Skip to main content

Bolehkah Anak Yatim Menerima Zakat?



Zakat termasuk salah satu ibadah mahdhah dalam Islam. Bahkan ia menempati rukun Islam yang ketiga setelah salat. Sebagai salah satu ibadah mahdhah, Allah memberikan rambu-rambu aturan yang bersifat rigid (sharih) dalam hal peruntukannya (mustahik). Dalam QS At-Taubah disebutkan bahwa zakat ditujukan kepada delapan asnaf atau golongan. Kedelapan tersebut adalah fakir, miskin, amil, mualaf, riqab (budak tebusan), gharim (terlilit hutang), sabilillah, dan ibnu sabil.

Pertanyaannya kemudian, apakah anak yatim terdapat dalam asnaf delapan tersebut? Kita bisa membaca dengan jelas bahwa anak yatim tidak masuk dalam salah satu klasifikasi mustahik zakat. Dengan demikian, mereka tidak berhak mendapatkan harta zakat. Lalu bagaimana jika mereka miskin? Kalau anak yatim tersebut miskin, maka ia bisa menerima zakat sebagai orang miskin, bukan sebagai anak yatim.

Lalu bagaimana perawatan anak yatim? Prinsip dasar menyatakan bahwa anak yatim adalah anak yang tidak memiliki ayah biologis, sementara piatu adalah anak yang tidak memiliki ibu biologis. Terhadap mereka ini, Islam menyatakan bahwa idealnya mereka diasuh di dalam keluarga yang tersisa. Jika hal ini tidak memungkinkan, mereka harus dimasukkan ke dalam keluarga baru sebagai anggota keluarga. Jadi, baiknya mereka tidak diasuh dalam sebuah Yayasan Panti Asuhan.

Selanjutnya, pemimpin keluarga baru ini bertindak sebagai wali bagi anak yatim. Wali ini bertanggung jawab penuh terhadap anak yatim, mulai dari kebutuhan dasar, sekunder, hingga tersier, juga pendidikan. Jika si anak yatim ini memiliki harta warisan dari orangtuanya, maka wali bertanggung jawab untuk mengelola dan mengembangkan harta ini secara adil dan jujur. Wali boleh mengambil upah secara wajar dan adil terhadap upaya pengelolaannya ini.

Nah, terkait kemungkinan adanya harta peninggalan orangtua inilah, Islam tidak memasukkan anak yatim ke dalam mustahik zakat. Sebab boleh jadi harta ini tersedia dalam jumlah yang cukup untuk menghidupi si yatim hingga ia dewasa jika dikelola oleh wali dengan baik dan benar. Maka wali haruslah orang yang paling mengerti tentang si yatim ini dan yang terpenting harus adil.

Orang yang diprioritaskan menjadi wali anak yatim adalah mereka yang paling dekat dengan si anak yatim secara jalinan darah. Baru menyusul keluarga besar. Itulah mengapa yang paling ideal menjadi wali anak yatim secara berturut-turut adalah kakak laki-laki kandung yang sudah dewasa, kakek, baru kemudian paman. Baru jika orang-orang ini tidak ada atau tidak mampu, maka pemuka agama atau pemimpin politik di wilayah tersebut harus ada yang turun tangan menjadi wali. Bisa ketua RT, ketua RW, kepala dukuh, kepala dusun, kepala desa, camat, kepala dinas sosial atau dinas pendidikan, bupati, gubernur, menteri, atau presiden.


Jadi kesimpulannya adalah yatim tidak mendapatkan zakat jika ia tidak masuk dalam klasifikasi asnaf delapan itu. Fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabililah, dan ibnu sabil. Jika si yatim ini juga menjadi fakir atau miskin, maka tak ada keraguan bahwa ia juga berhak atas zakat, tentu atas nama fakir atau miskin, bukan atas nama yatim piatu.

Comments

Popular posts from this blog

Rahasia Sukses Menjadi Imam Tarawih

Seiring banyaknya masjid yang membatasi salat tarawih, jumlah Imam Tarawih di rumah-rumah bisa dipastikan meledak, termasuk Anda barangkali. Heuheuheu.... Nah, setelah berjalan dua malam, baru terasa kan, bahwa menjadi imam tarawih itu tidak mudah. Namun demikian, ada dua hal yang bisa dilakukan agar beban menjadi imam tarawih menjadi ringan, bahkan lenyap. Apa itu? Pertama, mundur. Haha... Tapi sayangnya ini bukan opsi yang nirkonsekuensi. Apalagi jika Anda adalah menantu dan makmum adalah keluarga besar mertua. Heuheuheu... Kedua, ya maju terus. Jika dilakukan secara terus-menerus insyallah akan terasa ringan. Prinsipnya begini. Imam itu adalah pelayan bagi makmum. Maka Anda harus mengerti siapa saja makmumnya dan apa yang mereka inginkan. Itu kunci utamanya. Biasanya sih, mayoritas makmum lebih suka versi imam ekspres. Maka pilih bacaan yang pendek asal tartil. Bacaan surat pendek tapi tuntas lebih baik daripada surat panjang tapi cuma sepenggal-sepenggal, kecuali Anda mau mengkh

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel

Apa Saja yang Membatalkan Puasa?

Sebagaimana dibahas pada tulisan sebelumnya, bahwa rukunpuasa ada dua: niat dan menahan diri dari segala yang membatalkan puasa mulai terbit fajar shadiq sampai terbenam matahari. Pertanyaannya sekarang apa saja yang bisa membatalkan puasa? Sebagian besar kita pasti akan menjawab: makan dan minum. Jawaban ini tentu saja benar. Namun demikian, makan dan minum hanyalah sebagian kecil dari frame besar perkara yang membatalkan puasa. Apa frame besarnya? Masuknya segala benda ke dalam tubuh melalui lubang yang bersifat menerus ke dalam tubuh. Ini yang pertama . Puasa menjadi batal, baik masuknya benda tersebut terjadi lantaran upaya sendiri atau upaya dari pihak lain asal seizin orang yang berpuasa tersebut. Hal ini berbeda ketika dalam kondisi ia dipaksa oleh orang lain. Maka puasanya tidak batal. Kriteria benda yang bisa membatalkan puasa adalah segala benda yang bisa diindera, lebih-lebih memiliki rasa. Udara yang kita hirup untuk bernafas tidak membatalkan puasa

Khutbah Idul Fitri 1437 H: Menginsafi Dua Fitrah Manusia

===   الخُطْبَةُ الأُولَى   === اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَتَمَّ لَنَا شَهْرَ الصِّيَامِ، وَأَعَانَنَا فِيْهِ عَلَى الْقِيَامِ، وَخَتَمَهُ لَنَا بِيَوْمٍ هُوَ مِنْ أَجَلِّ الْأَيَّامِ،   وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، الواحِدُ الأَحَدُ، أَهْلُ الْفَضْلِ وَالْإِنْعَامِ، وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ إلَى جَمِيْعِ الْأَنَامِ،   اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ التَّوْقِيْرِ وَالْاِحْتِرَامِ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ .     أَمَّا بَعْدُ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْ

Aswaja: Dari Mazhab Menuju Manhaj

Aswaja: Sebuah Penelusuran Historis Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang bermuculan dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya aswajalah yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte. Hingga dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keislaman. Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi wafat. Kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali KW, pengganti Utsman untuk bertanggung jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal. Muawiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr b