Skip to main content

Berebut Ruang di Galeri

“Demi kenyamanan, kami menggunakan sistem shift untuk pengunjung Jogja Gallery”, begitu yang disampaikan oleh seorang perempuan melalui pengeras suara, sesaat setelah pameran resmi dibuka. Benar saja, pengunjung galeri malam itu membludak, Berdasar perhitungan kasar penulis, mencapai lebih dari 200 orang.

Penulis, lewat tulisan ini tidak bermaksud membahas konten pameran Anang Asmara yang menampilkan proses rekonstruksi akan sepenggal budaya berpakaian ala Jawa: batik ke dalam media kanvas. Di sisi lain, penulis merasa perlu memotret sisi lain dari sebuah galeri: para pengunjung yang mulai menyemut di pintu masuk.

Benar saja. Beberapa pengunjung berjalan gesit, memotong jalan melompati beberapa kursi yang sudah kosong. Ia segera masuk pintu. Yang saya tahu, ia adalah wartawan sebuah majalah yang terbit di Solo. Ia segera masuk dan dari dalam, ia mengabadikan momen ketika beberapa orang memasuki pintu. Beberapa fotografer lepas dari Kantor Berita Antara dan beberapa media massa melakukan hal yang sama.

Hanya ada dua pilihan: datang awal dan mengabadikan karya pilihan, saat belum banyak orang memenuhi ruang pamer, hingga ia leluasa mengambil gambar. Pilihan kedua, ia hadir belakangan, sekalian menunggu ruang pamer sepi kembali. Uniknya, ada beberapa wartawan satu media yang bertemu dalam satu forum. Artinya, mereka kurang koordinasi, terlalu sibuk mengejar berita. Itu habitus wartawan media cetak atau on-line.

Sementara, di pojok utara, seorang lelaki dengan jaket rompi RBTV memasang handycam di atas tripod. Ia menghadapkan kamera ke salah satu karya, menyiapkan kamera pada mode otomatis. Klik... “Pemirsa, saya sedang berada di Jogja Galeri. Saat ini, pameran tunggal perupa Anang Asmara baru saja dibuka.” Sesaat ia berhenti dan melanjutkan, “Selamat menikmati. RB TV.”

Itu tadi habitus wartawan televisi (lokal). Ia mengambil satu sesi gambar untuk nantinya diolah menjadi pembuka sekaligus penutup laporannya dalam tayangan berita RBTV. Dan orang-orang di sekitar segera saja mengalihkan perhatian kepada sosok aneh itu. Aneh, karena reporter RBTV itu sekaligus kameraman. Begitulah wartawan. Seperti elang, ia terbiasa terbang sendiri.

Beberapa orang berpakaian sederhana, namun model seperti itu biasa digunakan untuk kondangan. Ia bersama anak, istri, dan kerabat lain bergerombol di sebuah sudut ruang pamer, melihat hasil karya saudara mereka. Mereka adalah keluarga dan kerabat perupa yang sedang pameran yang sengaja diboyong dari Kaliurang. Ini habitus ketiga.

Habitus keempat, beberapa orang berkumpul di tengah ruang pamer. Mereka sepertinya sibuk membincangkan sesuatu. Usut punya usut, ternyata mereka sedang reuni. Karena ternyata, banyak di antara mereka yang dulunya sama-sama kuliah di satu perguruan tinggi. Beberapa kawan lain, juga ikut gabung. Sebagian besar kelompok ini merupakan pengunjung yang berusia di atas 30 tahun.

Ada juga kelompok yang cukup unik. Mereka datang berkelompok, 2-4 orang bahkan lebih. Dari gaya berpakaian, mereka masih mahasiswa di pelbagai perguruan tinggi di DIY. Sesaat setelah pameran dibuka, mereka langsung menyerbu snack dan makanan gratis yang tersedia. Weits.... Ternyata jumlah mereka tidak sedikit, hingga banyak orang menjuluki mereka The Snackers.

“Lumayan, Mas. Bisa menghemat anggaran makan.”, seloroh seorang snacker sembari tertawa ringan. Tangannya penuh beberapa snack. Penulis sempat berbincang dengan seorang sastrawan DIY generasi 80-an yang enggan disebut namanya. Saat ia menjadi mahasiswa, rupanya ia juga sudah menjadi snacker. Ia bahkan punya jadwal pembukaan pameran semua galeri di Jogja. Dasar Snacker!

