Skip to main content

Mendefinisikan Agama Melalui Tiga Aspeknya





Sejauh pengamatan penulis, belum pernah ada kesepaktan di kalangan para ahli dan peneliti terkait apa itu agama. Di kalangan pemeluk agama juga belum pernah ada kesepakatan apa itu agama. Satu orang mendefinisikan begini sedangkan yang lain mendefinisikan begitu. Tidak pernah bisa ketemu, dan bahkan nyaris mustahil ada kesepakatan untuk mendefinisikan apa itu agama.

Mengapa bisa demikian?

Ketidaksekapatan ini bisa terjadi lantaran tidak jelasnya batas mana ranah yang dikatakan sebagai agama dan mana yang bukan bagian dari agama. Menulis tulisan ini, misalnya, bisa jadi dipahami sebagai tindakan yang masuk dalam ranah agama. Hal ini jika menulis esai ini dipahami sebagai salah satu upaya saya berbagi ilmu sekaligus melepaskan diri dari dosa kitmân al-ilm (menyembunyikan ilmu).

Akan tetapi, boleh saja saya sebagai sebagai aktor dalam menulis teks ini memahami tindakan menulis esai ini hanya sebatas mengisi waktu luang agar dianggap sibuk atau mencari-cari kesibukan agar terbebas dari kesibukan lain yang tidak saya sukai, misalnya. Dalam konteks ini, tentu kegiatan menulis esai ini lepas dari ranah agama.

Nah, susahnya mencari batas antara ‘agama’ dan ‘bukan agama’ ini pada akhirnya membuat kita tidak pernah bisa satu kata dalam mendefinisikan apa itu agama.

Namun demikian, setidaknya kita bisa bersepakat dalam aspek-aspek apa saja yang terdapat dalam agama, yang membedakan ia dari “bukan agama”. Sekurang-kurangnya ada tiga aspek di mana kita bisa bersepakat, yakni: (i) konsepsi tentang Yang Maha Kuasa; (ii) bagaimana manusia membangun hubungan dengan Yang Maha Kuasa; dan (iii) agen yang berperan dalam proses nomor (ii) di atas.

Yang Maha Kuasa
Setiap agama selalu mengenal Ia Yang Maha Kuasa, Maha Segalanya. Ia biasa disapa dengan berbagai sebutan sesuai tradisi agama masing-masing yang tentu saja berbeda. Ada yang memanggilnya Allah (dengan dua pelafalan yang berbeda dalam tradisi Islam dan Kekristenan), Yahweh, Sang Hyang Widhi, Budha (dalam tradisi tertentu, misalnya mahayana), Tian, Dewa, Zeus, Amaterazu, dan sebagainya.

Tentu saja setiap agama memiliki konsepsi yang berbeda terkait siapa dan bagaimana Yang Maha Kuasa itu. Ada yang memahaminya secara antropomorfis, yakni memiliki sifat-sifat yang insani tapi sekaligus adi-insani. Ada yang mutlak adi-insani, melampaui kuasa manusia dan seluruh makhluk. Ada juga yang tak terdefinisikan, namun diyakini keberadaannya.

Dan ketika masuk pada ranah konsepsi, tentu saja hal ini melibatkan kreativitas manusia dalam mengembangkan konsep, tafsir, pemahaman, dan pemaknaan yang berkembang dan beraneka, bahkan dalam satu tradisi keagamaan. Dalam Islam sendiri, misalnya, dikenal tradisi asy’ariyah, maturidiyah, syiah, dan wahabiyah yang berbeda dalam konsepsi ketuhanan (baca: ilmu tauhid/kalam). Dan ini adalah wajar adanya.

Relasi Manusia-Yang Maha Kuasa
Setelah mengakui bahwa di luar sana ada kekuatan yang sangat maha segalanya, manusia merasa perlu untuk menjalin hubungan yang baik lagi harmonis dengan Sang Maha Kuasa tadi. Upaya manusia dalam membangun hubungan ini mewujud dalam ritus-ritus tertentu yang khas dan unik sesuai tradisi agama masing-masing.

Dalam Islam hal ini disebut dengan ibadah. Lebih lanjut Islam mengenal setidaknya dua bentuk ibadah, yakni ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Yang pertama adalah ibadah yang murni menjadi hak Allah, di mana hanya ada manusia dan Allah, tidak ada pihak ketiga dalam relasi ini. Sementara yang kedua adalah ibadah yang di dalam relasi tersebut ada pihak ketiga yang turut mendapatkan manfaat dalam ibadah tersebut.

Agama selain Islam juga mengenal bagaimana mereka menjalin hubungan dengan Yang Maha Kuasa. Maka muncullah ritus kebaktian, misa, upacara, puasa, persembahan, pengorbanan, pemujaan, ngaben, dan seterusnya. Tentu saja masing-masing agama memiliki aturan yang relatif ketat dan baku, serta berlaku secara universal di kalangan pemeluknya.

