kaku untuk membentuk kata-kata bahasa Arab menjadi berbagai makna. Dan seterusnya.

OK. Mari kita tinggalkan presumsi dasar semacam itu. Karena itu jelas tidak efektif bagi perkembangan kita ke depan dan hanya akan menghambat laju kita dalam menggapai cita-cita.

Beberapa tips ini Insya Allah akan membantu kita dalam mengolah dan mengasah kemampuan berbahasa Arab. Jangan (pernah) takut. Jangan takut salah, baik dalam mengucapkan kata-kata maupun dalam membaca dan memahami teks berbahasa Arab. Jangan malu bertanya bila mengalami kesulitan (bila benar-benar sulit). Namun, usahakan selesaikan persoalan itu dengan kemampuan sendiri.

Dalam memahami teks Arab, baca dahulu secara utuh, mulai dari halaman depan hingga pertengahan (lebih baik hingga akhir) secara global untuk menyerap makna dan gagasan utama yang hendak disampaikan Mushannif.

Jangan terlalu sering membuka kamus, karena bisa jadi, kata-kata yang dituliskan itu merupakan (dan biasanya) merupakan athaf tafsiri. Dalam kasus ini, makna antara kata sebelum dan sesudah huruf athaf tersebut tidak jauh berbeda, hanya untuk penekanan makna yang dikehendaki oleh Mushanif (baca: majaz).

Bila menemui kata-kata yang asing dan kesulitan, coba pahami siyaqul kalam (konteks kalimat) terlebih dahulu. Dengan demikian, kita akan lebih mudah dalam menebak makna yang dikehendaki Mushanif. Bila tetap saja tidak terpegang makna yang dikehendaki Mushanif, cobalah periksa sekali lagi, jangan-jangan kata itu merupakan kata majemuk yang hanya mampu memberikan makna bila dirangkai dengan kata sebelum dan sesudahnya.

Nah, untuk kasus ini, kita musti hati-hati, karena bisa jadi, makna yang dikehendaki dalam bentuk kata majemuk tidak kita temukan dalam kata penyusunnya. Karena itu, akan lebih baik bila kita memiliki bekal yang memadai tentang budaya Arab.

Selanjutnya, perhatikan penggunaan marji, hal ini bisa dilakukan dengan baik bila kita mampu mengenali identitas setiap kata ganti (dhomir) yang digunakan. Jangan sampai terjebak, karena bila salah penentuan marji' maka makna yang dihasilkan jelas berbeda dengan makna yang dikehendaki Mushanif.

Pahamilah kitab dasar dalam fan tertentu. Semisal dalam disiplin fiqh, pahami terlebih dahulu kitab-kitab fiqh sederhana seperti Safinah atau Taqrib (Fath al Qarib). Karena kitab-kitab yang besar tak lain haya sekedar penjelasan dan catatan kaki atas kitab-kitab dasar tersebut.

Kalaupun kitab tersebut dari pengarang yang berbeda, namun dalam fan yang sama, ada semacam benang merah yang menuntun kita. Ini akan amat memudahkan, karena kitab-kitab tersebut tidak jauh berbeda dnegan kitab dasar yang ringkas dan mudah serta praktis tersebut.

Biasakan juga membaca naskah Arab, seperti saat di internet. Banyak buku digital yang bisa diunduh di internet secara gratis. Sayang banget bila tidak dimanfaatkan dan hanya akan menjadi tumpukan kertas dan file yang tak bermanfaat.

Perbanyak bergaul, ini menjadi kunci dalam menuju kesuksesan. Berani mempraktikan. Mumpung masih semester muda, biasakan menulis makalah dengan referensi buku dalam bahasa aslinya, bukan terjemahan, semampunya. Ini, tak hanya akan membantu dalam penilaian dosen, melainkan juga melatih kita dalam menyelesaikan tugas secara bertanggung jawab, ilmiah. Dan insya allah tidak akan terlalu kesulitan saat harus mencari naskah asli saat menggarap skripsi.

Buatlah komunitas di mana kita bisa saling berbagi dan belajar bareng dalam bahasa Arab. Karena bahasa merupakan pembiasaan. Bila ia tidak dibiasakan, dengan sendirinya bahasa akan hilang. Ingat pepatah Melayu "alah bisa karena biasa". Praktikan di mana saja, perbanyak berlatih.

Gunakan qawaid dasar, kiranya al jurumiyah sudah cukup memberi bekal. Tidak harus menghafal rumus-rumus i'rab yang jumlahnya bejibun itu. Sekarang, sudah banyak program belajar bahasa Arab secara cepat, seperti amtsilaty, Mahir bahasa Arab dalam 30 hari, dan seterusnya.

Bila kesulitan menggunakan kamus shorfi (seperrti kamus Al-Munawir, Mahmud Yunus, Al Misbah, Ensoklopedi Munjid, dlsb) yang mengharuskan penggunanya paham ilmu sharaf (perubahan kata), gunakan saja kamus alfabet. Seperti kamus al Ashri. Ini akan amat memudahkan, terlebih dalam membaca literatur (artikel maupun buku)kontemporer yang ditulis dalam bahasa Arab.

Setelah itu, coba pahami kata per kata, ini dilakukan bila memang temen-temen pengen mendalami bahasa Arab secara lebih intens. Namun, bila mempelajari bahasa hanya sebatas lughah li ilm (language to knowledge) bukan lughah li lughah (language to language).

