Skip to main content

Kubur Eksklusifitas Beragama*)

Kemunculan tuduhan sesat atau menyimpang akibat pola pikir yang tertutup dan belum bisa menerima “yang lain”.

Islam itu unik. Meski Nabi dan kitab sucinya satu, Islam mewujud dalam banyak wajah. Perbedaan ini terjadi karena berbagai faktor, internal dan eksternal. Dengan wajah-wajah yang tak seragam, Islam justru makin lengkap, kaya, dan sempurna. Lebih dari itu, Islam kian akomodatif.

Tapi bila perbedaan ini tak disikapi dengan arif bisa muncul ekses negatif. Ini karena adanya klaim kebenaran. Ekses yang terjadi kian hebat tatkala klaim ini menjangkiti kalangan mayoritas. Bermodal kuantitas, kelompok mayoritas sering bertindak melampaui batas. Biasanya ini dimulai dari klaim sesat pada “yang lain” (the others), minoritas. Pada gilirannya, kelompok mainstream merasa sebagai pihak yang diutus Tuhan untuk menjaga kebenaran risalah Tuhan. Lalu ini yang jadi pijakan mereka untuk meluruskan penyelewengan “yang lain”.

Tak heran kelompok ini memandang the others sebagai ancaman, sesat, dan karenanya harus diluruskan, dienyahkan. Dengan jumlah yang tak sedikit, mereka merasa superior. Mereka menindak “penyelewengan” kelompok minoritas atas nama Tuhan. Sanksi ini biasanya klaim sesat, sanksi sosiologis, bahkan sanksi fisik.

Celakanya, kelompok mainstream ini acap mencari-cari pijakan normatif-otoritatif dari ajaran agama—versi mereka—untuk membenarkan tindakan. Hukum positif yang harusnya jadi payung, ternyata tidak bisa berbuat banyak. Mereka menguasai beberapa posisi penting dalam lembaga penegak hukum. Hukum pun acap dijadikan amunisi bagi mereka. Berbagai dalih digunakan, seperti tuduhan membuat onar dan meresahkan masyarakat.

Seperti Jamaah Ahmadiyah. Mereka diklaim sesat oleh MUI. Beberapa inventaris mereka seperti di Bogor dan Mataram digerebek dan dihancurkan. Yusman Roy, pelaku shalat bilingual di Malang, difatwa sesat oleh MUI dan pemerintah setempat. Daftar ini kian panjang. Antara lain baru-baru ini menimpa anggota Yayasan Kharisma Usada Mustika di Bobojong Bogor, tarikat Haqmaliyah di Laladon Kedoya Bogor, dan Shiratal Mustaqim di Lombok.

Hemat saya, mayoritas dan minoritas hanyalah persoalan kuantitas. Mereka menjadi mayoritas, hanya karena punya banyak pengikut. Padahal, secara kualitas, bisa jadi yang minoritas punya terobosan yang lebih bagus dalam beragama. Sedang kelompok mayoritas yang tambun justru statis dan kurang lincah menghadapi perkembangan.

Pada sisi lain, kelompok status quo ini bisa jadi mengancam perkembangan Islam. Mereka, karena ahistoris, meyakini Islam sudah paripurna. Ini justru membuat Islam tidak bisa menyelesaikan problem yang kian kompleks. Perlahan Islam akan jadi barang antik yang ditinggal sejarah dan para pengikutnya. []

M. Nasrudin
Redaktur majalah Justisia Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.

Tulisan ini telah dimuat di majalah Syir'ah edisi 60/Desember 2006. Beredar Senin, 11 Desember 2006. Lihat versi website syir'ah online di sini

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Media Bersuci dalam Fikih (2-habis)

Pada tulisan sebelumnya kita sudah membincang tiga mediabersuci yakni air, debu, dan batu dengan berbagai kriteria dan prosedurpemanfaatannya . Ketiga yang pertama tadi merupakan media yang lazim digunakan oleh hampir seluruh umat Islam. Sementara itu, dua media bersuci yang akan dibahas dalam artikel ini relatif jarang digunakan. Kedua terakhir ini bukanlah sebuah benda, melainkan proses. Ada dua proses yang bisa membuat satu benda najis menjadi suci yakni penyamakan dan perubahan khamr menjadi cuka. Penyamakan Secara prinsip syariat, seluruh bangkai diberi status najis. Bangkai adalah seluruh binatang yang halal dimakan tapi mati tanpa melalui prosedur penyembelihan secara syar’iy. Ketentuan ini mencakup pula binatang yang haram dimakan meskipun disembelih secara syari. Ketentuan ini mengecualikan dua jenis binatang: (i) binatang yang hanya bisa hidup di air dan (ii) binatang darat yang dalam tubuhnya tidak terdapat darah merah yang kasat mata dan mengalir. Maka bangk...