Golongan keenam. Mereka datang bersama pasangannya. Beberapa di antaranya sudah menikah dan ada yang masih pacaran. Bahkan, ada dua pasangan yang ternyata masih pengantin baru. Itu seloroh yang terdengar dari rekan-rekannya saat melihat kemesraan sepasang sejoli ini. Mereka datang ke situ, karena sekedar ingin refreshing gratis dan berkelas, sekalian dapat makan gratis.

Golongan ketujuh. Mereka bukan wartawan, tapi membawa kamera digital. Sebagian di antaranya wisatawan dari luar kota. Beberapa di antaranya orang Jogja sendiri. Dari objek foto dan caranya menggunakan kamera, tampak jelas mereka hanya sekedar ingin mengambil gambar. Ada beberapa fotografer profesional yang memang mengambil gambar unik, seperti pengunjung yang mengintip di balik lukisan, atau mengintip di bawah label identitas karya yang mengatup, menempel di dinding.

Para pemegang kamera yang unik ini kebanyakan tidak sekedar mengabadikan karya. Beberapa di antaranya, terutama remaja putri berpose di depan sebuah karya lalu dengan sebelah tangan, ia mengambil gambar dengan kameranya. Beberapa remaja lain menggunakan kamera hape. Saat ditanya, buat apa? “Buat dipasang di situs jejaring Facebook ato wallpaper ponsel.” Ini habitus narsis.

Kelompok kedelapan, mereka datang dengan mengenakan mobil pribadi. Di ujung acara, ia biasa menawar berapa harga satu karya. Saat pembukaan, orang seperti ini tidak banyak terlihat, mungkin hanya satu atau beberapa. Mereka lebih sering hadir di balik layar. Beberapa di antaranya tidak ingin terlihat di publik. Ada yang membeli hanya demi memenuhi rasa kepuasan. Beberapa lagi demi investasi jangka panjang.

Kompetisi ruang
Dari celoteh di atas, kita menemukan fakta menarik. Bahwa dimensi ruang tidak lagi didominasi oleh satu kuasa saja. Galeri seni bukanlah medan yang sunyi dari perebutan ruang (space struggle). Lebih dari itu, di sana telah terjadi pengkaplingan ruang. Mulanya, sebuah galeri berdiri sebagai ruang pertemuan antara seniman dan penikmat seni, untuk membincang dan mengapresiasi karya seni.

Dalam perkembangannya, galeri bukanlah benda mati, ia adalah sebuah struktur dan sistem yang membutuhkan suntikan dana untuk bisa bertahan hidup. Atas dasar itu, visi komersial kemudian tampil dan mengemuka. Lebih-lebih, dalam beberapa waktu terakhir, seperti yang dicatat sastrawan Triyanto Triwikromo, tahun ini seni rupa mengalami masa booming untuk wilayah Asia Pasifik.

Maka tidak mengherankan, ketika hampir setiap hari, Jogja selalu penuh dengan pembukaan pameran seni rupa. Beberapa kota lain juga menggeliat seperti Bandung, Jakarta, Bali, bahkan Semarang dan Magelang. Semua menggeliat. Hampir semua karya terjual. Kini, banyak galeri kemudian menjadi ruang yang dikendalikan oleh kuasa komersial.

Namun, siapa sangka, di balik semua itu, para pengunjung galeri kemudian menjadikan ruang galeri, meminjam ungkapan Yasraf, sebagai medan pertarungan secara simbolik dan fisik sekaligus. Mereka berebut kapling ruang galeri sesuai hasrat. Hasrat inilah yang mengajak beberapa mahasiswa untuk menjadi snacker; para alumni Perguruan Tinggi untuk reuni; sepasang kekasih yang rekreasi; fotografer tergila-gila dengan objek lukisan-lukisan menarik; atau wartawan mencari berita.