Usahakan, hindari penterjemahan secara langsung (secara holistik, mujmal) dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Ini hanya akan menghilangkan rasa bahasa dan akan mereduksi kata per kata. Kita biasanya akan kesulitan dalam menyampaikannya kembali dalam bahasa Arab.

Akhiran. Man jadda wajad. Barakallah fikum. Maan najaah

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Ringkasan Hasil-hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang

بسم الله الرحمن الرحيم A. KOMISI BAHTSUL MASA`IL DINIYAH WAQI’IYYAH 1. Hukum mengingkari janji bagi pemimpin pemerintahan. Pertanyaan: 1) Bagaimana status hukum janji yang disampaikan oleh pemimpin pada saat pencalonan untuk menjadi pejabat publik, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif? 2) Bagaimana hukum mengingkari janji-janji tersebut? 3) Bagaimana hukum tidak menaati pemimpin yang tidak menepati janji? Jawaban: 1) Status janji yang disampaikan oleh calon pemimpin pemerintahan/pejabat publik, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dalam istilah Fiqh, ada yang masuk dalam kategori al-wa’du (memberikan harapan baik) dan ada yang masuk dalam kategori al-‘ahdu (memberi komitmen). Adapun hukumnya diperinci sebagai berikut: Apabila janji itu berkaitan dengan tugas jabatannya sebagai pemimpin rakyat, baik yang berkaitan dengan program maupun pengalokasian dana pemerintah, sedang ia menduga kuat bakal mampu merealisasikannya maka hukumnya mubah (boleh). Sebaliknya,...

Mengulik Rahasia Ramadhan: Tiga Derajat Kualitas Puasa

Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin membongkar beberapa rahasia puasa di Bulan Ramadhan. Salah satunya adalah tentang derajat kualitas puasa. Al-Ghazali menjelaskan bahwa kualitas puasa kita bisa diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan. Pertama, puasa umum. Yakni, menjaga perut dan kemaluan dari pemenuhan atas syahwatnya. Menjaga perut artinya tidak makan dan minum. Menjaga kemaluan tentu saja dari aktivitas seksual. Hal ini dilakukan dari terbitnya fajar sampai terbenam matahari. Puasa jenis pertama ini adalah kualitas umum atau standar minimum. Ketika seorang muslim mampu menunaikan puasa dengan baik dan menjaga dari segala hal yang membatalkan puasa, maka ia sudah memenuhi puasa grade standar ini. Kedua, puasa khusus. Kualitas puasa jenis ini lebih istimewa. Puasa jenis ini dilakukan dengan menjaga pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan segala anggota badan dari dosa dan maksiat. Kita tahu bahwa seluruh anggota tubuh tersebut seringkali melakukan ...

Mufassir dan Ahli Fikih

Satu hal yang penting dicatat. Mufassir dan ahli fikih (fukaha) berbeda peran dalam tradisi keislaman. Mufassir berupaya mengurai lapis-lapis makna Kalam Tuhan. Sementara itu, ahli fikih berupaya menerapkan lapis-lapis makna Kalam Tuhan dalam rumusan-rumusan praktis yang bisa langsung diaplikasikan oleh umat. Dengan kata lain, tafsir adalah ilmu pengetahuan yang cenderung bersifat kognitif. Sementara fikih adalah ilmu pengetahuan yang cenderung bersifat psikomotorik-analitik. Dalam menghadapi problem kehidupan, tafsir berperan membukakan peta kehendak Tuhan beserta tujuan akhirnya. Fikihlah yang kemudian mengetok palu, memutuskan rute mana yang harus ditempuh untuk menuju tujuan akhir dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan kontekstual. Objek kajian tafsir adalah teks klasik-historis, maka mufassir harus menguasai ilmu-ilmu kebahasaan dan sejarah keislaman klasik beserta ragam periwayatannya. Sedangkan objek kajian fikih adalah perilaku mukallaf (muslim dewasa) dalam spektrum syaria...

Media Bersuci dalam Fikih (1)

Bersuci dalam fikih membutuhkan media yang digunakan sebagai alat untuk bersih-bersih. Media di sini adalah alat yang oleh syariat diberi status sebagai alat bersuci. Lagi-lagi kata kuncinya adalah status yang diberikan oleh syariat. Sehingga tidak mesti benda yang digunakan untuk bersuci adalah benda yang benar-benar bersih jika dilihat menggunakan kaca mata non-syariat. Ada lima media yang bisa digunakan untuk bersuci. Lima media tersebut adalah air, debu, batu, proses penyamakan, dan proses arak menjadi cuka. Masing-masing memiliki syarat tertentu yang harus dipenuhi. Kelimanya juga memiliki peruntukan yang khusus dalam bersuci. Air digunakan untuk berwudhu, mandi, dan istinja. Debu untuk tayamum sebagai ganti mandi atau wudhu. Batu untuk beristinja saja. Proses penyamakan untuk menyamak kulit bangkai. Proses menjadi cuka untuk arak. Air untuk Bersuci Air Mutlak. Air adalah media primer yang bisa digunakan untuk nyaris semua proses bersuci, baik bersuci dari hadats...

Aswaja: Dari Mazhab Menuju Manhaj

Aswaja: Sebuah Penelusuran Historis Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang bermuculan dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya aswajalah yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte. Hingga dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keislaman. Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi wafat. Kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali KW, pengganti Utsman untuk bertanggung jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal. Muawiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr b...

IBA 05 Dialog di Kantor dengan Bahasa Arab

via IFTTT