Ringkasan Hasil-hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang

بسم الله الرحمن الرحيم A. KOMISI BAHTSUL MASA`IL DINIYAH WAQI’IYYAH 1. Hukum mengingkari janji bagi pemimpin pemerintahan. Pertanyaan: 1) Bagaimana status hukum janji yang disampaikan oleh pemimpin pada saat pencalonan untuk menjadi pejabat publik, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif? 2) Bagaimana hukum mengingkari janji-janji tersebut? 3) Bagaimana hukum tidak menaati pemimpin yang tidak menepati janji? Jawaban: 1) Status janji yang disampaikan oleh calon pemimpin pemerintahan/pejabat publik, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dalam istilah Fiqh, ada yang masuk dalam kategori al-wa’du (memberikan harapan baik) dan ada yang masuk dalam kategori al-‘ahdu (memberi komitmen). Adapun hukumnya diperinci sebagai berikut: Apabila janji itu berkaitan dengan tugas jabatannya sebagai pemimpin rakyat, baik yang berkaitan dengan program maupun pengalokasian dana pemerintah, sedang ia menduga kuat bakal mampu merealisasikannya maka hukumnya mubah (boleh). Sebaliknya,...

Cikal Bakal Turots Community di IAIN Metro

Sejak tahun 2019 saya diminta kampus untuk mencari mahasiswa untuk dikirim dalam delegasi Musabaqah Qiroatul Kutub (MQK). Dan sejak saat itu saya selalu kesulitan untuk mendapatkannya. Jangankan membaca kitab kuning, membaca al-Quran saja masih banyak mahasiswa yang kesulitan. Haha... Di tahun 2020 saya mencari santri di PP Riyadlotul Ulum untuk saya ikutkan. Alhamdulillah bisa berpartisipasi meskipun tidak mendapatkan juara. Di awal tahun 2021 saya kembali diminta untuk mencari peserta lomba baca kitab kuning untuk event Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) PTKIN se-Sumatera di UIN Imam Bonjol, Padang pada bulan Juni. Dari belasan mahasiswa, terpilihlah Rouf, santri PP Mambaul Huda. Beberapa kali ia main ke rumah untuk belajar membaca kitab Bidayat al-Mujtahid.  Alhamdulillah Rouf masuk babak penyisihan namun tersingkir di babak semi final. Di bulan Oktober tahun yang sama, IAIN Metro mau mengirimkan peserta OASE di Banda Aceh. Lagi-lagi saya diminta mencari anak untuk diikutkan....

Belajar Tajwid Hukum Bacaan Ra Tafkhim dan Tarqiq

via IFTTT

Dua Jenis Bersuci dalam Fikih

Di dalam khazanah fikih, thaharah atau bersuci selalu berada pada posisi kunci. Bersuci menjadi salah satu syarat sah. Jika seseorang tidak suci, maka ibadahnya tidak dianggap sah. Oleh sebab itu, bersuci selalu menempati bab pertama dalam setiap pembahasan di nyaris setiap kitab-kitab fikih klasik. Bersuci dalam dimensi fikih diklasifikasikan ke dalam dua pola: yakni bersuci dari najis dan hadats. Suci dari Najis Yang pertama ini tentu saja terkait dengan najis. Najis adalah benda asing yang secara syariat dihukumi kotor. Kata kuncinya adalah bahwa status kotor tersebut ditetapkan oleh syariat. Jadi tidak semua benda kotor itu najis, seperti lumpur atau tanah. Tapi najis hampir selalu berupa benda kotor, semisal nanah, air seni, tinja, darah, bangkai, dan seterusnya. Karena najis merupakan benda asing, maka cara pensuciannya adalah dengan menghilangkan fisik benda tersebut secara benar-benar bersih hingga seluruh sifatnya hilang. Dalam bahasa fikih proses ini dise...

Musafir yang Boleh Meninggalkan Puasa

Dalam pembahasan sebelumnya, seorang yang bepergian mendapatkan dispensasi ( rukhsoh ) dalam wujud adanya alternatif untuk meninggalkan kewajiban puasa . Tetapi apakah semua orang yang keluar rumah sudah bisa mendapatkan dispensasi tersebut? Tentu saja tidak. Dalam fikih Islam, kemudahan lahir sebagai alternatif atas adanya kesulitan-kesulitan tertentu dalam beribadah. Karena kesulitan mencari air, diperbolehkan untuk bersuci menggunakan debu atau yang biasa disebut sebagai tayamum. Dalam konteks puasa juga demikian. Hanya musafir dengan kriteria tertentu yang diperbolehkan meninggalkan puasa. Tentu saja meninggalkan di sini tidak benar-benar meninggalkan. Karena ia juga masih berkewajiban untuk menggantinya pada hari lain selepas Ramadhan lewat. Apa saja kriterianya? Pertama , jarak perjalanan minimal 85 km. Kurang dari angka ini seseorang tidak mendapatkan dispensasi ibadah puasa. Jarak ini merupakan jarak yang sama di mana seorang musafir diperkenankan untuk menjamak ...