Skip to main content

intro; Muhammad bin abdul Wahab

Wahabi, sebagai sebuah gerakan keagamaan ternyata telah mendapatkan posisi yang cukup cerah. Arab Saudi, sebagai sebuah negara yang berdaulat telah mmberikan lisesnsi bagi tumbuh-berkembangnya paham ini dengan menjadiukannya sebgai faham resmi negara.

Gerakan ini tak pernah bisa dilepaskan begitu saja dari sosok Muhammad bin Abdul Wahab, sang pendiri. Ternyata, jika kita telisik lebih jauh, gerakan ini merupakan kelanjutan dari beberapa gerakan pemurnian yang pernah ada sebelumnya. Seperti gerakanya Ibn Taymiya dan Ibn Qayyim.

Meskipun gerakan Wahabi merupakan counter terhadap faham kaum sufi, nyatanya Wahabi masih memiliki akar yang menuju ke tradisi sunni. Abdul Wahab, ayah Muhammad adalah seorang ‘faqiih’ (ahli agama) pengikut Ahmad bin Hanbal —merupakan salah satu dari empat mazhab yang diakui dan disepakati kapasitas keilmuannya.

Walau Muhammad sempat anti pati terhadap ayahnya, kita tetap bisa melihat bahwa gerakan yang Muhammad bangun merupakan “the fresh edition of hanafi doctrine”. Anggapan ini tampaknya menemukan pembenarannya ketika kita mengembalikan permasalahannya kepada Ibn Taymiya.

Ibn Taymiya cenderung berlaku keras dalam memandang suatu permasalahan. Bahkan, ia menyatakan bahwa dalam masalah aqidah harus ada nash yang berbicara. Dengan kata lain, hanya nash saja yang bisa dijadikan pedoman dalam masalah aqidah. Sedangkan rasio hanya sebagai pembenar atau saksi (syahiid) bukan penentu (hakim).[1]

Nah, tradisi semacam ini sebelumnya pernah juga ada, yakni Ahmad bin Hanbal. Pendapatnya yang tekstualis menyebabkan para pengikutnya menjadi sedemikian anarkhis. Ibn Atsir, seorang ulama, sebagaimana kutip Abdul Mun’im menyebutkan bahwa beberapa pengikut Imam Ahmad melakukan sweeping di pasar-pasar. Jika sebuah warung kedapatan menyimpan minuman keras maka mereka akan menupahkannya. Jika ada penyanyi, maka penyanyi tersebut akan dipukul dan alat musiknya dihancurkan. Demikan seterusnya.[2]

Pemikiran semacam ini oleh Muhammad Imarah sebagaimana kutip Yusuf Wijaya digolongkan ke dalam varian tradisional-konservatif.[3]



[1] Abdul al Mun im Hifni, Mawsuuah Furuq wa l Jamaa’ah wa l Madzahiib al Islamiyah, (kairo; Dar Arsyad, 1993) hal. 246. Lebih lanjut, lihat M. Yusuf Wijaya “Visi-Visi Pemikiran Keislaman” dalam M. Aunul Abid Syah (ed) Mozaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung; Mizan, 2001) hal. 41-42
[2] Abdul Mun’im opcit, hal. 246. Baca juga M Yusuf Wijaya, opcit, hal. 41
[3] Lebih lanjut, Muhammad imarah membagi pemikiran keislaman ke dalam tiga kategori; reformis, sekuler, dan tradisionalis-konservatif. Baca M. Yusuf Wijaya, opcit, hal. 40. pembagian ini hampir sama dengan klasifikasi yang diajukan oleh Hassan Hanafi ketika memberikan pengantar pada buku Mozaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Hanya saja, ia tak mau menggunakan sebutan “sekuler” dan menggantinya dengan kata “progresif”. Baca Hassan Hanafi Pengantar Pertama, dalam M. Aunul Abid, opcit hal. 22

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Kunci itu Bahasa (Arab)

Tak dipungkiri, bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan umat Islam dalam berkomunikasi dengan tuhannya, baik lewat firman-firmanNya dalam al-Qur’an atau lewat bacaan-bacaan shalat. Dalam dunia akademik, terutama IAIN, ia menjadi kunci master yang akan bisa membuka hampir semua ilmu pengetahuan di IAIN. Betapa tidak? Coba analisa berapa mata kuliah yang berkaitan dengan bahasa Arab, karena memang literatur yang digunakan adalah bahasa Arab, mulai dari fiqh, ushul fiqh, tauhid, tasawuf, tafsir, hadits, dan seterusnya. Nah, pada kesempatan ini, kita akan lebih mengerucutkan pembahasan ke dalam penggunaan bahasa Arab sebagai pisau analisa untuk memahami teks-teks Arab untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan. Keterampilan memahami teks Arab ini kiranya lebih urgen dan mendesak ketimbang misalnya kita belajar muhadatsah . Bukan berarti muhadatsah dan maharah lain tidak penting, Melainkan, kebutuhan mendesak kita adalah bahan referensi yang kebanyakan dalam bahasa Arab. Barang kali yang a...