Agen

Pertanyaannya yang selanjutnya adalah, bagaimana manusia bisa mengetahui dan mengenal Yang Maha Kuasa? Dalam tradisi keagamaan tradisional, manusia melihat gejala-gejala alam yang tidak bisa ia taklukkan, sekaligus belum bisa ia uraikan dalam postulat-postulat ilmiah. Angin yang memporak-porandakan pepohonan; batu besar yang wingit; pohon besar nan lebat, misalnya.

Semua itu tampak hebat. Manusia merasa bahwa di balik benda-benda tersebut ada kekuatan besar. Nah, kekuatan inilah yang disebut sebagai tuhan (dengan t kecil). Mereka kemudian mendefinisikan sendiri seperti apa kekuatan tersebut. Manusia lantas merancang sendiri bagaimana menjalin komunikasi dan relasi dengan kekuatan tersebut.

Di sisi lain, ada pula yang meyakini bahwa Yang Maha Kuasa memperkenalkan diri kepada manusia. Apakah semua manusia mendapatkan kesempatan ditemui Yang Maha Kuasa? Tentu tidak. Hanya orang-orang tertentu yang mendapatkan kesempatan istimewa ini. Dalam tradisi Semit, orang-orang istimewa ini disebut sebagai Nabi atau Rasul. Kepada merekalah, Yang Maha Kuasa memperkenalkan diri, menegaskan siapa diri-Nya, mengajarkan bagaimana sifat-sifat-Nya.

Lebih dari itu, Yang Maha Kuasa juga mengajarkan bagaimana cara membangun relasi yang baik dengan-Nya. Apa saja yang harus dilakukan manusia. Apa saja yang tidak boleh dilakukan manusia, dan seterusnya. Nah, manusia-manusia pilihan inilah yang menjadi agen atau penyalur pesan-pesan dari-Nya kepada umat manusia. Pesan-pesan ini dalam tradisi Islam disebut sebagai wahyu qauliyah.

Tradisi agama-agama yang menggunakan pola agen semacam ini biasa disebut sebagai agama samawi. Sementara itu, agama yang nyaris tidak menggunakan agen biasa disebut sebagai agama ardhi. Meski demikian, yang terakhir ini tidak benar-benar tanpa agen. Karena bagaimana pun, tradisi agama ardhi mengenal pemuka agama yang menjadi penghubung antara manusia dengan Tuhan hanya saja polanya tidak seketat dalam tradisi agama samawi.

Nah, jika ada suatu entitas yang sudah memenuhi ketiga aspek di atas, maka ia bisa disebut sebagai agama. []



Note: 
Ini adalah bahan diskusi kelas Studi Islam, medio September 2016. Upaya pendefinisian ini tentu saja bersifat dasar dan sementara, sebatas digunakan untuk mengenali apa itu agama, sebagai langkah awal untuk melakukan kajian terhadap agama. Adapun pendefinisian yang lebih lanjut silakan baca buku-buku yang lebih tebal dan lebih dalam pembahasannya.


Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Perbedaan antara Prodi Ekonomi Syariah dan Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HESy) Muamalah

Muhamad Nasrudin, MH Banyak mahasiswa yang kesulitan dalam merumuskan permasalahan bidang hukum ekonomi syariah, terutama saat hendak mengajukan proposal skripsi ke Jurusan.  Salah satu kesulitan yang dihadapi mahasiswa adalah pemilahan antara hukum ekonomi syariah dengan ekonomi syariah. Banyak draf proposal yang diajukan justru berada pada bidang keilmuan ekonomi syariah, alih-alih hukum ekonomi syariah. Memang kedua bidang keilmuan tersebut berimpitan. Bahkan, objek yang dikaji oleh kedua bidang keilmuan tadi adalah objek yang sama, yakni konsepsi dan praktik ekonomi syariah. Kita bisa menyebutkan, misalnya: jual beli, kerja sama, sewa-menyewa, hutang-piutang, saham, obligasi, perbankan, pasar modal, asuransi, dan sebagaimana. Nah, lalu apa beda di antara ekonomi syariah dan hukum ekonomi syariah? Kuy kita bahas. Pertama, rumpun keilmuan . Ekonomi syariah berasal dari rumpun keilmuan ekonomi. Oleh sebab itu, instrumen analisis dalam riset-riset ekonomi syariah adalah instrumen e...

Aku Ingin Jogja (Kembali) Berhati Nyaman

Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu Nikmati bersama suasana Jogja. Kla Project,  Yogyakarta. Lirik lagu legendaris ini sering terngiang di telinga. Dahulu sekali, sekitar lima belas tahun lalu, saat itu saya masih sekolah di kampung halaman di Lampung Tengah. Saya sempat membayangkan bagaimana ya kalau saya bisa sekolah di Jawa, pasti keren. Apalagi bisa sekolah di Jogja, gudangnya orang pinter. Punya banyak teman yang pinter-pinter. Bisa jalan-jalan. Ah asyiknya.... Empat tahun kemudian, saya berkesempatan melanjutkan studi di Fak. Syariah IAIN Walisongo Semarang. Senang sekali rasanya bisa menjadi mahasiswa dan bisa studi lanjut di Jawa. Bagi warga kampung kami, itu sangat keren. Saat itu, selesai mengikuti orientasi mahasiswa baru diwajibkan untuk ikut  study tour . Dan.. yolla. Tujuannya adalah Jogja. Septe...