Mereka meramaikan ruang galeri. Di sisi lain, mereka, sebagai jelmaan visi sosial, juga berebut untuk memberikan makna dan tanda pada ruang. Bagi pemilik galeri, kehadiran para pengunjung boleh jadi menjadi kebanggaan, karena objek komersial melebar. Tapi di sisi lain, mereka yang hadir telah menggunakan ruang sebagai bagian dari bentuk perlawanan atas hegemoni pemilik galeri. Terjadilah perang. []

Source: Jurnal Kreativa FBS UNY edisi Agustus 2009

M. Nasrudin
Penikmat seni. Berkarya sebagai editor pada Penerbit Jalasutra.

Comments

Popular posts from this blog

Mars dan Hymne IAIN Metro

Mars IAIN Metro Jayalah IAIN Metro Tegap menuju masa depan Tak gentar bersaing tunjukkan kearifan Di bumi persada Kembangkan ajaran Islam Tekuni ilmu dan teknologi Peduli harmoni menjadi jati diri Cita-cita mandiri Marilah seluruh civitas akademika Membaca dan berkarya Menjadi generasi intelektual bangsa Berakhlak mulia Majulah IAIN Metro Majulah civitas akademika Membangun generasi bertakwa pada Ilahi Berkhidmat untuk negeri 2x Jayalah jayalah IAIN Metro ***** HYMNE IAIN Metro Di gerbang Sumatera Lampung tercinta IAIN Metro berada Tempat kami berjuang Tempat kami mengabdi Berbakti pada Ilahi Melangkah dengan Iman dan Taqwa Mengabdi pada bangsa dan negara Di bumi pertiwi kami berpijak Bernaung atas RidhoNYA Syukur dan harapan slalu kami panjatkan Untuk kejayaan Islam rahmat alam semesta Ilmu dan iman menjadi landasan Membangun generasi Indonesia Jaya

Perbedaan antara Prodi Ekonomi Syariah dan Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HESy) Muamalah

Muhamad Nasrudin, MH Banyak mahasiswa yang kesulitan dalam merumuskan permasalahan bidang hukum ekonomi syariah, terutama saat hendak mengajukan proposal skripsi ke Jurusan.  Salah satu kesulitan yang dihadapi mahasiswa adalah pemilahan antara hukum ekonomi syariah dengan ekonomi syariah. Banyak draf proposal yang diajukan justru berada pada bidang keilmuan ekonomi syariah, alih-alih hukum ekonomi syariah. Memang kedua bidang keilmuan tersebut berimpitan. Bahkan, objek yang dikaji oleh kedua bidang keilmuan tadi adalah objek yang sama, yakni konsepsi dan praktik ekonomi syariah. Kita bisa menyebutkan, misalnya: jual beli, kerja sama, sewa-menyewa, hutang-piutang, saham, obligasi, perbankan, pasar modal, asuransi, dan sebagaimana. Nah, lalu apa beda di antara ekonomi syariah dan hukum ekonomi syariah? Kuy kita bahas. Pertama, rumpun keilmuan . Ekonomi syariah berasal dari rumpun keilmuan ekonomi. Oleh sebab itu, instrumen analisis dalam riset-riset ekonomi syariah adalah instrumen ekono

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel

Doa Memulai Pengajian Al-Quran, Ilahana Yassir Lana

Berikut ini adalah doa yang biasa dibaca sebelum memulai mengaji al-Quran.  Ilaahana yassir lanaa umuuronaaa 2 x Min diininaaa wa dun-yaanaaa 2 x Yaa fattaahu yaa aliim 2 x Iftah quluubanaa 'alaa tilaawatil qur'aan 2 x Waftah quluubanaa alaa ta'allumil 'uluum 2x

Mengapa Pipis Bayi Perempuan Harus Disiram dan Laki Cukup Diperciki?

Fikih Islam mengenal tiga klasifikasi najis berdasar tingkatan berat-ringannya. Yang paling berat adalah najis mughaladzah. Najis ini adalah seluruh bagian tubuh anjing dan babi beserta segala turunannya. Saking beratnya, cara mensucikan najis ini adalah dengan membasuhnya sampai hilang wujud, baru ditambah tujuh basuhan yang salah satunya dicampur dengan debu. Level yang paling ringan adalah najis mukhafafah . Najis ini hanya ada satu, yakni air seni bayi laki-laki yang belum berusia dua tahun dan hanya mengonsumsi ASI, tak pernah mengonsumsi makanan lain sebagai asupan gizi. Najis ini cukup diperciki dan seketika langsung menjadi suci. Di level tengah ada najis mutawasithah . Ini mencakup semua najis yang tidak masuk dalam klasifikasi ringan atau berat. Cara mensucikannya adalah dengan membasuh najis dengan air mengalir sampai bersih. Bagaimana dengan hukum air seni bayi perempuan? Dari penjelasan ringan di atas, hukum pipis bayi perempuan masuk ke dalam klasifikasi