Ringkasan Hasil-hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang

بسم الله الرحمن الرحيم A. KOMISI BAHTSUL MASA`IL DINIYAH WAQI’IYYAH 1. Hukum mengingkari janji bagi pemimpin pemerintahan. Pertanyaan: 1) Bagaimana status hukum janji yang disampaikan oleh pemimpin pada saat pencalonan untuk menjadi pejabat publik, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif? 2) Bagaimana hukum mengingkari janji-janji tersebut? 3) Bagaimana hukum tidak menaati pemimpin yang tidak menepati janji? Jawaban: 1) Status janji yang disampaikan oleh calon pemimpin pemerintahan/pejabat publik, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dalam istilah Fiqh, ada yang masuk dalam kategori al-wa’du (memberikan harapan baik) dan ada yang masuk dalam kategori al-‘ahdu (memberi komitmen). Adapun hukumnya diperinci sebagai berikut: Apabila janji itu berkaitan dengan tugas jabatannya sebagai pemimpin rakyat, baik yang berkaitan dengan program maupun pengalokasian dana pemerintah, sedang ia menduga kuat bakal mampu merealisasikannya maka hukumnya mubah (boleh). Sebaliknya,...

Mengapa Pipis Bayi Perempuan Harus Disiram dan Laki Cukup Diperciki?

Fikih Islam mengenal tiga klasifikasi najis berdasar tingkatan berat-ringannya. Yang paling berat adalah najis mughaladzah. Najis ini adalah seluruh bagian tubuh anjing dan babi beserta segala turunannya. Saking beratnya, cara mensucikan najis ini adalah dengan membasuhnya sampai hilang wujud, baru ditambah tujuh basuhan yang salah satunya dicampur dengan debu. Level yang paling ringan adalah najis mukhafafah . Najis ini hanya ada satu, yakni air seni bayi laki-laki yang belum berusia dua tahun dan hanya mengonsumsi ASI, tak pernah mengonsumsi makanan lain sebagai asupan gizi. Najis ini cukup diperciki dan seketika langsung menjadi suci. Di level tengah ada najis mutawasithah . Ini mencakup semua najis yang tidak masuk dalam klasifikasi ringan atau berat. Cara mensucikannya adalah dengan membasuh najis dengan air mengalir sampai bersih. Bagaimana dengan hukum air seni bayi perempuan? Dari penjelasan ringan di atas, hukum pipis bayi perempuan masuk ke dalam klasifikasi...

Scopus Submission and Review Process in FUAH UIN KHAS Jember

  Awal November lalu saya diundang Fakultas Ushuludin, Adab, dan Humaniora UIN KHAS Jember.  Ini adalah kali kedua saya silaturahmi ke UIN Jember. Di tahun 2018 lalu, saya pernah nyaris 10 hari menginap di IAIN Jember. Waktu itu mendampingi adik-adik ikut lomba sidang semu di Fakultas Syariah. Kali ini bukan untuk sidang semu, tapi untuk sharing tentang bagaimana submit artikel di jurnal terindeks Scopus. Tema yang sedang in dalam beberapa tahun terakhir. Scopus memang menjadi magnet tersendiri. Saya diundang oleh Koordinator pengelola jurnal di Fakultas Ushuludin, Mas Fathoni. Ia kawan baik sejak zaman mahasiswa, saat sama-sama aktif di pers mahasiswa. Saya di LPM Justisia IAIN Walisongo. Fathoni di LPM Poros UAD Yogyakarta. Dan kita aktif di PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). * * *  Oke, kembali ke soal FGD. Di forum ini ada dua hal penting yang saya bahas.  Pertama, bagaimana cara memilih jurnal bereputasi yang pas untuk artikel kita.  Kedua, bagaim...

Kuliah Agama Tugas Manusia Menurut Agama

via IFTTT

Merancang Riset dan Pengembangan Hukum Ekonomi Syariah

  Kali ini saya berkolaborasi dengan Mas Suaidi dari UIN Madura, ini sudah ke berapa kali. Kalau yang sudah publish ketiga kali. Konsep artikel ini kita diskusikan berdua. Mulanya, Suaidi mengkonsep tentang fondasi filosofis untuk riset-riset dalam bidang hukum ekonomi syariah.  Nah, setelah dibaca-baca dan kita diskusikan, ternyata kosep ini bisa dikembangkan lebih lanjut. Bagaimana pengembangannya? Dalam bidang hukum ekonomi syariah, selain riset, yang tak kalah penting adalah pengembangan atau development.  Jadi, artikel ini saya kembangkan menjadi metodologi riset dan pengembangan (RnD).  Karena hari ini, riset saja tidak cukup. Ia harus memberikan dampak. Ya mau tak mau, akhirnya development ini saya masukkan.  Jadi seperti apa risetnya? Langsung saja baca naskahnya dan didiskusikan. https://e-journal.metrouniv.ac.id/muamalah/article/view/10201