Prinsip Dasar Wasiat dalam Waris Islam

Wasiat dan waris adalah dua hal yang bertalian. Keduanya sama-sama melibatkan orang yang meninggal dunia dan harta peninggalannya. Wasiat sebetulnya identik dengan hibah atau hadiah, tetapi ada perbedaan mendasar. Hibah dan hadiah adalah pemberian yang ditunaikan saat itu juga.  Sementara itu, wasiat adalah pemberian sesuatu kepada seseorang atau lembaga yang eksekusinya dilakukan setelah si pewasiat meninggal dunia. Dan ketika wasiat ini terkait dengan harta si mayit, maka ia bertalian dengan hukum waris. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini. Pertama, bahwa wasiat adalah hak si mayit atas harta yang ia miliki. Artinya, wasiat ini tidak bisa diabaikan atau dibatalkan oleh siapa pun, sepanjang tidak ada alasan syar'i.  Jika misalnya, harta yang diwasiatkan ternyata tidak pernah dan tidak akan ada, atau tujuan wasiat untuk hal yang bertentangan dengan syariat, maka wasiat ini bisa dibatalkan. Kedua, bahwa bagian atau nisbah waris ...

Prinsip Dasar Waris Islam yang Sering Dilupakan

Ada tiga prinsip dasar yang harus dipahami dalam waris Islam, yang sayangnya sering dilupakan. Ketiganya adalah: tauhid, hakikat manusia, dan hakikat harta. Tauhid artinya mengesakan. Artinya, Allah adalah segalanya, tiada yang lain selain Allah. Dialah pemilik segalanya. Dialah asal segala sesuatu dan muara segala sesuatu. Al-Awwal wa al-Akhir. Selanjutnya, hakikat manusia. Manusia terdiri atas tiga bagian: nafs (jiwa), jasad, dan ruh. Nafs adalah jiwa manusia yang berasal dari alam malakut. Jasad berasal dari saripati bumi. Dan ruh adalah pengikat bagi kedua hal tersebut. Ketika ajal seseorang telah tiba, Allah mencabut ruh yang mengikat. Sehingga nafs dan jasad tercerai berai. Jasad kembali kepada bumi, terurai di dalam tanah. Kemudian jiwa (nafs) berpindah ke alam barzah, untuk kembali kepada Allah. Sebab itulah, ketika ada orang yang meninggal dunia, kita mengucapkan tarji', Inna lillah wa Inna ilaihi raji'un. Kita semua adalah milik Allah, dan kita semua akan ...

Media Bersuci dalam Fikih (2-habis)

Pada tulisan sebelumnya kita sudah membincang tiga mediabersuci yakni air, debu, dan batu dengan berbagai kriteria dan prosedurpemanfaatannya . Ketiga yang pertama tadi merupakan media yang lazim digunakan oleh hampir seluruh umat Islam. Sementara itu, dua media bersuci yang akan dibahas dalam artikel ini relatif jarang digunakan. Kedua terakhir ini bukanlah sebuah benda, melainkan proses. Ada dua proses yang bisa membuat satu benda najis menjadi suci yakni penyamakan dan perubahan khamr menjadi cuka. Penyamakan Secara prinsip syariat, seluruh bangkai diberi status najis. Bangkai adalah seluruh binatang yang halal dimakan tapi mati tanpa melalui prosedur penyembelihan secara syar’iy. Ketentuan ini mencakup pula binatang yang haram dimakan meskipun disembelih secara syari. Ketentuan ini mengecualikan dua jenis binatang: (i) binatang yang hanya bisa hidup di air dan (ii) binatang darat yang dalam tubuhnya tidak terdapat darah merah yang kasat mata dan mengalir. Maka bangk...

Mengembangkan Publikasi Ilmiah di Fakultas Syariah IAIN Metro

  Oleh Muhamad Nasrudin, MH Kemarin Pak Dekan Husnul meminta saya untuk melakukan evaluasi terhadap penerbitan di Fakultas Syariah. Ya jadinya saya buat evaluasi ringan. Begini kira-kira: Sampai saat ini, Fakultas Syariah hanya punya satu jurnal akademik, yakni Istinbath, Jurnal Hukum . Hingga kini jurnal ini sudah terakreditasi Sinta 3, dulu terakreditasi B sih sebelum zaman Sinta.  Tapi semenjak ditinggal pengelola yang keren, Mas Sakirman untuk studi lanjut S3 di UIN Semarang, perkembangan jurnal ini jadi kurang progresif. Meskipun bisa dikembangkan, Istinbath Jurnal Hukum sepertinya agak susah karena berbagai hal.  Kata istinbath yang menjadi judul jurnal ini berasal dari rumpun hukum Islam, tapi tagline “Jurnal Hukum” membuka peluang untuk masuknya berbagai artikel dari bidang ilmu hukum. Jadinya gado-gado, kurang spesifik. Jadi kalau mau dikembangkan, agak susah. Perlu kerja keras untuk repositioning jurnal ini. Hehe...   Pengembangan Publikasi...